gan

Kamis, 03 September 2009

MENELUSURI KUTUKAN2 BENDA SENI.....

Diposting oleh gan

KUTUKAN LUKISAN “CRYING BOY”

crying-boy

Pada tahun 1985, Inggris dibuat heboh dengan rangkaian kebakaran yang terjadi secara misterius. Kehebohan pun berlanjut ketika ditemukan bahwa di semua rumah yang nyaris terbakar habis, terdapat sebuah benda yang tidak tersentuh api, yaitu lukisan anak laki-laki yang menangis. Kabar yang lebih mengejutkan muncul, ternyata sebelumnya sudah banyak kasus serupa lain yang tidak meninggalkan petunjuk logis.

Setelah ditelusuri, konon sang objek lukisan tersebut adalah seorang anak yatim piatu yang orang tuanya meninggal terbakar. Tak berapa lama setelah lukisan tersebut diproduksi, studio sang pelukis hancur terlalap api. Bocah tersebut pun kemudian tewas dalam sebuah ledakan. Katanya, arwah si bocah-lah yang menghantui melalui tangisan dalam lukisan tersebut.

Untuk menghilangkan kutukannya, sebuah terbitan lokal pun menggelar aksi pembakaran lukisan yang diproduksi secara massal tersebut. Banyak lukisan berhasil dimusnahkan, tetapi diperkirakan masih ada ribuan cetakan lainnya beredar di seluruh dunia.

TEROR ROBERT THE DOLL

robert-the-doll

Kalau berkunjung ke Museum East Martello, Florida, kita bisa melihat sebuah boneka berumur lebih dari satu abad, Robert the Doll. Boneka berukuran seperti bocah kecil ini sangat terkenal, lho! Bukan karena boneka peninggalan abad ke-19 ini lucu, tapi karena horor!!! hiii….

Kisahnya berawal sekitar tahun 1896, ketika keluarga Otto memberikan boneka kepada anak bungsunya Robert Eugene Otto. Saking terpikatnya, sang anak memberikan namanya sendiri, Robert, kepada boneka itu, dan mengganti panggilan dirinya menjadi, Gene.

Semenjak itu, kejadian demi kejadian aneh terjadi di rumah keluarga Otto, dari mulai terdengar suara tawa asing, berbagai kekacauan dan kerusakan, sampai laporan para tetangga yang melihat penampakan mengerikan Robert. Yang paling parah, Robert sepertinya memperbudak Gene hingga bocah tersebut shock dan ketakutan. Melihat ketidakberesan tersebut, keluarga Otto menyingkirkan Robert ke loteng.

Ketika Gene sudah dewasa, ia menemukan kembali boneka Robert. Dalam waktu singkat, boneka itu pun kembali “menguasai” diri Gene, hingga ia nyaris gila. Warga kota yang melewati rumah keluarga Otto dihantui teror Robert dari jendela kamarnya.

Kabarnya, kejadian mengerikan itu terus berlanjut sampai museum tempat tinggal Robert sekarang. Wah, kalo bonekanya kya gini, kyanya gada lucu-lucunya sama sekali, yaa??

KERIS

keris

Seringkali kita dengar cerita mengenai senjata khas Indonesia yang memiliki kekuatan sehingga dapat bergerak, berdiri, bahkan terbang dengan sendirinya. Kisah itu pun dibarengi dengan kejadian mistis mengerikan.

Salah satu legenda yang terkenal sampai sekarang adalah kisah kesaktian keris buatan Mpu Gandring. Keris sakti tersebut banyak menelan korban, termasuk pembuatnya. Mpu Gandring dihabisi degan sadis oleh pemesan keris tersebut, Ken Arok. Sejak itu, keris Mpu Gandring tidak berhenti meminta tumbal yang haus kekuasaan, termasuk Ken Arok dan keturunannya. Konon, katanya, keris tersebut kemudian dibuang ke laut dan berubah wujud menjadi seekor naga. Wahh mistis banged deh!

Ternyata sampai saat ini pun masih banyak pembuat keris sakti alias keris pusaka. Pembuatannya pun harus melalui tahap yang berat seperti mencocokkan tanggal lahir dan tujuan si pemesan, berpuasa, melakukan perhitungan dengan penanggalan Jawa, dan banyak ritual lainnya. Legenda keris Mpu Gandring pun dipegang teguh sampai sekarang, bahwa keserakahan akan berujung pada kehancuran. JANGAN GANGGU FIRAUN

pharaoh_3

Jangan pernah coba-coba mengutak-atik mummy Firaun beserta barang peninggalannya, kalau kita gak mau bernasib sama seperti Carnarvon. Pembesar Inggris ini, konon mendadak meninggal dunia setelah membongkar kuburan Tutankhamun, salah satu Firaun pada tahun 1923. Anehnya lagi, di hari Carnarvon meninggal, seluruh listrik di Kairo pun padam tanpa ada yang tahu penyebabnya.

Tutankhamun merupakan Raja Mesir yang memiliki kisah tragis. Diangkat sebagai Firaun ketika berumur 9 tahun, ia hanya sempat sekejap merasakan kekuasaan. Belum genap 19 tahun, ajla menjemputnya. Penyebab kematiannya masih belum mencapai titik terang, walaupun banyak yang percaya akan adanya konspirasi pembunuhan sadis terhadap raja belia tersebut.

Misteri Tutankhamun pun terus berlanjut hingga kini. Katanya, terdpat kutukan bahwa barangsiapa yang mengganggu sang raja dalam tidur panjangnya, akan merasakan kemalangan. Walaupun banyak yang meragukan kutukan tersebut, hal aneh terus terjadi. Seorang petugas berkebangsaan Amerika yang membawa topeng Tutankhamun kabarnya mendadak terserang stroke, dan seorang pemuda Jerman yang nekat mencuri salah satu harta karun Tutankhamun mati dengan mengenaskan. Masih berani coba-coba ???.

BY GAN

BENDA2 PENINGGALAN TUHAN JESUS

Diposting oleh gan

Peninggalan-Peninggalan Raksasa

Penemuan Kerangka & Fosil
- Kerangka manusia yang berukuran hampir 17 kaki, yang diketemukan di Gargayan, sebuah propinsi di Pilipina bagian Utara.
- DiCina bagian Selatan, juga diketemukan bagian-bagian kerangka manusia, yang berukuran hampir 10 kaki.
- Salahsatu rangka, di Amerika
Image
Image

- Mumi Antrim, Ireland. Dengan panjang 12ft (Photo from the British Strand magazine. Dec 1895)
Image

Peninggalan kota-kota Prasejarah
- Pembangunan kota-kota “raksasa” dan pengangkutan batu-batu besar, yang beratnya
ribuan ton di machu Picchu, Baalbek, Gizeh, Pisco dan di lain-lain tempat dapat sekaligus
difahami dengan adanya orang-orang, yang bertenaga sangat besar, dan adanya ilmu pengetahuan mereka.
- Patung-patung, yang berukuran 22 kaki atau lebih, diketemukan di tempat-tempat tertentu
di bumi kita ini, di Peru, di kepulauan Marquesas dan di tempat-tempat lain.
- Sebuah bengkel alat kerja pra sejarah, yang berumur 300.000 tahun, dan diketemukan di Agadir (Morocco). Di antara benda-benda, yang diketemukan itu, terdapat alat-alat kerja tangan. Dan, percaya boleh dan tidak percayapun terserah, masing-masing alat kerja tangan itu beratnya 8 kg, dan hanya dapat digunakan oleh tangan-tangan besar, yang hanya mungkin dimiliki oleh orang yang berukuran tinggi badan 16 kaki!
- Baalbek, Dari kota Damaskus ke Utara, di sana terdapat suatu teras yang disebut “Baalbek”; yakni suatu podium atau panggung yang terdiri dari balok-balok batu, di antaranya ada yang panjang nya 65 kaki dan beratnya 2.000 ton. Sampai sekarang para arkeologis belum dapat menjelaskan secara meyakinkan; mengapa, bagaimana,dan oleh siapa teras Baalbek itu dibangun. Sebuah batu yang disebut “Hadjar El-Goubla” (Batu dari Selatan) dan mempunyai berat dua juta kilogram!
Image
Image
Image
Bagaimana kamu berani berkata: “Kami bijaksana dan kami mempunyai Taurat Tuhan?” Sesungguhnya, pena palsu penyurat sudah membuatnya menjadi bohong.
(Yeremia 8 : 8)

...karena kamu telah memutarbalikan perkataan-perkataan Allah yang hidup, TUHAN semesta alam, Allah kita .
(Yeremia 23 : 36)

Image
Image
Image


- Teluk Pisco, Gambar-gambar yang diukir pada dinding tinggi dari batu karang terjal berwarna merah . Jika anda datang ke tempat itu dengan kapal laut, dari jarak 12 mil lebih anda akan dapat melihat suatu bentuk yang tingginya hampir 820 kakiseperti suatu tangkai kail raksasa atau seperti sebatang tempat lilin raksasa. Seutas tambang yang panjang ditemukan pula pada pilar tengah dari batu ini.

- Tiahuanaco (Peru), terdapat “Berhala Besar”, terbuat dari satu balok tunggal batu pasir yang panjangnya lebih dari 24 kaki, seberat 20 ton. Berhala itu ditemukan di dalam Kuil Tua, tubuh berhala tersebut terdapat beratus-ratus simbol.Satu keajaiban arkeologi yang lain dari Amerika Selatan ialah Gerbang Monolitas Matahari di Tiahuanaco yakni suatu gerbang yang tingginya hampir 10 kaki, lebarnya 16 ½ kaki, dipahat dari satu balok batu tunggal. Beratnya ditaksir lebih dari 10 ton. Empatpuluh delapan buah bujursangkar yang disusun, mengapit patung yang menggambarkan dewa terbang.


- Sacsahuaman (Inca), terdapat balok batu yang beratnya ditaksir 20.000 ton, suatu balok batu tunggal sebesar rumah bertingkat empat. Balok itu telah dihias sempurna sekali dengan seni yang paling tinggi; mempunyai anak-anak tangga dan jalan-jalan melandai, serta di hiasi dengan spiral-spiral dan lubang-lubang. Pemecahan teka-teki itu dipersulit lagi oleh kenyataan bahwa balok itu berdiri terbalik alias ter jungkir. Jadi anak-anak tangga itu menurun dari atap; lubang-lubangnya menghadap kejurusan yang berlainan. Siapa yang dapat membayangkan bahwa tangan manusia, usaha menusialah yang menggali, mengangkut, lalu membentuk balok batu ini? Kekuatan apakah yang telah menjungkirbalikkannya? Kekuatan raksasa semacam apakah yang dipekerjakan di sini? dan untuk maksud apa?
Bagaimana kamu berani berkata: “Kami bijaksana dan kami mempunyai Taurat Tuhan?” Sesungguhnya, pena palsu penyurat sudah membuatnya menjadi bohong.
(Yeremia 8 : 8)

...karena kamu telah memutarbalikan perkataan-perkataan Allah yang hidup, TUHAN semesta alam, Allah kita .
(Yeremia 23 : 36)

Waktu untuk bertindak telah tiba bagi TUHAN; mereka telah merombak Taurat-Mu.
(Mazmur 119: 126)

- Piramida Cheops (Mesir), 2.600.000 potong balok raksasa telah dipotong dan ditambang, dihias, diangkut dan dipasang di tempat lokasi bangunan seteliti satu perseribu bagian dari satu inci. Sebuah gunung buatan setinggi 490 kaki, ada yang menghubungkan piramida ini dibangun oleh Firaun Khufu karena semua prasastinya dan lembaran-lembaran sejarahnya dihubung-hubungkan kepadanya. Beberapa berpendapat lain piramida ini telah ada jauh sebelumnya dan dibangun bukan hanya oleh satu masa pemerintahan Firaun tetapi beberapa masa Firaun, Di Perpustakaan Bohlean di Oxford terdapat sebuah tulisan kuno di mana pengarang “Copti” bernama Mas-Udi menetapkan bahwa Raja Mesir yang bernama Surid yang membangun piramida besar di Mesir itu.Raja Surid ini memerintah Mesir sebelum banjir besar. Raja Surid yang bijaksana ini memerintahkan para pendeta, supaya menuliskan segala kearifan mereka, dan menyembunyikannya di dalam piramida. Jadi,kalau menurut hikayat Copti, piramida itu didirikan sebelum banjir besar. Herodatus dalam Buku II nya tentang “Sejarah “ memperkuat dugaan itu. Para pendeta dari Thebes telah menunjukkan kepadanya 341 buah patung raksasa, yang masing-masing berarti satu generasi kependetaan tinggi, sedang seluruhnya mencakup masa 11.340 tahun.Sehingga mereka berpendapat piramida itu dibangun 12.000 tahun lalu, hal ini juga diperkuat oleh umur “Sphinx” dimana bagian bawahnya terjadierosi yang cukup hebat, hanya terpaan angin gurun ribuan tahunlah yang dapat membuat erosi sedalam kuranglebih 2 meter tersebut.
Image

- Pulau Easter, pulau kecil ini jauh dari benua manapun dan peradaban manapun. Ratusan patung besar-besar tersebar di seluruh pulau. Gunung yang besar-besar diubah bentuknya, batu vulkanis yang bagaikan baja dipotong-potong bagaikan memotong mentega layaknya dan 10.000 ton batu karang besar-besar bertebaran di mana-mana. Ratusan patung besar di antaranya ada yang tinggi nya antara 33 sampai 66 kaki dan beratnya kurang lebih 50 ton, beberapa patung raksasa ini memakai topi, tetapi topi-topi inipun tidak banyak membantu menjelaskan dari mana asalnya patung-patung ini. Batu untuk topi-topi itu yang beratnya ada yang lebih dari sepuluh ton satu balok letaknya jauh dari bagian badannya, topi tersebut harus dikerek ke atas setinggi masing-masing patung. Menurut seorang penyelidik Thor Heyerdahl, patung-patung raksasa ini berasal dari tiga zaman. Yang tersempurna dari tiga kebudayaan itu ialah yang tertua. Pembuatan patung-patung ini seperti terhenti tiba2, dimana balok-balok batu raksasa setengah jadi berserakan.
Image

- Patung-patung dari Olmec pun luar biasa. Patung-patung yang kepalanya berhelm indah itu, hanya dapat di kagumi di tempat mana dia ditemukan; karena beratnya luar biasa, tak akan ada satu jembatan pun yang dapat menahannya dalam pengangkutan patung itu ke salah satu musium. Kita hanya dapat mengangkat monolit-monolit kecil yang beratnya hanya lima puluh ton atau kurang, itupun harus dengan alat-alat angkat dan angkutan yang paling mutakhir. Alat-alat teknik yang kita miliki sekarang ini akan berantakan bila digunakan untuk mengangkat dan mengangkut muatan yang beratnya ratusan ton seperti patung-patung itu.

