gan

Senin, 05 Oktober 2009

SURAT KEPUTUSAN OLEH PGI

Diposting oleh gan


Nomor: 0055/PGI-XII/2000                   20 Januari 2000
Hal: Tanggapan atas Sikap dan Pandangan terhadap Kerusuhan
Maluku/Maluku Utara

Yang terhormat Sdr Dr. Amien Rais
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
Di Jakarta

Dengan hormat,

Kami sampaikan salam sejahtera kepada Saudara dengan harapan
kiranya. Saudara diberi hikmah dan kebijaksanaan oleh Allah
Yang Maha Esa untuk melaksanakan tugas-tugas negara serta
kemampuan untuk mewujudkan harapan-harapan segenap rakyat
Indonesia, baik waktu sekarang ini maupun dimasa datang,
sesuai dengan jabatan yang dipercayakan segenap rakyat
Indonesia.

Beberapa waktu lalu, Saudara hadir dan menjadi pembicara pada
sebuah acara yang menurut informasi dilakukan untuk menyatakan
solidaritas kepada warga masyarakat beragama Islam yang
disebut-sebut sebagai korban pembantaian, perkosaan dan
sebagainya di Maluku khususnya di wilayah Halmahera
Utara,Propinsi Maluku Utara.

Kami mengikuti dengan cermat seluruh pemberitaan media massa
dan informasi mengenai hal-hal yang Saudara kemukakan pada
saat itu dan kemudian yang Saudara sampaikan kepada media
massa pada sejumlah kesempatan berikutnya dalam bentuk
wawancara atau pernyataan pandangan dan sikap Saudara.

Berkaitan dengan itu perkenankan kami menyatakan beberapa hal
sebagai berikut:

1) Pernyataan-pernyataan, pandangan dan sikap Saudara mengenai
kerusuhan di Propinsi Maluku umumnya dan di Halmahera Utara,
Propinsi Maluku Utara khususnya, membuat masyarakat terkejut
dan gelisah karena Saudara tidak memposisikan diri sebagai
pimpinan lembaga tertinggi negara. Warga masyarakat yang
beragama Kristen khususnya merasa mengalami fait-accompli oleh
pernyataan/pandangan Saudara yang menempatkan umat Kristen di
wilayah Halmahera Utara sebagai penganiaya, pembantai dan
sumber kekerasan terhadap umat Islam.

2) Maafkan kami jika terpaksa menilai bahwa pernyataan/
pandangan Saudara mengenai kerusuhan khususnya yang terjadi
berhari-hari sejak 26 Desember 1999 hingga Januari 2000 di
kota Tobelo dan sekitarnya adalah hal yang sangat gegabah
karena Saudara lalai mendasarkan diri pada sejumlah fakta
objektif.
Hal objektif pertama yang Saudara lalaikan adalah fakta bahwa
apa yang terjadi di Tobelo dan sekitarnya adalah suatu
lingkaran kekerasan yang menjebak warga masyarakat, baik
masyarakat yang beragama Islam, Kristen maupun yang masih
menganut agama-agama suku.
Hal objektif kedua yang juga Saudara lalaikan adalah bahwa
kekerasan di Tobelo dan sekitarnya bukan fenomena independen
dan partial. Karena itu sangat naif untuk menilai apa yang
terjadi di Tobelo terlepas dan berbagai konflik lain di pulau
Ternate, pulau Tidore, di semua bagian pulau Halmahera dan
bahkan di Propinsi Maluku.
Hal objektif ketiga yang Saudara lalaikan adalah bahwa
kerusuhan di Propinsi Maluku dan Maluku Utara telah melibatkan
dan mengorbankan rakyat yang Saudara pimpin tanpa pandang
latar belakang agama mereka. Karena itu maaf jika kami katakan
bahwa Saudara telah keliru bersikap seakan-akan golongan
tertentu saja yang menjadi sasaran aksi-aksi kekerasan yang
terjadi.
Saudara nampaknya tidak tahu atau tidak perduli pada fakta
bahwa telah terjadi "pembersihan" desa-desa/pemukiman di pulau
Tidore, Ternate, di wilayah Halmahera Tengah dan ke arah
desa/pemukiman di jazirah selatan pulau Halmahera yang
penduduknya beragama Kristen. Hal ini terjadi sejak akhir
September-awal Oktober 1999. Beberapa bulan sebelum itu,
golongan tertentu di Sanana, kepulauan Sula, Maluku Utara,
telah terusir keluar dari wilayah pemukimannya. Apakah mereka
yang menjadi korban sia-sia itu bukan rakyat Indonesia?