Teori dan arkeolog pendukung
Beberapa ahli berpendapat bahwa puluhan ribu tahun yang lalu, ada satelit lain yang berputar dekat dengan bumi sehingga mengurangi gaya gravitasi bumi, teori ini dikemukakan oleh Hoerbiger 1927. Diperkuat lagi dengan penemuan berhala besar(Tiahuanaco) yang memuat ratusan simbol-simbol diinterpretasikan oleh H.S. Bellamy dan P. Allan mereka membuat kesimpulan simbol-simbol itu merupakan catatan kumpulan yang sangat banyak tentang pengetahuan astronomis, yang didasarkan kepada bentuk bumi yang bulat ini waktu satelit itu mengorbit mengitari bumi sebanyak 425 kali putaran dalam satu tahun yang berumur 288 hari. Mereka terpaksa berkesimpulan bahwa berhala itu mencatat keadaan benda-benda langit pada 27.000 tahun yang lalu.
Bukti-bukti pendukung lainnya dari arkeolog ditemukan pada gambar2 relief peninggalan kebudayaan Sumeria, terdapat beberapa relief yang ukuran manusianya lebih besar dibanding yang lainnya,dalam buku “The Cosmic Code” yang ditulis oleh Zecharia Sitchin dia berpendapat bahwa beberapa orang Sumeria berbadan diatas normal orang-orang biasa. Dalam relief astronomi Sumeria juga terdapat planet lain dalam system tata surya kita dan mereka sudah mengenal planet Pluto yang baru kita temukan beberapa puluh tahun lalu.
Image
Image

...karena kamu telah memutarbalikan perkataan-perkataan Allah yang hidup, TUHAN semesta alam, Allah kita .
(Yeremia 23 : 36)

Waktu untuk bertindak telah tiba bagi TUHAN; mereka telah merombak Taurat-Mu.
(Mazmur 119: 126)

baca topik ini, gue jadi inget gambar kerangka manusia raksasa, HOAX sih, tetapi pada awal kemunculan gambar ini di Internet, sempat terjadi kehebohan, bahkan sampai-sampai professor di Universitas Oxford inggris ingin pergi ke arab saudi untuk meneliti.

Image

BY GAN


The Burial Cave of Jesus.....???

Diposting oleh gan


Sebentar lagi akan diputar film dokumenter tentang penemuan peti mati dan tulang belulang, yang katanya sudah berusia 2000thn dan di klaim sebagai milik Yesus (yg ada dlm Alkitab). Bisa dibilang merupakan lanjutan dari cerita “Da Vinci Code”. Ini sangat menggelikan. Dari topik pembahasannya saja sudah ga sesuai sama tradisi orang Yahudi. Anda tau kenapa? Karena dalam tradisi Yahudi, orang yang wafat (meninggal) tidak dimasukkan dalam peti mati. Ada dua tradisi yang dijalan-kan di Israel, pertama; orang yang wafat akan dikubur dengan kain kafan dan yang kedua; orang yang meninggal diberi rempah-rempah. Setelah buku Dan Brown dapat ditangkis dan Film Da Vinci Code dapat dibantah, ternyata beberapa orang masih “berupaya” mencari-cari lagi celah dengan memberikan bukti lain yang dibuat oleh produser James Cameroon dan sutradara Simca Jacobovici dalam film The Lost Tomb Of Christ. Tapi motivasinya mungkin hanya sebagai hiburan, atau sensasi karena nantinya akan banyak yang tertarik menyaksikan fim ini. Semua orang akan penasaran karena menyangkut Nama Yang Besar. Kalau saja, 25% orang Kristen menyaksikan film ini, maka kira2 penonton sudah berjumlah 1-2 milyar orang. Hmm..

Berdasarkan dokumenter yang dibuat, penemuan tulang belulang ini berasal dari Talpiyot daerah Jerusalem (thn 1980) . sementara makam Yesus yang sudah ada sebelumnya, terpelihara sejak 2000 tahun yang lalu.

Sejarah singkat Makam Yesus yang asli sbb :
Setelah Yesus di Salib dan dimakamkan;
Pada tahun 135M, Hadrian mempersembahkan Kuburan Yesus sebagai bangunan ibadah kepada Yupiter. Konstruksi pertama pada tahun 324M, terletak di Kalvari - Bukit Golgota Church Of Holy Sephulcre. Pada tahun 326M, tempat ibadah ini dihancurkan oleh Ratu Helena dan pada pemerintahan Konstantinus, Makam Yesus itu dibangun menjadi bangunan yang megah.
Pada tahun 614M, Monumen dan bangunan megah itu dihancurkan oleh orang-orang Persia, lalu dibangun kembali dengan skala yang lebih kecil dari aslinya oleh Abbot Modestos.
Kemudian dihancurkan kembali oleh Khalif Hakem pada tahun 1009. Penghancuran Gereja-gereja inilah salah satu hal yang menyebabkan terjadinya perang salib.
Pada tahun 1408, bangunan makam Yesus direstorasi kembali oleh Konstantin Monochus. Dan pada tahun 1149 yang bernama Crusader, membangun kembali tempat itu sampai sekarang.

Lalu sekarang ada yang mengatakan peti mati dan makam yang ditemukan di klaim sebagai milik Yesus. Atas dasar apa?

Coba kita bandingkan dengan sejarah penemuan yang baru;
Ditemukan 27 tahun yang lalu ketika pekerja konstruksi Israel menggali pondasi untuk membangun sebuah bangunan di kompleks industri di Talpiyot - Yerusalem, mereka menemukan sebuah gua yang diperkirakan sudah berusia 2000 tahun dan terdapat 10 peti mati dari batu.
Kemudian para arkeolog, mulai mempelajari batu-batu dan tulang belulang yang ditemukan itu. Benda-benda dipelajari selama 20 thn untuk menterjemahkan tulisan dan usia benda-benda peninggalan. Dan ditemukan-lah tulisan-tulisan diantaranya sebagai berikut (dalam terjemahan bhs Indonesia);
Yesus, Maria dan Judah.

Lalu maria disini diperkirakan adalah “Maria Magdalena”. Judah diperkirakan sebagai anak dari Yesus dan Maria. Yang uniknya lagi ada hasil tes DNA, membuktikan pernyataan diatas adalah benar. Loh… kok bisa????? DNA ini dibandingkan dengan DNA siapa??? hmm…
Hasil penemuan ini sudah disiarkan melalui tv di the Discovery Channel, Britain’s Channel 4, Canada’s VisionTV dan Israel’s Channel 8
Prof Amos Kloner sendiri (Arkeolog Israel) tidak menghubungakn nama tersebut dengan Yesus yang ada dalam Bible dan beliau menyatakan bahwa nama ini sangat umum di kalangan Yahudi.
Professor Juergen Zangenberg yang berasal dari Jerman, menyatakan dokumenter ini tidak realistis. Dan hanya menginginkan kepopuleran dan uang.
Produser James Cameroon dan sutradara Simca Jacobovici mungkin menganggap dokumenter ini sebagai “peluang bisnis”. Mereka juga memanfaatkan dan melebih-lebihkan penemuan ini untuk dijadikan cerita yang akan laku dipasaran. Mengingat kesuksesan Dan Brown lewat novel Da Vinci yang menduduki peringkat nomor 1 (satu) di dunia.

PERGUMULAN ORANG2 KRISTEN DI INDONESIA.......

Diposting oleh gan

Dalam tahun 1860-an orang Kristen Protestan di Indonesia berjumlah sekitar 120.000 (§ 27). Pada tahun 1938 orang yang sudah dibaptis berjumlah 1.665.771, atau sekitar 2,5% seluruh penduduk Indonesia. Di antaranya 700.000 termasuk GPI, 415.000 termasuk HKBP. Kelompok besar lainnya terdapat di Nias (125.000) dan di Sangir-Talaud (120.000). Di pulau Jawa pada tahun itu ada 98.000 orang Kristen, di antaranya 27.000 anggota GPI. Kita menarik kesimpulan bahwa lebih dari separo orang Kristen Indonesia tinggal di atau berasal dari daerah yang sudah dikristenkan pada masa VOC, dan bahwa pada waktu itu sepertiga dari orang Kristen di Indonesia termasuk gereja yang lahir dari usaha zending Jerman (RMG). Badan-badan zending Belanda dan gereja-gereja mandiri yang lahir darinya (yang biasanya terdapat di daerah-daerah yang berpenduduk jarang atau yang beragama Islam) mencakup sekitar 235.000 jiwa atau 15% (tidak termasuk 120.000 yang di Sangir-Talaud). Orang Kristen Indonesia warga badan gereja yang berasal dari Amerika (Metodis, CAMA) berjumlah 15.000 orang. Anggota gereja Adventis (1938:±5.000) dan Pentakosta tidak terhisab dalam angka-angka ini.

Penyebaran lebih merata

Boleh dikatakan bahwa pada tahun 1860 belum ada kekristenan pribumi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi (di luar Minahasa dan Sangir-Talaud), dan Irian, sebab di masing-masing daerah itu orang Kristen berjumlah paling banyak beberapa ratus orang. Agama Kristen masih terbatas pada daerah-daerah bekas jajahan Kompeni (dan daerah Portugis di NTT. Pada tahun 1938, agama Kristen sudah tersebar ke seluruh wilayah Nusantara, walaupun belum secara merata. Pada tahun itu persentase orang Kristen Protestan tetap paling tinggi di Maluku Selatan, di Sulawesi Utara, dan di Nusa Tenggara Timur, di samping di Sumatera Utara. Namun, di Sumatera, di Sulawesi (tidak terhitung Minahasa dan Sangir-Talaud), dan di Irian, persentase orang Kristen berada pula di atas persentase nasional. Di Kalimantan dan di Jawa, persentase orang Kristen jauh di bawah persentase nasional.

Alasan masuk Kristen

Pokok ini sudah dibicarakan juga dalam § 14 dan 27. Dalam masa yang kita bicarakan di sini, faktor-faktor yang sudah disebut di sana tetaplah berperan. Dilihat dari sudut pandangan rakyat, zending tetap bersekutu dengan penguasa kolonial; alasan psikologis (§ 14) bahkan lebih kuat lagi kini daripada sebelum abad ke-19, disebabkan pengaruh peradaban Barat semakin terasa sampai ke pelosok. Di pihak lain, kita tidak perlu beranggapan seakan-akan orang Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di pedalaman dan yang masih menganut agama dan kebudayaan nenek-moyang, memandang para pekabar Injil dari Barat dengan takjub dan dengan senang hati mengikuti saran mereka agar masuk ke agama yang "lebih tinggi" itu. Dari laporan para zendeling kita tahu bahwa kebalikannya yang benar. Orang Irian, Poso, dan lain-lain cenderung untuk memandang enteng orang kulit putih yang belum fasih berbicara, yang tidak memiliki kepandaian-kepandaian yang perlu untuk menyambung hidup di tengah rimba raya. Mereka baru terkesan oleh pribadi seorang pekabar Injil kalau ia ini berhasil menyamai mereka dalam salah satu kepandaian itu, seperti mengadakan perjalanan jauh melalui hutan rimba (A.C. Kruyt di Poso) atau berburu rusa (Gouweloos di Kendari), atau ikut berbicara dalam perkara-perkara adat yang berbelit-belit (A.C. Kruyt, Nommensen). Atau mereka tertarik karena ia bersama mereka menghadapi bahaya musuh yang menyerang kampung atau bahaya ombak di laut (Geissler di Irian). Pun adanya rasa hormat bagi pribadi pekabar injil itu belum berarti mereka rela untuk menerima agama yang dibawanya. Berkali-kali kita melihat bahwa tokoh-tokoh "kunci" di salah satu lingkungan menerima agama Kristen karena menjadi yakin bahwa agama itu menawarkan jalan keluar dari keadaan yang macet. Berkenaan dengan kehidupan pribadi: jalan keluar dari cengkeraman roh-roh, karena agama Kristen menawarkan perlindungan oleh Allah (Yesus Kristus) yang lebih kuat daripada roh-roh itu. Berkenan dengan kehidupan suku: karena agama Kristen dengan perintah kasihnya menawarkan jalan keluar dari lingkaran setan berupa perang antar-kampung dengan balas-membalas yang tak henti-hentinya (demikianlah alasan Raja Pontas Lumbantobing, § 42). Di beberapa daerah, zending sendiri tidak berhasil memutuskan lingkaran setan itu, namun pekabaran Injil membangkitkan kesadaran yang begitu kuat, sehingga orang masuk Kristen secara massal begitu pemerintah kolonial masuk memaksakan perdamaian. Tentu ada juga alasan-alasan lain yang menyebabkan orang masuk Kristen. Didaerah-daerah dengan unsur feodal yang kuat,rakyat dengan sendirinya mengikuti kepalanya kalau ia ini sudah masuk. Ada yang masuk berdasarkan pertimbangan ekonomis , yakni karena agama Kristen, yang tidak mengenal kurban hewan dan sebaginya, merupakan agama yang murah dibandingkan dengan agama nenek moyang. Ada pula yang menjadi Kristen lewat jalur "alamiah": selagi masih bocah mereka masuk sekolah zending, dipungut seorang zendeling menjadi anak asuh, mereka menempuh pendidikan menjadi guru zending dan dengan jalan itu pun mereka dibimbing ke baptisan. Akhirnya, kita perlu memperhatikan orang-orang perseorangan, yang terutama terdapat di pulau Jawa, yang sudah lama mencari kebenaran agama, "air jernih", dan yang menemukannya di dalam Injil. Dalam kisah mengenai petualangan rohani tokoh-tokoh itu biasanya mimpi-mimpi memainkan peranan besar.

Yang penting kita pegang dalam membicarakan persoalan alasan-alasan untuk masuk Kristen ialah paham ini: orang masuk Kristen bukan karena terpukau oleh pribadi dan pesan zendeling Barat itu, melainkan karena pertimbangan-pertimbangan mereka sendiri, yang berakar dalam lingkungan agama, kebudayaan, dan politis mereka sendiri. Dengan perkataan lain: mereka menerima amanat (Injil) sang zendeling, namun mereka menampungnya di dalam kerangka acuan lingkungan mereka sendiri. Hal ini penting untuk diperhatikan karena menyadarkan kita bahwa setelah masuk Kristen pun, orang-orang yang bersangkutan tidak semata-mata tergantung secara rohani dari sang zendeling, tetapi menghayati iman mereka yang baru dengan cara sendir. Mungkin sekali cara ini berlainan dengan cara pekabar Injil dari Barat menghayati iman Kristen, dan yang diduganya atau diharapkannya menjadi cara orang Kristen Indonesia menghayatinya pula.

Persiapan untuk baptisan

Pada masa yang kita bahas dalam pasal ini, masa persiapan untuk baptisan tetap berbeda-beda. Dalam lingkungan GPI, sering beberapa hari dianggap sudah mencukupi. Badan-badan zending biasanya syarat lebih berat: orang harus mengikuti pelajaran agama sampai menghafalkan pokok-pokok utama dari Alkitab dan dari ajaran keselamatan. Lamanya pelajaran itu setengah tahun hingga dua tahun. Yang menonjol ialah praktik CAMA di Kaltim dalam hal ini (§ 50). Yang memberikan pengajaran katekisasi biasanya seorang guru Indonesia; hanya pada tahap permulaan atau di tempat tinggal seorang zendeling, zendeling itu sendiri yang mengajari calon-calon baptisan. Bahan yang dipakai sering merupakan terjemahan buku katekisasi yang dipakai dalam gereja Belanda; adakalanya seorang zendeling menyusun buku katekisasi yang baru. Bahasa yang digunakan bisa bahasa Melayu, bisa bahasa daerah (bnd. § 26). Upacara pembaptisan tetap didahului oleh ujian. Di kalangan lembaga-lembaga zending, ujian ini biasanya bersifat penyelidikan mendalam mengenai pengetahuan dan keadaan rohani si calon. Pembaptisan berlangsung dengan cara pemercikan; hanya badan-badan yang berakar dalam kebangunan rohani di Amerika menggunakan baptisan selam.

Tanggapan oleh masyarakat bukan Kristen

Masyarakat bukan Kristen tidak suka melihat kalau anggota-anggota masyarakat itu masuk Kristen. Maka tidak jarang orang Kristen menghadapi pertentangan dari pihak masyarakat, apakah itu masyarakat yang menganut agama suku, Hindu, atau Islam. Dalam lingkungan agama suku, pertentangan itu dicetuskan terutama oleh kekhawatiran kalau-kalau penolakan orang Kristen untuk turut menyelenggarakan upacara untuk nenek moyang dan untuk memelihara adat seutuhnya akan membuat marah nenek moyang dan dengan demikian akan mendatangkan malapetaka. Agaknya pada masa 1860-1942 tidak pernah terjadi pembunuhan (paling tidak, secara terbuka) atas diri seorang Kristen, pun di daerah/pada masa pemerintah kolonial tidak berkuasa. Sebaliknya, yang sering berlangsung ialah pemboikotan secara ekonomis. Desa merupakan persekutuan kerja; orang secara bersama membangun rumah, membuat perahu, menggarap sawah. Kalau seseorang dikucilkan dari persekutuan itu, maka keadaannya menjadi serba sulit. Di Jawa Barat, mula-mula juga di Tapanuli, kenyataan ini memaksa para zendeling untuk mengumpulkan orang-orang Kristen dalam kampung-kampung tersendiri (Cideres, Hutadame). Tetapi adakalanya masyarakat menanggapi masuknya agama Kristen dengan cara yang lebih rasional: orang membandingkan hasil sawah-ladang orang Kristen, yang ditanami tidak dengan menjalankan upacara tradisional, dengan hasil sawah-ladang lainnya: kalau ternyata sama saja maka tiada alasan untuk menentang agama yang baru itu. Dalam keadaan hampa kuasa yang di beberapa daerah terjadi dalam bulan Maret 1942 dan dalam tahun 1945, orang Kristen banyak menderita, khususnya di daerah Jabar, Jateng, dan Sulsel. Pemberontakan DI/TII merupakan zaman yang paling buruk, sebab sejumlah orang Kristen, khususnya pemimpin jemaat, dibunuh oleh anggota gerombolan.

Gerakan kebangunan dalam agama suku

Tidak jarang juga masuknya agama Kristen (dan/atau pemerintah kolonial) mencetuskan gerakan kebangunan dalam lingkungan agama suku. Orang merasa tidak puas karena adat mereka dirongrong oleh ketentuan-ketentuan pemerintah dan oleh pengaruh pekabaran Injil. Lalu mencullah seorang nabi yang menganjurkan supaya orang kembali melaksanakan adat dan menghormati dewa-dewa. Demikianlah misalnya di Tana Toraja pada tahun 1919, 1921, dan 1923, atau di Tapanuli (§ 42). Biasanya gerakan seperti itu akhirnya ditindas oleh pemerintah kolonial, seperti di Tapanuli pada tahun 1916.

Gerakan-gerakan sinkretistis

Berhadapan dengan masuknya agama Kristen, agama suku tidak bersifat pasif saja atau menentang semata-mata. Adakalanya para penganutnya secara kreatif menampung unsur-unsur agama Kristen. Demikianlah kita dengar bahwa di Sumba seorang pemuka agama suku memasukkan tokoh Adam dan Hawa ke dalam mitos tentang penciptaan dunia. Pada tahun 1929 di Tana Toraja, dalam upacara persembahan kurban kepada dewata, nama Adam dan Yesus dipanggil bersama nama-nama dewata. Di Poso, sekitar tahun 1920, sebagian penduduk (yang tetap menganut agama nenek moyang) tidak bekerja lagi pada hari Minggu, agar tidak menimbulkan murka Allahnya orang Kristen. "Pue Ala" di situ sudah ditampung lingkungan para dewata. Di beberapa daerah muncullah tokoh-tokoh "nabi", yang pemberitaannya menggabungkan unsur-unsur Kristen dan bukan Kristen. Begitu di Poso; di sana seorang wanita mengaku telah mendapat perintah dari Pue Ala (nama Allah yang dipakai oleh para pekabar Injil) dan dari Pue mPalaburu (Tuhan Pencipta) untuk mengajak orang agar berkelakuan baik dan mengikuti ibadah gereja dengan setia. Tetapi di samping itu, katanya, ia ditugaskan untuk menyembuhkan orang sakit dan untuk menyuburkan tumbuhnya padi. Kedua kegiatan ini dilakukannya seluruhnya menurut cara yang lazim dalam lingkungan agama nenek moyang. Maka berduyun-berduyunlah orang menghadiri baik kebaktian Kristen maupun upacara-upacara tradisional. Di Sumba seorang anak muda, yang telah mendapat ilham dalam mimpi, menganjurkan orang agar mendengarkan dan menaati pemberitaan zendeling (1925).

Mesianisme

Kadang-kadang gejala sinkretisme itu menjelma dalam gerakan mesianis (gerakan yang berpusat pada seorang tokoh yang mengaku diutus oleh Allah untuk membawa zaman kesejahteraan). Pada tahun 1912, di kampung Letwurung (Babar, Maluku Selatan) muncul seorang tokoh yang mengaku dirinya adalah Yesus Kristus yang telah kembali dari sorga ke bumi untuk menyembuhkan segala penyakit dan membangkitkan orang mati. Dalam lingkungan Sadrach (§ 24,46) terdapat keyakinan yang serupa berkenaan dengan tokoh Sadrach. Rupanya di sini kita menghadapi gerakan-gerakan yang berlatar belakang agama tradisional, namun mengambl alih ciri-ciri tertentu (misalnya nama tokoh Mesias) dari agama Kristen. Gerakan yang serupa paling sering muncul di Irian, yaitu gerakan Koreri (§ 36). Rupanya sudah ada gerakan-gerakan Koreri sebelum Zending masuk. Tetapi setelah agama Kristen menjadi agama yang dominan, unsur-unsur Kristen ditampung dalam gerakan Koreri. Begitu misalnya dalam gerakan yang besar pada tahun 1938-1943, yang ditokohi seorang wanita bernama Angganita Menufaur. Angganita mengambil nama Maria, tempat tinggalnya disebut Betlehem, dan tokoh Manseren Manggundi (tokoh Mesias dalam mitos asli) disamakan dengan Yesus. Pengikut gerakan itu malah melancarkan tuduhan bahwa para zendeling dan guru telah mengeluarkan satu lembar dari Alkitab, yaitu yang mengandung pernyataan bahwa Yesus adalah Manggundi. Meskipun demikian, mereka tetap mau dipandang sebagai orang Kristen. Dibandingkan dengan Afrika, di mana muncul ribuan gereja sempalan yang berdasarkan sinkretisme dan mesianisme, di Indonesia gerakan seperti itu jarang terjadi (§ 44).

Sama seperti pada masa sebelumnya, ibadah menikuti pola Barat. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa sesungguhnya pola "Barat" itu adalah pola yang sudah berlaku dalam gereja segala zaman, namun dalam gereja Belanda atau (di Medan kerja RMG) Jerman telah diberi warna tertentu. Maka "mengikuti pola barat" berarti bahwa,

  1. gedung gereja bersifat sederhana. Biasanya gedung gereja itu memakai gaya bangunan ala Barat. Adakalanya seorang zendeling membangun gereja menurut gaya setempat di pusat resortnya (begitu di Malang, dengan memakai gaya pendopo, atau di Sangalla´, Tator, mirip rumah Toraja). Tetapi biasanya jemaat-jemaat lain tidak mau mengikuti contoh itu.
  2. peranan jemaat terbatas pada menyanyi saja;
  3. tata kebaktian bersifat sederhana, dengan tempat besar bagi pemberitaan firman dalam khotbah;
  4. perayaan Perjamuan Kudus jarang dilakukan.

Bahasa Ibadah

Di wilayah GPI biasanya ibadah memakai bahasa Melayu; di wilayah badan-badan zending sedapat mungkin bahasa daerah yang digunakan dalam khotbah (bnd. § 26). Tetapi karena penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah memakan waktu bertahun-tahun, maka biasanya mula-mula dipakai Alkitab bahasa Melayu. Di beberapa daerah, hanya terjemahan PB yang diterbitkan. Dalam abad ke-19 terjemahan Leydecker (§ 15) mulai dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Antara tahun 1815-1860, beberapa bagian Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu yang lebih sederhana. Pada tahun 1879, Lembaga Alkitab Belanda menerbitkan Alkitab terjemahan Klinkert, yang menggantikan terjemahan Leydecker (namun tidak diterima di Maluku). Terjemahan Klinkert itu sudah jauh lebih dekat dengan bahasa Melayu orang Melayu sendiri. Pada tahun 1938, PB terjemahan Klinkert pada gilirannya diganti oleh terjemahan Bode; pada tahun 1971 terbitlah terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia, yang menggantikan PL-Klinkert dan PB-Bode (dalam tahun 1990-an terjemahan baru itu pun mengalami revisi).

Pemimpin ibadah

Yang memimpin ibadah biasanya penghantar jemaat Indonesia. Mereka ini tidak memakai lagi kitab khotbah yabg dicetak, tetapi sedapat mungkin dibimbing oleh zendeling resortnya melalui bagan khotbah yang dipersiapkan oleh zendeling dan yang sedapat mungkin dibicarakan bersama mereka. Sakramen biasanya dilayankan oleh zendeling. Isi khotbah paling sering menyangkut keselamatan yang dianugerahkan kepada manusia oleh karya Kristus dan perlunya menempuh kehidupan yang sesuai dengan anugerah itu.

BY GAN

Sejak abad ke-18, sebagian besar pulau Jawa dikuasai oleh orang-orang Belanda secara langsung. Setelah VOC bubar (1799), sampai tahun-tahun 1820-an, keadaan politis adalah tidak tetap : pemerintah-Belanda yang mengganti VOC, diusir oleh orang-orang Inggeris (1811), tetapi lima tahun kemudian orang-orang Belanda kembali lagi (1816). Penguasa-penguasa yang silih-berganti ini membawa serta cita-cita yang luhur, yang di Eropa telah dicetuskan oleh Pencerahan (§ 17). Beberapa kali terjadi reorganisasi di bidang ekonomi (sistim perpajakan, soal tanah) dan politik. Dan Gubernur-Jenderal yang pertama sesudah masa pemerintahan Inggeris mempunyai rencana-rencana yang sangat baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa. Tetapi negeri Belanda menghadapi peperangan di Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830) dan di Eropa (1830-1839). Akibatnya, perbendaharaan negara Belanda kosong, dan tenaga orang-orang Jawa dikerahkan untuk mengisinya kembali melalui sistem Tanam Paksa. Sistim itulah yang menentukan kebijaksanaan pemerintah Belanda di Jawa mulai dari tahun-tahun 1830-an sampai 1860-an. Negeri Belanda membutuhkan uang, dan jangan hendaknya membutuhkan uang, dan jangan hendaknya ada yang mengganggu keamanan dan ketertiban, sehingga kelancaran arus itu terputus. Oleh karena itu pemerintah enggan mengizinkan lembaga-lembaga zending bekerja di Jawa selama masa itu, dan sesudah itu pun pekerjaan mereka sering mengalami rintangan dari pihak para pejabat pemerintah.

Keadaan di bidang keagamaan

Dalam abad ke-16, pedalaman Jawa sudah diislamkan (bnd ps 2). Di ujung Timur pulau itu, agama Hindu masih bertahan sampai sekitar tahun 1770. Tetapi Kompeni mengusir orang-orang Bali dari sana, sehingga daerah itu pun dimenangkan bagi Islam. Namun demikian, di tengah-tengah masyarakat Jawa Islam itu corak berpikir dari zaman sebelum kedatangan Islam, sempat hidup terus. Di satu pihak, seluruh hidup orang-orang Jawa, khususnya di desa-desa, tetap diatur oleh adat. Di lain pihak, banyak orang Jawa terpengaruh oleh kebatinan. Orang-orang ini mempersoalkan nilai upacara keagamaan, kunjungan ke tempat-tempat ibadah, kitab-kitab suci dan sebagainya. Bagi mereka, hal-hal ini bersifat "lahiriah" dan dengan demikian lebih rendah martabatnya daripada hal-hal "batiniah", yaitu ibadah dalam hati. Mereka memandang agama sebagai "ngelmu", "ilmu", yaitu pengetahuan rahasia yang memberi kekuatan batin kepada yang memilikinya. Rupanya justru dalam abad ke-19 dunia rohani orang Jawa mengalami pergolakan yang besar dan banyak orang yang berjalan keliling Jawa untuk mencari "ngelmu" baru. Perlu dicatat bahwa pengaruh kebatinan ini lebih besar di Jawa Timur dan Tengah daripada di Jawa Barat.

Agama Kristen di Jawa ± 1815

Sekitar tahun 1815, penganut-penganut agama Kristen hanya terdapat dalam golongan orang yang bukan-Jawa : orang-orang Belanda serta keturunan mereka, dan sejumlah orang yang berasal dari Indonesia Timur. Orang-orang Kristen ini terutama terdapat di ketiga kota besar di pantai Utara : Surabaya, Semarang dan Batavia. Tetapi ada juga yang hidup di pedusunan, misalnya sebagai pengusaha di bidang perkebunan dan tuan tanah. Sekitar tahun 1815, orang Jawa atau Sunda yang beragama Kristen boleh dikatakan tidak ada. Jemaat-jemaat Kristen di kota-kota besar, dan orang-orang Kristen yang berserak itu hidup terpencil dan tidak merasa terpanggil untuk menyebarkan Injil kepada massa orang pribumi di sekitar mereka. Anggota-anggota jemaat Depok malah dilarang bergaul dengan penduduk desa-desa tetangga yang beragama Islam.

p.I.Kegiatan

Gereja (GPI) tidak melakukan pekabaran Injil, dan negara tidak mengizinkan lembaga-lembaga p.I. dari Eropa mengisi lowongan itu. Oleh karena itu, pekabaran Injil di pulau Jawa harus berpangkal pada beberapa orang Kristen perorangan. Di antara mereka ada yang hidup di kota, ada yang di pedalaman. Kita menyebutkan beberapa nama. Di daerah Jawa Timur ada Bapa Emde serta kelompoknya (mulai dari tahun 1851) di Surabaya, dan Coolen di Ngoro (sejak ± tahun 1830). Di Jawa Tengah terdapat a.l. beberapa isteri pengusaha Eropa di pedalaman, a.l. ny. Philips (tahun 1850-an). Di Jawa Barat, kita menemukan sejumlah anggota jemaat GPI di Batavia, a.l. mr Anthing (mulai dari tahun 1850-an). Tokoh-tokoh perintis ini memperkenalkan Injil kepada sejumlah orang Jawa. Di antara mereka ini tampil pula tokoh-tokoh yang giat menyiarkan Injil di tengah teman-teman sebangsanya, a.l. Paulus Tosari (1813-1882, Kristen sekitar 1840); Tunggul Wulung (± 1803-1884, Kristen sek. 1853) dan Sadrach (1840-1924, Kristen sek. tahun 1855). Khusus di Jawa Barat, Mr. Anthing dibantu juga oleh sejumlah penginjil yang berasal dari daerah di sekitar Batavia.

Jawa Timur: Emde

Di Jawa Timur, kegiatan p.I. dimulai oleh seorang Jerman yang telah merantau ke Indonesia. Bapa Emde (1774-1859) adalah seorang pietis dari Jerman yang berlayar ke Indonesia untuk melihat dengan mata kepala sendiri, apakah benar bahwa perkataan dalam Kej. 8:22 tentang musim dingin dan musim panas tidaklah sesuai dengan keadaan di daerah katulistiwa. Ia menetap di Surabaya, di mana ia bekerja sebagai tukang arloji. Di situ ia dikunjungi oleh Joseph Kam, ketika ia ini sedang dalam perjalanan ke Maluku (§ 20) dan kunjungan Kam itu membangkitkan semangat misioner pada Emde. Ia mendirikan suatu perkumpulan p.I. (1815) dan mengadakan pertemuan-pertemuan keagamaan di rumahnya. Alat-alat untuk p.I. diperoleh dari Bruckner, seorang pekabar Injil yang telah diutus ke Jawa bersama Kam, menjadi pendeta di Semarang, tetapi kemudian beralih ke lembaga p.I. Baptis Inggeris, yang pada tahun 1792 didirikan oleh William Carey. Bruckner telah mengarang selebaran-selebaran dalam bahasa Jawa, dan Emde mendesak dia agar menterjemahkan P.B. ke dalam bahasa Jawa. Terjemahan itu selesai dicetak pada tahun 1831, tetapi langsung disita oleh pemerintah. Namun Emde sebelumnya sudah menerima beberapa bagian terjemahan tersebut dalam bentuk salinan tangan, dan itu disebarkannya, bersama isteri dan anak-anak perempuannya, bersama dengan selebaran-selebaran, dengan menyodorkannya kepada orang-orang yang kebetulan liwat atau dengan menempelkannya di tempat-tempat ramai.

Mula-mula pekerjaan Emde itu tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya memandang dia sebagai saingan dan mengadukannya kepada pemerintah. Akibatnya, Emde harus meringkuk dalam penjara selama beberapa minggu. Hal ini terjadi pada tahun 1820; di kemudian hari sikap GPI menjadi lebih positif. Tetapi di kalangan orang-orang Jawa juga pekerjaan Emde pada mulanya tidak mendapat sambutan yang hangat.

Coolen

Dalam pada itu, di Jawa Timur telah muncul pusat penyiaran agama Kristen yang kedua. Pusat kedua ini ialah Ngoro, dan pemimpinnya ialah Coolen (1775-1873). Coolen lahir dari keluarga Belanda, tetapi ibunya adalah puteri bangsawan Jawa. Dari ibunya itu diwarisinya tradisi kebudayaan Jawa, sehingga ia menguasai wayang, musik dan tari-tarian Jawa. Pada tahun 1827, ia memperoleh kawasan hutan yang luas, kira-kira 60 Km dari kota Surabaya. Pembukaan hutan itu berhasil baik. Banyak orang Jawa datang ke sana dan diberi tanah dengan syarat yang lunak. Ngoro menjadi desa yang sangat makmur, yang pada waktu kelaparan melanda Jawa Timur dapat membagi beras kepada ribuan orang.

p.I. oleh Coolen

Di Ngoro tidak ada paksaan dalam hal agama. Coolen menyuruh orang membangun sebuah mesjid. Tetapi dalam memimpin desanya, iapun tetap bertindak sebagai seorang Kristen. Apabila seseorang hendak membajak sawahnya, Coolen diminta untuk membuka alur pertama. Maka ia memegang alat luku sambil menyanyikan : "O gunung Semeru, o Dewi Sri, berkatilah karya tangan kami. Dan di atas segala-galanya kami pohonkan karunia dan kekuatan dari Yesus, yang kekuasaanNya tiada bertara". Beberapa di antara orang-orang yang datang ke Ngoro adalah orang yang pernah melakukan kejahatan. Coolen mengizinkan mereka menetap di Ngoro, tetapi ia berusaha untuk menunjuk jalan kepada mereka supaya memperbaiki diri. Kepada mereka diberitahukannya "ilmu Kristen" tentang pelepasan manusia dari dosa oleh Juruselamat dunia. Pada hari-hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya sendiri : di situ ia berdoa dan membacakan suatu pasal dari Alkitab, lalu orang mengangkat nyanyian serta orang dengan gaya tembang. Selanjutnya sepanjang hari Minggu, orang menghabiskan waktunya dengan bermain gamelan, dengan wayang dan dikir, yakni mengulang-ulangi rumus-rumus Kristen (Doa Bapa Kami dan sebagainya) dengan cara yang dipakai juga oleh santri-santri Islam. Pada hari-hari lain, pada sore harinya, Coolen mengajarkan agama Kristen dan rumus-rumus Kristen kepada mereka yang berminta. Dengan cara itu terbentuklah suatu jemaat Kristen. Coolen mengangkat seorang pengantar jemaat, yang disebut Kyai penghulu, dan dua orang penatua. Anggota-anggota jemaat ini mempunyai banyak hubungan ke luar, yaitu dengan teman-teman sebangsanya dari desa-desa lain; terhadap teman-temannya itu mereka memuji "ilmu" Coolen, sehingga orang datang dari jauh untuk "mengadu ilmu" dengannya, dan kalau mereka kalah, maka mereka berguru pada Coolen. Tetapi semuanya ini berlangsung tanpa ada hubungan dengan pendeta serta jemaat GPI di Surabaya. Pun sakramen baptisan dan perjamuan tidak dilayankan di Ngoro.

Kelompok Wiung

Di desa Wiung, yang letaknya tidak jauh dari Surabaya, ada suatu kelompok orang yang taat beragama. Mereka biasa berkumpul dalam rumah modin desa itu, yang bernama Pak Dasimah. Pada suatu hari salah seorang anggota kelompok ini membawa-serta sebuah buku kecil dalam bahasa Jawa yang diberikan kepadanya oleh seorang perempuan keturunan Eropa di Surabaya. Katanya, ia enggan mengambilnya, tetapi akhirnya dengan setengah terpaksa buku itu diterimanya juga. Pak Dasimah membukanya dan heran sekali ia melihat kata-kata yang pertama : "Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus......"(Mrk 1:1). Ia tidak begitu suka akan isinya, tetapi karena buku itu agaknya mengandung hal-hal keagamaan yang belum dikenalnya maka ia tidak membuangnya melainkan membuatnya menjadi pokok pembicaraan dalam kelompoknya.

Kemudian sekitar tahun 1834, seorang anggota kelompok Wiung bertemu dengan seorang kyai yang telah berguru pada Coolen. Kyai ini mengucapkan sebuah rapal yang isinya tidak lain melainkan Keduabelas Pasal Iman. Pengunjung dari Wiung itu teringat akan buku yang telah dikenalnya di sana, dan ia cepat pergi membawa berita ini kepada Pak Dasimah. Setelah mengetahui bahwa rapal itu asalnya dari Ngoro maka Pak Dasimah. Setelah mengetahui bahwa rapal itu asalnya dari Ngoro maka pak Dasimah beserta sejumlah temannya berjalan ke sana meminta "toya wening", air jernih (hidup). Coolen menyambut mereka dengan ramah dan selama sepuluh hari mereka sempat menerima pengajaran agama Kristen seperti yang diberikan di Ngoro. Setelah itu mereka pun pulang, tetapi di Wiung ajaran itu tetap menjadi pokok renungan dan pembicaraan bagi mereka, dan setiap tahun mereka kembali ke Ngoro. Dalam pada itu, Pak Dasimah menyebarkan "ilmu" baru yang telah diperolehnya dengan cara yang sudah dilihatnya di Ngoro, yaitu melalui wayang.

Perbedaan Emde-Coolen

Setelah lima tahun mendapat kunjungan dari orang-orang Wiung, Coolen merasa sayang melihat mereka harus menempuh jarak yang jauh itu. Ia memberi mereka nasehat agar pergi ke Surabaya mencari seorang Kristen bernama nyonya Emde. Pak Dasimah lalu pergi berkunjung kepada Emde. Ia ini heran sekali karena sama sekali belum mengetahui tentang kelompok di Wiung. Soalnya ialah bahwa orang-orang Jawa yang telah masuk kelompok Emde di Surabaya itu adalah orang-orang kota. Mereka biasanya menjadi pembantu rumah tangga pada keluarga-keluarga Eropa, dan tidak berhubungan dengan lingkungan rohani yang didalamnya orang-orang Wiung hidup. Dan sesudah menjadi orang Kristen dan menerima baptisan (di tengah-tengah jemaat GPI) maka mereka lebih jauh lagi dari dunia kerohanian Jawa-asli. Sebab Emde memandang perlu bahwa mereka, bersama dengan agama orang Eropa, menerima juga adat-kebiasaan Eropa. Mereka diharuskan memotong rambut, menggantikan sarungnya dengan celana, melepaskan keris-kerisnya; mereka tidak boleh lagi menonton wayang, mendengarkan gamelan, menyelenggarakan selamatan, dan sebagainya, sebab hal-hal itu dipandang sebagai kekafiran. Coolen mengabarkan Injil sambil memberinya wujud Jawa; Emde menggabungkan erat-erat agama Kristen dengan kebudayaan Eropa. Hanya dalam satu hal itu ia berbeda dengan orang-orang Eropa lainnya (juga dengan banyak tokoh zending di zaman kemudian) dan bertindak sama seperti Coolen: ia sama sekali memperlakukan orang-orang Jawa selaku sesamanya, bukan sebagai manusia yang bertingkat lebih rendah.

Jemaat Ngoro pecah

Di Surabaya, Pak Dasimah dan kawan-kawannya belajar juga mengenai baptisan. Mereka merasa bahwa Coolen belum memberitahukan "ilmu Kristen" kepada mereka dengan sepenuhnya. Untuk mengisi kekurangan itu, mereka minta dibaptis dan permintaan itu dikabulkan. Pada bulan Desember 1843 tigapuluhlima orang Jawa dibaptis oleh pendeta GPI di Surabaya. Mereka semua diberi nama baru, yang diambil dari dalam Alkitab. Tetapi Coolen sama sekali tidak senang mendengar hal itu. Ia memalukan orang yang sudah dibaptis dan yang berrambut pendek itu, dan melarang mereka untuk tetap tinggal di Ngoro. Namun demikian, dalam tahun-tahun berikutnya beberapa ratus orang penduduk Ngoro pergi ke Surabaya untuk dibaptis pula. Dalam hal ini kita amati suatu ironi: orang Kristen Jawa menolak bentuk agama Kristen yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa dan mereka berpaling kepada agama Kristen gaya Emde yang justru menolak seluruh kebiasaan Jawa! Gejala seperti ini nampak pula di daerah-daerah lain dan dalam zaman kemudian. Salah seorang di antara mereka yang meminta untuk dibaptis ialah Paulus Tosari (1813-1882). Ia ini pernah belajar di pesantren, tetapi kemudian menempuh jalan yang kurang baik. Setelah mengatasi krisis ini, ia mendengar tentang "ilmu" yang dapat diperoleh di Ngoro. Perkataan Yesus dalam Matius 5:3 menjadi pegangan dan pedoman hidup baginya. Sekitar tahun 1840, Tosari pindah ke Ngoro dan setelah berguru lagi pada Coolen, iapun diberi tugas memimpin kumpulan-kumpulan pada hari Minggu dan Kamis malam.

Mojowarno

Coolen tidak tahan anak-anaknya menerima baptisan serta adat orang Belanda. Akhirnya mereka diusirnya dari Ngoro, dan dalam kawasan hutan yang angker, mereka mendirikan sebuah desa yang diberi nama Mojowarno (1844). Tosari menjadi guru jemaat mereka dan selama beberapa tahun jemaat ini berjalan dengan pimpinan yang hanya terdiri dari orang-orang Jawa saja. Tetapi dalam tata-kebaktian dan dalam hal-hal lain mereka ini memakai bentuk-bentuk dari Barat.

Jellesma

Sementara itu NZG (§ 19) akhirnya mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk memulai pekerjaan di pulau Jawa. Utusannya yang pertama ialah Jellesma (1817-1858). Mula-mula ia menetap di Surabaya, tetapi karena melihat bahwa orang-orang Jawa di sana, apalagi orang-orang Jawa Kristen, sudah menjadi terasing dari kehidupan suku bangsa mereka sendiri, maka kemudian ia pindah ke Mojowarno (1851). Di situ ia tidak mengambil-alih pimpinan dalam jemaat : Tosarilah yang tetap menjadi pemimpin. Jellesma yakin bahwa kegiatan jemaat dan penyiaran Injil harus diselenggarakan oleh orang-orang Jawa, dengan cara yang sesuai dengan lingkungan Jawa. Dalam hal ini ia mengambil garis-tengah antara Emde dan Coolen. Terhadap bentuk-bentuk kebudayaan Jawa. Emde telah mengambil sikap negatif ; Coolen sebaliknya bersikap positif terhadapnya; kita dapat berkata bahwa Jellesma mengambil sikap selektif (= memilih). Misalnya: ia tidak berkeberatan kalau orang Kristen berambut panjang, atau mau melepaskan destarnya dalam kebaktian, dan ia berusaha untuk menyederhanakan untuk tata-ibadah. Sebaliknya ia tidak setuju ketika para sesepuh desa Mojowarno mengadakan pesta tarian dengan wanita-wanita, dan mereka itu dikenakan disiplin gereja. Sikap ini diambil tidak oleh Jellesma seorang; kita telah melihat dalam bab-bab yang terdahulu bahwa angkatan para zendeling yang sebaya dengan Emde pada umumnya bersikap negatif terhadap adat dan kebudayaan peribumi, sedangkan angkatan Jellesma pada galibnya melepaskan sikap menolak itu.

Kerjasama antara Tosari dan Jellesma berlangsung dalam suasana baik dan memberi hasil yang baik. Selama Jellesma di Jawa, ia membaptis duaribu orang lebih. Jellesma juga menyelenggarakan sekolah rakyat, dan di samping itu mendidik sejumlah pemuda menjadi guru sekolah merangkap guru jemaat. Bersama Tosari ia mendirikan pula "Lumbung orang Miskin": jemaat mengumpulkan padi yang kemudian "dipinjamkan" atau diberikan kepada orang-orang yang berkekurangan. Jellesma menerbitkan juga Riwayat-riwayat Alkitab dan sebuah bundel Nyanyian Rohani dalam bahasa Jawa.

Pengaruh Zending bertambah

Pada tahun 1858 Jellesma meninggal. Pada zaman utusan-utusan yang menggantikan dia (a.l. J. Kruyt, ayah A.C. Kruyt, yang bekerja di Mojowarno tahun 1864-1910) pengaruh Zending dalam lingkungan kekristenan Jawa bertambah besar. Mereka melihat dirinya sebagai guru-guru yang harus membawa orang-orang Kristen Jawa menuju ke kedewasaan iman, dan oleh orang-orang Kristen mereka dipandang sebagai tokoh-tokoh yang serba bisa. Jadi, keadaan dalam lingkungan kekristenan Jawa, yang mula-mula berbeda sekali dengan keadaan di daerah-daerah lain Minahasa, Kalimantan dan sebagainya), lama-lama sama dengan yang di tempat-tempat lain. Barulah dalam abad ke-20 jemaat-jemaat di Jawa Timur kembali berdiri sendiri.

Jawa Tengah

Injil datang ke Jawa Tengah melalui dua jalan. Jalan yang satu ialah melalui usaha beberapa orang kulit putih. Jalan yang lain adalah penyiaran "ilmu" Kristen oleh penduduk Ngoro dan Mojowarno. Selanjutnya juga riwayat sejarah gereja di Jawa Tengah mempunyai pola yang mirip dengan yang di Jawa Timur: utusan-utusan Lembaga Zending datang menetap di tengah-tengah jemaat-jemaat Kristen Jawa dan mengambil-alih pimpinan. Hanya, di Jawa Tengah mereka lebih banyak mengalami pertentangan daripada yang dialami Jellesma atau penggantinya. Penggabungan kedua arus itu, yaitu kekristenan bercorak Jawa dan kekristenan gaya Barat, di sini baru selesai pada abad ke-20.

Bruckner

Di Semarang, Bruckner bekerja dari tahun 1815-1856. Ia telah diutus NZG bersama dengan Kam (§ 20), dan sama seperti Kam ia diangkat menjadi pendeta GPI. Akan tetapi ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dalam Gereja negara itu (bnd Kam!) dan pada tahun 1816 ia meletakkan jabatannya dan bergabung dengan Lembaga p.I. Baptis yang pada tahun 1792 didirikan oleh Carey. Dialah yang untuk pertama kali menterjemahkan PB ke dalam bahasa Jawa. Buku-buku itu disita oleh pemerintah, namun ada salinan yang sampai ke dalam tangan orang Jawa Timur. Bruckner tidak berhasil mengumpulkan suatu jemaat, sebab pada hematnya tidak seorangpun di antara mereka yang berminat untuk dibaptis, dapat dianggap telah memenuhi syarat. Tetapi beberapa orang Kristen dari Jawa Timur mengadakan perjalanan p.I. sampai ke daerah Gunung Muria (Jepara) dan di situ berdirilah jemaat-jemaat kristen di Kayu-Api dan lain-lain tempat, tanpa perantaraan seorang Eropa, tetapi sebagai hasil-tidak-langsung dari karya terjemahan Bruckner.

Tunggul Wulung

Salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa ialah Tunggul Wulung (sek. 1803-1885). Ia berasal dari daerah Juwono (juga dekat gunung Muria). Pada tahun-tahun itu penduduk Jawa Tengah menjadi resah akibat keadaan ekonomi mereka yang sulit. Banyak orang yang mengungsi ke Jawa Timur. Kyai Ngabdullah, begitulah namanya pada waktu itu, ikut berpindah dan menjadi seorang pertapa di lereng gunung Kelud. Rupanya ia dipandang orang sebagai penjelmaan seorang tokoh dari zaman raja Joyoboyo, yaitu seorang jenderal yang bernama Tunggul Wulung.

Pada masa ini Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen. Caranya tidak kita ketahui dengan tepat, tetapi baik Ngoro maupun Mojowarno letaknya tidak jauh dari gunung Kelud, sedangkan pada tahun-tahun 1840-an agama Kristen sudah cukup terkenal di kalangan penganut kebatinan. Bagaimana pun juga, pada tahun 1853 Tunggul Wulung muncul di Mojowarno, dan dua tahun kemudian iapun dibaptis oleh Jellesma dan diberi nama Ibrahim. Sementara itu dan juga sesudahnya ia mengadakan perjalanan p.I. terus-menerus, a.l. ke Pasuruan, Rembang, di daerah Malang dan di kawasan gunung Muria, kemudian juga di Jawa Barat. Di beberapa tempat ia menjadi perintis jemaat-jemaat Kristen yang baru. Kegiatan ini sempat menimbulkan rasa gelisah di kalangan pemerintah Hindia-Belanda begitu rupa, sehingga sampai-sampai Gubernur-Jenderal dan Menteri Daerah-daerah Jajahan mengutarakan pendapat mereka. Pun Zendeling Jansz, utusan pertama dari Lembaga Zending Mennonit, yang sejak tahun 1852 menetap di daerah Jepara, mengecam cara-cara yang ditempuh oleh Kyai Jawa ini. Tetapi Tunggul Wulung tidak membiarkan kegiatannya di tahan; selama duapuluh tahun ia berkeliling terus. Pada waktu kematiannya jumlah pengikut-pengikutnya dalam arti yang sempit saja sudah ditaksir melebihi seribu orang.

Hubungannya dengan pemerintah

Oleh orang-orang Belanda pada zaman itu, termasuk para zendeling, Tunggul Wulung rata-rata dinilai negatif. Pemerintah mula-mula mencurigai dia karena takut penyiaran agama Kristen olehnya bisa mengganggu keamanan, tetapi juga karena alasan yang lebih langsung bersifat politis: para pengikut Tunggul Wulung mengharapkan pembebasan dari pekerjaan rodi. Pada zaman itu sering terjadi gerakan sosial-religius di Jawa, yang mengemukakan tuntutan yang serupa. Tetapi Kyai Ibrahim terkesan oleh perkataan Yesus : "orang-orang yang lemah-lembut akan memiliki bumi" (Mat. 5:5), dan ia sama sekali tidak bermaksud untuk mewujudkan tuntutan itu dengan kekerasan. Rupanya ia tertarik oleh apa yang telah dilihatnya di Ngoro : orang-orang Kristen dikumpulkan dalam suatu desa Kristen di bawah seorang tuan tanah Kristen, dan dengan demikian mereka dengan sendirinya akan menjadi bebas dari rodi. Atas dorongannya, Zending Mennonit menggunakan sistim ini di daerah Gunung Muria. Namun demikian, terhadap orang-orang Belanda Tunggul Wulung menunjukkan rasa harga diri yang cukup besar; ia tidak mau berjongkok apabila menghadap seorang Eropa, apalagi kalau ia ini seorang utusan zending.

Sikap Zendeling terhadapnya

Ada utusan-utusan Zending yang sempat menjadi marah karena sikap ini. Jellesma dan Jansz bersikap lebih luwes, tetapi mereka terutama Jansz, terkejut oleh unsur Jawa dalam kekristenan gaya Tunggul Wulung. Dari Jansz kita mendengar bahwa Kyai Ibrahim menyajikan Injil sebagai suatu "ilmu"; bahwa pengikut-pengikutnya berdikir; bahwa pemimpin mereka memakai cara-cara seorang dukun dalam mengobati orang sakit dan menggunakan rumus-rumus Kristen seperti Doa Bapa Kami dan sebagainya dalam usaha pengobatan itu; bahwa bagi Tunggul Wulung peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Alkitab, termasuk kelahiran Yesus Kristus, tidak perlu ditafsirkan secara harafiah tetapi mempunyai arti rahasia yang diwujudkan dalam batin orang-orang percaya.

Penilaian

Adalah sulit untuk menilai tuduhan-tuduhan semacam ini. Mungkin juga kekristenan Tunggul Wulung mempunyai ciri-ciri sinkretistis (percampuran agama). Tetapi baiklah kita ingat akan perkataan Kraemer : seorang Jawa yang memiliki "ilmu" akan merahasiakannya, tetapi orang-orang Jawa Kristen itu justru menyebar-luaskan "ilmu" mereka yang baru; hal ini menunjukkan bahwa Roh telah mulai membaharui pemikiran mereka, betapapun besarnya pengaruh lingkungan Jawa atas pemikiran itu.

Sadrach

Setelah kematiannya (1885), jemaat-jemaat yang dipimpin oleh Tunggul Wulung beralih kepada Zending Mennonit. Tetapi di Jawa Tengah bagian Selatan tetap terdapat sekelompok orang-orang Kristen yang meneruskan tradisi Tunggul Wulung. Mereka ini dipimpin oleh salah seorang muridnya, yaitu Sadrach (1840-1924). Selama beberapa tahun ia bekerja di Jawa Barat dan kemudian menjadi pembantu ny. Philips di Purworejo. Setelah ny. Philips meninggal, jemaat yang telah dikumpulkannya menerima Sadrach menjadi pemimpinnya (1876). Di sini juga Zending, yaitu NGZV dan kemudian Zending Gereformeerde Kerken di Nederland (§ 19) masuk. Karena sikap NGZV terhadap agama Kristen Jawa itu lebih keras daripada sikap Jansz maka terjadilah keretakan yang tidak dapat dipulihkan lagi (tahun 1880-an). Sama seperti Mr Anthing (di bawah), Sadrach menggabungkan diri dengan Gereja Kerasulan.

Jawa Barat : Batavia

Di Batavia, sejak zaman VOC sudah terdapat suatu jemaat yang berbahasa Melayu (§ 13). Jemaat ini merupakan bagian jemaat GPI setempat. GPI sudah merasa puas, apabila dapat memelihara warisan VOC itu dengan baik, dan tidak berusaha untuk menyiarkan Injil di tengah-tengah orang yang bukan Kristen. Tetapi sama seperti di Semarang dan Surabaya, begitu pula di Batavia selama abad ke-19, terdapat utusan-utusan Zending dan orang-orang swasta yang giat mengabarkan Injil. Di antara terdapat pendeta King (1824-1884) yang mendirikan gereja "Rehoboth" di Jatinegara, dan Mr Anthing (1820-1883), yang menjabat sebagai wakil ketua Mahkamah Agung. Ia ini menghabiskan seluruh kakayaannya dalam pekabaran Injil. Antara tahun 1851-1873 seorang penginjil dari daratan Tiongkok, yang bernama Gan Kwee, bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa di Batavia dan di seluruh Jawa. Jemaat Patekoan dan juga beberapa kelompok orang Kristen di luar Batavia lahir dari usaha itu. Akan tetapi pada umumnya usaha p.I. di Batavia sendiri tidak banyak berhasil, sama seperti di Semarang dan Surabaya.

Jemaat-jemaat Anthing

Mr Anthing berpendapat bahwa kota Batavia merupakan lapangan kerja yang sempit dan tandus, dan bahwa pekabaran Injil oleh tenaga asing dengan metode kebarat-baratan itu tidak mungkin membawa tujuan. Menurut dia, Injil harus dikabarkan oleh orang-orang pribumi dengan cara pribumi. Oleh karena itu ia memelihara hubungan dengan tokoh-tokoh Kristen Jawa-asli seperti Tunggul Wulung. Ia ini begitu menghargai sikap Anthing, sehingga ia mengirim anaknya untuk bersama sejumlah orang lain mendapat pendidikan di rumah Anthing untuk menjadi seorang pekabar Injil. Juga Sadrach selama beberapa waktu menumpang di rumah Anthing.

Pekabar-pekabar Injil didikan Anthing itu mendirikan sejumlah jemaat kecil di daerah sekitar Batavia, a.l. Kampung Sawah dan Gunung Putri. Mereka menggunakan metode yang sama dengan pengikut-pengikut Coolen di Jawa Timur dan Tunggul Wulung dan kawan-kawan di Jawa Tengah: Injil dibawakan sebagai suatu "ilmu". Tetapi daerah di sekitar Batavia bukanlah daerah Sunda-asli; penduduknya bersifat campuran. Orang-orang Sunda asli tidak terjangkau oleh pekerjaan Mr Anthing. Usaha p.I. di tengah-tengah mereka dimulai oleh Lembaga NZV dari Nederland (§ 19), yaitu pada tahun 1861. Dengan memperlihatkan sikap yang lunak dan bijaksana, utusan-utusan berhasil mengadakan kerjasama dengan jemaat-jemaat Anthing, sesudah ia ini meninggal (tahun 1880-an). Dan karena pekerjaan NZV di kalangan orang-orang Sunda belum begitu berhasil, maka jemaat-jemaat Anthing itu menjadi tumpuannya yang utama. Dikemudian hari, banyak tokoh pemimpin jemaat-jemaat Pasundan berasal dari sana.

Ringkasan

Kita telah melihat bahwa dalam abad ke-19 pekabaran Injil ke Jawa dirintis oleh beberapa orang perorangan di kota-kota maupun di pedalaman. Lembaga-lembaga zending barulah mulai bekerja dengan sungguh setelah tahun 1860. Pekerjaan di kota-kota tidak banyak berhasil. Sebaliknya pedalaman, terutama berkat usaha orang-orang Jawa sendiri, pada tahun 1860-an sudah terdapat banyak orang Kristen: ribuan di Jawa Timur dan Tengah, ratusan di Jawa Barat. Jemaat-jemaat Kristen ini pada umumnya mempunyai corak Jawa yang nyata. Badan-badan zending, yang sejak tahun 1850 lama-kelamaan mulai bertindak sebagai wali jemaat-jemaat Kristen Jawa itu, berusaha untuk mengurangi unsur kejawen unsur kejawen di dalamnya.

BY GAN

Diposting oleh gan

Setelah melihat kepada orang Indonesia yang masuk Kristen, sekarang kita mengamati persekutuan jemaat yang dimasukinya. Kita berturut-turut akan berbicara mengenai: ibadahnya, termasuk pelayanan sakramen-sakramen; mengenai penggembalaan dan disiplin gereja; mengenai organisasi gereja; mengenai diakonat dan mengenai kesaksian jemaat ke luar.

Ibadah: terpisah menurut bahasa

Di jemaat-jemaat di luar pusat, ibadah diadakan dalam bahasa Melayu saja. Di jemaat-jemaat pusat, ibadah biasanya diadakan secara terpisah-pisah bagi beberapa kelompok tersendiri. Begitulah misalnya di Ambon (§ 9, 10) dan di Solor (§ 12). Juga di Batavia (§ 13) di mana orang memakai tiga bahasa. Rupanya keadaan ini disebabkan oleh soal bahasa, mungkin juga oleh keinginan para misionaris Yesuit untuk menjauhkan domba-domba mereka dari pengaruh yang merusak dari orang-orang Portugis-asli. Masing-masing kelompok dilayani dalam bahasa sendiri dan sedapat mungkin oleh imam atau pendetanya sendiri. Begitu misalnya di Ambon pada akhir zaman Portugis, dan di Ambon dan Batavia pada masa kejayaan VOC. Tetapi kalau hanya satu pelayan yang hadir/tersedia, maka ia ini harus memimpin kebaktian dalam dua bahasa, pagi hari bahasa Belanda, selanjutnya dalam bahasa Melayu. Ada-tidaknya kebaktian dalam bahasa Melayu ini (di Batavia juga: bahasa Portugis; di luar wilayah Indonesia yang sekarang, pendeta-pendeta VOC menggunakan bahasa-bahasa lain lagi) merupakan ukuran bagi kekuatan batiniah gereja pada zaman itu. Sebab hanya dalam bahasa itu iman Kristen dapat diperkenalkan kepada orang-orang Indonesia dan mereka dapat dipelihara di dalamnya. Dan hanya pelayan-pelayan yang sanggup memberi pelayanan dalam bahasa itulah yang dapat bertindak sebagai pekabar Injil kepada orang-orang yang bukan-Kristen. Banyak sekali imam dan pendeta yang tidak pernah sampai kepada pengetahuan bahasa Melayu atau bahasa pribumi lainnya, dan yang hanya melayani para pendatang dari Eropa saja.

Tata-ibadah

Ibadah diselenggarakan menurut kebiasaan yang berlaku di Eropa. Para imam Katolik-Roma melayankan misa menurut cara yang ditetapkan oleh gereja mereka; para pendeta Protestan mengikuti tata-ibadah yang umum diterima di negeri Belanda. Tata-ibadah ini adalah sebagai berikut: votum-salam -- nyanyian jemaat -- pembacaan Dasatitah -- doa -- bacaan Alkitab -- khotbah -- nyanyian jemaat -- (perayaan Perjamuan Kudus) -- pengumpulan persembahan -- doa -- nyanyian -- berkat. Pada sore hari, para pendeta Protestan menyelenggarakan ibadah-katekismus yang memakai cara yang sedikit lain. Di situ khotbah memberi penjelasan tentang satu pasal ("minggu") dari Katekismus Heidelberg. Di jemaat-jemaat di luar pusat, tata-ibadah adalah kira-kira sama. Hanya, di situ biasanya tidak terdapat seorang pendeta; yang memimpin ibadah ialah guru setempat atau seorang penghibur-orang-sakit (§ 10). Tokoh-tokoh ini tidak boleh membawakan khotbah yang mereka susun sendiri; mereka tidak juga memberi khotbah mengenai Katekismus.

Unsur ibadah: nyanyian

Gereja di Belanda telah mengambil keputusan bahwa nyanyian-nyanyian yang boleh dipakai dalam kebaktian resmi hanyalah Mazmur-mazmur Daud (dalam bentuk sajak dan dengan lagu-lagu yang digubah di Jenewa pada zaman Calvin), berikut sejumlah kecil nyanyian rohani. Dan itu juga yang dipakai di Indonesia. Nyanyian-nyanyian ini sudah mulai diterjemahkan dalam tahun-tahun pertama VOC, antara lain oleh beberapa anggota jemaat yang bukan-pendeta. Tetapi Kitab Mazmur yang lengkap, disertai sejumlah nyanyian rohani, baru terbit pada tahun 1735, dengan judul: "Sji'r, segala mazmur-mazmur Daud dan pudjian-pudjian yang lajin. Terkarang atas titah segala Toewan Pemarentah Kompanija". Mazmur dan nyanyian-nyanyian rohani ini tentu saja memakai lagu-lagu yang lazim dalam gereja di Belanda. Dalam menyanyikannya, orang-orang Belanda memasukkan metode yang berasal dari negeri Inggeris: baris demi baris dibacakan, lalu dinyanyikan.

Unsur ibadah: Alkitab

Dalam Misi zaman itu, penterjemahan Alkitab tidak diusahakan. Dalam ibadah, para imam menggunakan Alkitab bahasa Latin; Alkitab bahasa Portugis juga belum ada. Di tangan orang-orang Belanda yang Protestan, Alkitab menjadi sarana yang mahapenting untuk pemeliharaan orang-orang Kristen dan untuk pengajaran kepada orang-orang yang belum menjadi Kristen. Dari itu mereka sejak semula berusaha untuk menyediakan Alkitab dalam bahasa Melayu (di luar Indonesia juga dalam bahasa-bahasa lain). Akibat kebijaksanaan mereka di bidang bahasa (§ 10), mereka tidak menterjemahkannya ke dalam salah satu bahasa daerah di Indonesia, kecuali Heurnius, yang menyalin sejumlah bagian pokok dari Alkitab ke dalam bahasa Lease (Saparua). Bagi orang-orang Kristen berbahasa Portugis disiapkan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa itu (PB 1681, PL 1753). Yang menyusun terjemahan itu adalah seorang bekas anggota Gereja Katolik, bernama Ferreira, yang selama puluhan tahun menjadi pendeta di Batavia.

Terjemahan Brouwerius (1668)

Mula-mula usaha ini terutama dilakukan oleh pegawai-pegawai Kompeni yang bukan pendeta atau theolog. Tetapi kedua terjemahan utama yang kita kenal berasal dari dua orang pendeta. Pada tahun 1668 terbitlah Perjanjian Baru lengkap dalam bahasa Melayu, karya Brouwerius, yang pernah menjadi pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia, dan yang sudah menterjemahkan pula Kitab Kejadian. Dalam terjemahan ini pengaruh bahasa Portugis dan Belanda adalah sangat nyata. Kata "Allah" diterjemahkan sebagai "Deos"; "salib" sebagai "crus". Sebabnya ialah bahwa Brouwerius menggunakan jenis bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa pergaulan di Indonesia, yaitu "bahasa Melayu-rendah". "Bahasa" ini merupakan campuran antara bahasa Melayu dengan bahasa-ibu para pemakai sendiri, sehingga berlain-lainan menurut tempat dan asal para pemakai. Dalam mulut para misionaris, bahasa Melayu tercampur dengan bahasa Portugis, khususnya dalam hal kata-kata di bidang agama. Akibatnya di kalangan orang Kristen Indonesia bahasa Melayu-rendah itu mendapat warna yang khusus yang membedakan mereka dari teman-teman sebangsa yang beragama lain. Maka terjemahan Brouwerius itu tidak bisa berfungsi sebagai alat misioner. Lagipula, Brouwerius tidak mengenal bahasa Melayu dengan sungguh-sungguh baik. Ganti "menciptakan" dipakainya "miara", dan kalimat dari Kejadian 13:2 ("Adapun Abraham sangat kaya, banyak ternak, perak dan emasnya") ia terjemahkan sedemikian rupa hingga pembaca mendapat kesan bahwa Abraham adalah nama ternak itu. Pembaca atau pendengar yang tidak mengenal isi Alkitab dengan baik, pastilah tidak dapat menangkapnya dari dalam terjemahan ini.

Terjemahan Leijdecker (1733)

Kita tidak tahu sampai berapa jauh terjemahan-terjemahan tersebut digunakan dalam jemaat-jemaat berbahasa Melayu. Yang pasti ialah bahwa orang belum puas dan terjemahan-terjemahan itu tidak diterima secara resmi oleh gereja. Akhirnya majelis jemaat di Batavia (§ 13) mengambil prakarsa untuk menciptakan suatu terjemahan Alkitab yang lebih baik dan yang lengkap. Hal ini ditugaskan kepada pendeta Leijdecker, yang melayani jemaat berbahasa Melayu di kota tersebut. Ia ini memakai bahasa Melayu yang lebih tinggi daripada terjemahan sebelumnya; oleh orang banyak terjemahan-Leijdecker itu sulit untuk dibaca karena banyak menggunakan kata bahasa Arab dan Persia. Ia sempat mengerjakan terjemahan itu sampai kepada surat Efesus (1691-1701); seorang pendeta lain menyelesaikannya.

Pilihan jenis bahasa

Tetapi waktu masih berlangsung cukup lama sebelum terjemahan-Leijdecker ini diterbitkan. Soalnya ialah bahwa sebagian orang berpendapat, bahasa Melayu-rendah lebih mudah dipahami jemaat. Dan memang bahasa Melayu Leijdecker mengandung banyak kata asing, terutama Arab; pengaruh bahasa Portugis sudah hilang. Dan terjemahannya masih sangat terikat kepada bentuk-kalimat bahasa-bahasa-asli, yaitu bahasa Ibrani dan Yunani. Tentang terjemahan ini pun dinyatakan oleh seorang ahli bahwa isinya tidak dapat dipahami oleh seorang yang bukan-Kristen, dan orang-orang Kristen Indonesia hanya dapat menggunakannya kalau diberi pelajaran khusus tentang bahasanya (di kemudian hari, beberapa orang menerbitkan daftar-daftar kata yang sulit yang terdapat dalam Alkitab Leijdecker). Bagaimanapun juga, pemerintah VOC mengambil keputusan, yaitu bahwa terjemahan-Leijdecker harus diterbitkan, dan demikianlah terjadi. Alkitab itu umum dipakai di jemaat-jemaat berbahasa Melayu sampai abad ke-19, di Maluku bahkan sampai abad ke-20.

Ibadah-doa-malam

VOC mewajibkan setiap jemaat atau kelompok orang Kristen di wilayahnya untuk mengadakan ibadat-doa-malam (bnd § 10). Doa-malam ini dipimpin oleh guru setempat atau oleh seorang penghibur-orang-sakit. Pemimpin membacakan doa yang tetap, sesuai dengan formulir gereja di Belanda, dan bersama anak-anak sekolah menghafalkan pokok-pokok iman Kristen. Dengan demikian, doa-malam ini merupakan juga suatu katekisasi-ulangan bagi orang-orang dewasa.

Pelayanan sakramen-sakramen

Yang berhak melayankan sakramen-sakramen pada umumnya hanyalah imam atau pendeta. Tetapi dalam Misi tidak jarang seorang awam melayankan sakramen baptisan, dan kadang-kadang seorang bruder (anggota ordo kebiaraan yang bukan imam) memperoleh hak ini secara resmi; begitu pula penghibur-orang-sakit yang baik dalam gereja Protestan pada zaman VOC. Cara melayankan sakramen harus seperti di Eropa. Pendeta-pendeta Protestan menggunakan formulir-formulir dari gereja di Belanda, yang diterjemahkan juga ke dalam bahasa Melayu dan lain-lain (Heurnius malah menterjemahkan formulir baptisan dari Belanda itu ke dalam bahasa Saparua).

Pemisahan sakramen-sakramen

Tetapi tidak dalam semua hal corak gereja Belanda diikuti di Indonesia. Penyimpangan yang paling besar artinya terdapat pada pelayanan sakramen Perjamuan Kudus, khususnya di jemaat-jemaat Indonesia. Menurut gereja di Belanda, setiap orang yang masuk Kristen dan dibaptis pada umur dewasa sekaligus melakukan sidi dan wajiblah mengikuti perjamuan. Misi telah menetapkan bahwa orang yang bukan-Kristen yang dibaptis tidak otomatis boleh ikut-serta dalam sakramen Misa, melainkan harus belajar lebih lanjut dan nyata-nyata menempuh hidup suci, baru boleh menikmati sakramen tersebut (§ 9). Misi terpaksa berbuat demikian karena pada waktu itu orang dibaptis tanpa persiapan yang memadai. Gereja Protestan pada umumnya meneruskan praktek Pembaptisan tanpa persiapan yang wajar (§ 14) dan sebab itu harus mengikuti pula praktek Misi dalam hal penerimaan orang untuk Perjamuan Kudus. Tata-gereja tahun 1643 menetapkan bahwa orang Indonesia yang masuk Kristen, barulah boleh turut merayakannya apabila ia sendiri menyatakan niatnya dan mengikuti pelajaran agama lebih lanjut. Jadi, pada mereka pembaptisan dipisahkan daripada sidi dan penerimaan sakramen Perjamuan. Tetapi hanya di jemaat-jemaat-pusat, terutama di Batavia, pengajaran-lanjutan ini berhasil diberikan secara teratur, sehingga jumlah anggota-sidi mencapai tingkat yang memuaskan. Di luarnya hanya segelintir orang yang pernah sampai naik sidi dan turut merayakan perjamuan. Boleh dikatakan 90% orang-orang Kristen Indonesia pada zaman ini tidak pernah menikmati makanan dan minuman rohani itu.

Penggembalaan: dalam Misi

Xaverius sendiri memberi petunjuk kepada para misionaris dari Serikat Yesus tentang cara menggembalakan orang. Tugas mereka yang pertama ialah mengunjungi rumah orang dan bertanya apakah ada anak yang belum dibaptis. Mereka harus juga mengunjungi orang-orang sakit. Orang-orang sakit itu akan disuruh mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, dan pada setiap pasal ditanyakan kepada mereka apa mereka mempercayainya dengan teguh; setelah itu mereka harus mengucapkan pengakuan dosa dan memperoleh penghiburan dalam doa dan pembacaan Injil. Jadi, di sini penggembalaan berkisar sekitar kedua ujung kehidupan: kelahiran dan kematian. Melihat jumlah misionaris yang begitu kecil, penggembalaan yang lebih intensif sulit untuk dilaksanakan.

Dalam gereja Protestan

Penggembalaan atas anggota jemaat Protestan terutama dilakukan berhubung dengan perayaan sakramen Perjamuan. Sebelum perayaannya, setiap keluarga dikunjungi seorang pendeta, disertai seorang penatua. Menurut tata-gereja pertama (1624), pendeta wajib pula memelihara hubungan yang intensif dengan keluarga-keluarga di jemaatnya dan mengunjungi mereka secara teratur. Para penghibur-orang-sakit bertugas mendampingi orang-orang sakit di rumah sakit. Jelaslah bahwa peraturan-peraturan ini hanya dapat dilaksanakan di jemaat-jemaat yang mempunyai pendeta dan majelis gereja. Di jemaat-jemaat Indonesia di luar pusat, penggembalaan dilakukan oleh gurunya, dan oleh pendeta apabila tokoh ini sempat datang berkunjung ke jemaat itu (bnd § 10, 11, 12).

Disiplin

Di wilayah Misi, disiplin dipertahankan oleh misionaris sendiri. Di jemaat-jemaat-pusat gereja Protestan, majelislah yang menangani persoalan itu. Pada waktu-waktu yang tertentu majelis jemaat membicarakan hidup seluruh jemaat, orang demi orang, keluarga demi keluarga. Kalau ada yang tidak setia datang ke gereja, yang hidup dalam pertikaian dengan sesamanya, yang melakukan dosa terhadap perintah yang ke-7 dan seterusnya, diputuskan bahwa orang yang bersangkutan akan dikunjungi dan ditegur, mula-mula oleh seorang pendeta, dan kalau ia tidak mau mendengar, oleh seorang pendeta dan seorang diaken. Kalau orang yang bersangkutan tetap keras kepala, ia harus menghadap majelis. Dengan adanya hubungan erat antara gereja dan negara pada zaman itu, campurtangan pemerintah tidak bisa dicegah. Para misionaris menggunakan bantuan alat-alat pemerintah untuk mengawasi domba-domba mereka, dan pemerintah VOC sering juga mengenakan hukuman kepada orang-orang yang melanggar peraturan gerejani. Hukuman itu bisa berupa denda, atau hukuman badani, sampai hukuman mati.

Di luar pusat, disiplin kurang efektif

Disiplin gerejani tidak berhasil dilaksanakan secara bulat. Pembatasan yang pertama ialah bahwa kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia hidup di luar jemaat-jemaat-pusat dan tidak mempunyai pendeta atau majelis. Kita boleh menduga bahwa bagi guru-guru sulitlah untuk seorang diri menegakkan disiplin gerejani di tengah teman-teman sebangsa mereka. Apabila pendeta datang berkunjung, mereka harus melapor tentang kelakuan anggota jemaat, dan diambil tindakan seperlunya. Di tempat-tempat seperti itupun tangan kuat pemerintah bisa digunakan untuk melaksanakan hukuman. Tetapi kalau pendeta sama sekali tidak muncul, disiplin gerejani pun ambruk.

Juga terhadap penguasa-penguasa

Pembatasan yang lain ialah bahwa disiplin sulit untuk dilaksanakan terhadap anggota-anggota jemaat yang mempunyai kedudukan tinggi dalam tubuh VOC. Di Batavia, terutama pada masa permulaan, disiplin masih berhasil diterapkan tanpa pandang bulu, karena pemerintah tertinggi menghargai disiplin gerejani sebagai sarana untuk mengatur masyarakat Belanda yang bandel itu. Tetapi di jajahan-jajahan yang jauh dari pusat pemerintah, para pegawai Kompeni bisa bertindak dengan sewenang-wenang, dan pendeta serta majelis gereja tak berdaya menghadapi mereka. Kalau seorang gubernur ditegur karena kehidupannya kurang senonoh dan lain sebagainya, kemungkinan besar bahwa pendetanya dibelenggu dan dikirim ke Batavia untuk diadili (§ 8). Dan salah satu kekurangan umum dalam pelaksanaan disiplin ialah bahwa korupsi dan pemerasan rakyat kurang diperhatikan. Terutama dalam abad ke-18, tubuh VOC sudah sama sekali dijangkiti penyakit korupsi - inilah yang akhirnya menyebabkan keruntuhannya. Tetapi gereja tidak berbuat apa-apa untuk menahan penyakit itu; banyak pendeta malah tidak enggan menerima hadiah-hadiah yang mahal dari orang kaya. Hal itu berarti bahwa gereja membuang kesempatan untuk menjadi garam dunia. Dan ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan minat bagi gereja di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia menjadi semakin kecil.

Organisasi gereja RK

Misi mempunyai organisasi rangkap. Di bawah padroado (§ 4) tugas-tugas gerejani diserahkan kepada raja Spanyol/Portugal supaya diurusnya. Raja berhak mengangkat uskup-uskup dan mengirim imam-imam yang harus memelihara orang-orang Kristen dan mengabarkan Injil di tengah orang-orang bukan-Kristen. Tetapi dari semula di antara pekerja-pekerja gereja ini terdapat pula anggota-anggota ordo-ordo kebiaraan. Mereka ini secara formil berada di dalam kerangka padroado, sehingga harus mematuhi uskup dan gubernur yang berkuasa di wilayah mereka. Akan tetapi sebagai anggota ordo, mereka mempunyai organisasi sendiri yang kepalanya ("jenderal" ordo) berkedudukan di Roma dan bertanggung-jawab kepada paus. Hal ini tak bisa tidak membawa kepada pertikaian-pertikaian yang merugikan pekerjaan Misi dan jemaat-jemaat pribumi. Misal pada tahun 1545, ketika beberapa biarawan berkebangsaan Spanyol diusir dari Maluku Utara oleh gubernur Portugis. Mereka sungguh-sungguh bersemangat untuk mengabarkan Injil dan malah telah menyusun suatu kamus bahasa Tidore. Tetapi orang-orang Portugis melihat mereka sebagai mata-mata Spanyol, saingan mereka, sehingga tidak mau mengizinkan mereka bekerja di wilayah Portugis. Pertentangan antara organisasi gereja bercorak nasional (padroado) dan internasional ini menjadi lebih tajam lagi setelah tahun 1622, ketika di Roma dibentuk "Congregatio de Propaganda Fide" ("Badan Pekabaran Injil"), yang dikepalai seorang kardinal dan yang bertugas memimpin pekerjaan Misi di seluruh dunia. Bagaimanapun juga, organisasi gereja dan Misi di Indonesia bersifat hirarkis, dan orang-orang Kristen Indonesia sama sekali belum diberi tempat dalam kepemimpinannya. Selama periode yang telah kita bahas ini tidak ada seorangpun imam Indonesia-asli, apalagi seorang uskup (di India dan Tiongkok pada waktu itu terdapat imam-imam dan uskup-uskup pribumi).

Gereja Protestan: peranan pemerintah

Gereja Protestan secara resmi tidak berada di bawah pemerintah dan tidak juga mengenal hirarki. Akan tetapi pemerintah Belanda telah memberikan tugas kepada VOC untuk, antara lain, memperhatikan perluasan agama Kristen di daerahnya. Makanya, dari semula VOC mengirim tenaga gerejani ke Indonesia dan membiayai mereka. Sesuai dengan kebiasaan di negeri Belanda sendiri, para pendeta meminta juga persetujuan serta dukungan VOC bagi semua kegiatan yang mereka lakukan (§ 13). Tentu saja bagi VOC adalah menyenangkan kalau gereja dengan cara itu mengakui kekuasaan pemerintah atas dirinya. Dan VOC tidak berlambat-lambat menuntut hak-hak lebih banyak lagi. Pengangkatan dan pemindahan pendeta serta tenaga lain sama sekali ditangani oleh pemerintah; rapat-rapat majelis wajib dihadiri wakil-wakil dari pemerintah; surat-surat dari gereja di Indonesia kepada gereja di Nederlan harus di kirim -- dalam keadaan terbuka - melalui dinas pos Kompeni sendiri. Dengan demikian, gereja di Belanda tidak dapat berfungsi sebagai induk dan pangkalan untuk Indonesia, dan setelah masa pertama, minat bagi usaha pekabaran Injil di Asia semakin berkurang di Nederland.

Gereja tak dapat bersikap kritis

Takluknya gereja kepada pemerintah berarti juga bahwa gereja sama sekali tidak sempat mengeluarkan kritik terhadap pemerintah itu. Pernah, pada tahun 1655, beberapa anggota majelis Batavia memprotes karena pimpinan VOC memerintahkan agar jemaat mengadakan kebaktian syukur atas kemenangan VOC di Ambon (yaitu atas orang-orang Hitu dan Seram-Barat). Anggota-anggota tersebut menegaskan bahwa peperangan di Maluku itu semata-mata disebabkan oleh ketidak-adilan Kompeni sendiri. Reaksi pimpinan VOC tajam sekali: kalau ada lagi pendeta-pendeta melancarkan protes yang demikian, orang-orang itu harus dipecat dan diberangkatkan ke Nederland begitu ada kapal yang berlayar ke situ.

Protes-protes tak berguna

Sikap dan tindakan-tindakan pemerintah terhadap gereja tak bisa tidak menimbulkan protes dari pihak para pendeta dan majelis. Khususnya pada masa permulaan, kebebasan gereja diperjuangkan oleh tokoh-tokoh seperti Heurnius, yang mempunyai kesadaran yang tinggi mengenai hakekat gereja (bnd § 6). Akan tetapi protes-protes mereka tidak berguna, sebab pimpinan VOC mempunyai pandangan yang sangat jelas mengenai hubungan gereja dengan negara. Pada tahun 1655, majelis Batavia sekali lagi berusaha untuk meniadakan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasannya yang sudah digambarkan di atas. Reaksi pimpinan VOC tajam sekali: majelis itu "berikhtiar untuk mendirikan suatu negara di dalam negara, suatu pemerintah di dalam pemerintah, sehingga dengan demikian memasukkan suatu kepaus-an yang baru. Akan tetapi tidaklah sesuai dengan kodrat pemerintah kalau ada dua kekuasaan yang sama tinggi, sama seperti suatu tubuh tidak bisa mempunyai dua kepala". Di sini ajaran Calvinis mengenai hubungan gereja dan negara (§ 3) diputar-balikkan dulu sehingga disamakan saja dengan ajaran Katolik-Roma, lalu dengan alasan itu pemerintah menuntut supaya gereja takluk saja kepada negara.

Hirarki Protestan

Karena hubungan yang erat dengan pemerintah, gereja diresapi suasana yang berlaku dalam tubuh pemerintahan, yaitu suasana hirarkis. Di jemaat-jemaat-pusat, tata-gereja presbiterial masih dapat sedikit-banyak dipertahankan, karena di situ ada majelis yang cukup aktif. Tetapi di luarnya, di jemaat-jemaat Indonesia di kampung-kampung, terdapat suasana yang sama sekali hirarkis. Pendeta dari pusat bertindak sebagai semacam uskup, yang sekali-sekali datang berkunjung dan melakukan upacara-upacara tertentu. Di bawahnya berada guru-guru Indonesia, yang hampir tidak mempunyai kebebasan bergerak, peluang untuk memimpin dan menggembalakan jemaatnya menurut cara yang sesuai dengan keadaan setempat. Dan anggota jemaat, orang Indonesia, berada pada tingkat paling bawah, mereka hanya merupakan obyek saja. Hanya di Maluku terdapat orang Indonesia yang menjadi anggota majelis. Selain daripada itu, di sana-sini seorang raja dapat bertindak sebagai penatua untuk daerahnya; ia mendampingi pendeta apabila ia ini datang berkunjung.

Diakonat: dalam Misi

Gereja RK maupun Protestan cukup mementingkan pelayanan kepada orang-orang miskin. Dalam kebaktian diadakan kolekte, dan pater-pater membagi-bagi hasil persembahan kepada orang-orang miskin. Ditempat-tempat pusat kekuasaan Portugis, misalnya di Ternate sekitar tahun 1550, terdapat perserikatan-perserikatan "Misericordia". Perserikatan-perserikatan ini mengurus uang yang oleh orang-orang kaya selama hidup mereka atau dalam surat wasiat ditujukan kepada orang-orang miskin. Uang itu dipakai untuk memberi makan kepada yang lapar dan minum kepada yang haus, pakaian kepada yang telanjang, mengunjungi orang-orang sakit dan orang yang sedang dalam penjara, memberi tempat menumpang kepada yang lelah, menebus tawanan-tawanan perang dan mengubur orang-orang mati (yang miskin). Pelayanan ini diberikan kepada semua orang Kristen, tanpa memperhatikan warna kulit mereka, dan sedapat mungkin juga kepada orang-orang melarat yang bukan-Kristen. Di luar pusat, tidak ada diakoni, karena dalam masyarakat suku orang-orang miskin ditolong oleh sanak-saudara mereka sesuai dengan petunjuk-petunjuk adat.

Dalam gereja Protestan

Dalam Gereja Protestan, diakonat diselenggarakan oleh pelayan-pelayan khusus, yaitu para diaken. Mereka melakukan hal-hal yang kira-kira sama seperti perserikatan-perserikatan misericordia di kota-kota Portugis: memelihara orang-orang miskin, mengurus orang sakit dan seterusnya. Di Batavia, diakoni mengurus panti asuhan, wisma untuk orang-orang miskin dan jompo, sebuah rumah sakit umum dan sebuah rumah sakit untuk penderita penyakit kusta. Tugas para diaken cukup luas, sehingga jumlah mereka di Batavia maupun di Ambon adalah 2/3 dari jumlah penatua. Di Ambon terdapat juga diaken-diaken dari kalangan penduduk Ambon-asli. Di jemaat-jemaat kampung diakoni tidak begitu penting karena alasan yang sudah disebut tadi. Tetapi di sana juga dikumpulkan persembahan bagi diakoni, yaitu dalam "peti derma" yang ditempatkan di dekat pintu masuk gereja. Itulah satu-satunya tujuan yang untuknya dapat diminta sumbangan jemaat; 'kan seluruh biaya lainnya ditanggung pemerintah. Tetapi karena di kampung-kampung tidak ada orang yang melarat, dana diakoni itu hanya dipakai pada kesempatan-kesempatan khusus. Bukan tidak mungkin bahwa gedung-gedung gereja yang mengesankan dengan temboknya yang tebal, yang pada zaman VOC didirikan di banyak kampung di Maluku, dibangun dengan dana diakoni itu.

Kesaksian jemaat ke luar

Sesuai dengan struktur hirarkis dalam organisasi gereja, kesaksian ke luar (pekabaran Injil, apostolat) terutama diusahakan oleh pejabat-pejabat gereja. Hanya dalam satu hal kita dengar tentang orang-orang Kristen anggota jemaat yang rajin meneruskan Injil kepada orang-orang lain, yaitu orang-orang Kristen keturunan Tionghoa di Ambon. Tentang mereka dinyatakan oleh seorang pendeta Belanda (sek. tahun 1625) bahwa "mereka selalu mau meneruskan kepada orang-orang lain apa yang mereka telah ketahui tentang dasar-dasar agama Kristen, sekalipun apa yang mereka ketahui itu belum banyak". Akan tetapi di sini perlu disebut juga guru-guru Ambon yang juga pada zaman VOC bersedia untuk ditempatkan jauh dari kampung-halaman mereka (ump. guru Thenu di Timor, § 12; ada pula yang ke pulau-pulau Selatan). Tetapi jemaat-jemaat di Maluku dan di tempat lain baru pada abad ke-19 akan menjadi aktip dalam hal pekabaran Injil.

Ringkasan

Kita meringkaskan. Dalam ibadah, orang-orang Indonesia yang merupakan 90% dari orang-orang Kristen di Indonesia dalam abad-abad ini, tidak mendengar atau memakai bahasa-ibu mereka sendiri. Dan ibadah itu berlangsung dalam bentuk-bentuk yang diimpor dari negeri Belanda. Alkitab pun bagi mereka hanya tersedia dalam bahasa Melayu, dan itupun baru setelah dua abad lamanya mereka menganut iman Kristen. Hampir semua orang Kristen Indonesia tidak pernah ikut merayakan sakramen Misa/Perjamuan. Tenaga yang menggembalakan dan melayani mereka adalah orang-orang asing, atau orang dari kalangan sendiri tetapi yang biasanya kurang memperoleh pendidikan. Disiplin gerejani tidak dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh terhadap penguasa-penguasa dan tidak kena-mengena dengan dosa-dosa mereka yang merusak masyarakat. Organisasi gereja tidak memberi kesempatan kepada jemaat untuk berdiri sendiri. Pengaruh pemerintah menyebabkan gereja diliputi suasana yang tidak cocok dengan hakekatnya sendiri. Pelayanan diakonat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak mempunyai relevansi bagi sebagian besar orang-orang Kristen Indonesia. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau mereka ini pada zaman yang sedang dibicarakan ini belumlah sanggup memberi kesaksian yang kuat ke luar.

BY GAN