3) Kami ingin sampaikan kepada Saudara bahwa aksi-aksi
kekerasan di Maluku Utara dimulai dari peristiwa yang jauh
dari nuansa pertentangan antar umat beragama, pun dari waktu
ke waktu alasan-alasan dan warna agama terus dipaksakan
mewarnai kekerasan. Mengenai hal ini Saudara perlu
memperhatikan beberapa fakta sebagai berikut:

a. Bahwa serangan pertama (yang membuka babak kerusuhan di
Maluku Utara) ke desa-desa Kecamatan Kao oleh penyerang yang
berasal dari Malifut (beragama Islam) dilawan juga oleh warga
Kao yang beragama Islam. Masalahnya bersumber pada policy
Pemda mengenai pemekaran Kecamatan yang ditolak oleh sebagian
masyarakat yang telah terikat pada kesepakatan Adat.

b. Ketika serangan berikut terjadi sementara warga Kao yang
beragama Kristen melaksanakan kebaktian Minggu, yang
menghadapi serangan itu adalah warga Kao lainnya yang tidak
beribadah di hari Minggu dan mereka adalah Saudara-saudara
yang beragama Islam.

c. Serangan balasan terhadap warga asal Makian di Malifut yang
mengakibatkan banjir pengungsi asal Makian ke Ternate dan
Tidore misalnya melibatkan warga Kao, baik yang beragama
Kristen maupun Islam.

d. Kekerasan pertama yang meletus di Tidore dibuka oleh
pembantaian seorang pendeta Gereja Protestan Maluku yang
diundang Kapolsek menghadiri sebuah acara bersama para anggota
Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Camat dll.).

e. Ketika penghancuran gedung-gedung gereja (14 buah gedung
gereja hancur) dan kekerasan terhadap warga yang beragama
Kristen terjadi di kota Ternate misalnya, ada cukup banyak
warga beragama Muslim di sana yang bangkit melawan aksi-aksi
kekerasan tersebut.

f. Hingga konflik pecah di Tobelo tanggal 26 Desember 1999
(didahului dengan berbagai isu dan provokasi di hari-hari
sebelumnya), 34 gedung gereja telah hancur terbakar paling
kurang di 15 lokasi kerusuhan.Fakta-fakta ini nampaknya tidak
diperhatikan oleh Saudara atau Saudara membiarkan diri
diselubungi oleh informasi-informasi sepihak dan subjektif
serta diberati oleh kepentingan-kepentingan politik golongan
yang jelas-jelas berperspektif sangat sempit. Ini hanya
sedikit dari fakta yang dapat kami beberkan untuk menopang
agar Saudara bersikap objektif dan berani terlibat
menghentikan kerusuhan melalui prakarsa dan langkah-langkah
strategi dan effektif yang dimungkinkan oleh posisi dan
kewenangan Saudara.

4) Kami harus menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan Saudara
mengenai kerusuhan di Halmahera Utara jelas-jelas telah
memojokkan warga negara yang beragama Kristen dan memberi
insinuasi pada pertentangan warga berbeda agama di negara ini.
Karena itu tesis Saudara semula bahwa kerusuhan di Indoensia
disebabkan karena ada banyak "daun-daun atau rumput kering",
tidak valid lagi. Fakta di lapangan membuktikan bahwa akar
kerusuhan bukanlah hanya karena adanya daun-daun atau
rumput-rumput kering tapi juga karena ada tindakan politisasi
terhadap "daun-daun atau rumput-rumput kering" itu. Kami
sangat kuatir apa yang Saudara ucapkan sejak pertemuan di Tugu
Monas, Jakarta, adalah salah satu dari sekian tindakan
politisasi yang akibatnya hanya mengorbankan rakyat yang
percaya kepada Saudara sebagai Ketua Lembaga Tertinggi Negara,
MPR RI. Kami selalau berbaharap bahwa dari Saudara sebagai
Ketua MPR RI, selalu datang pembelaan terhadap warga
negara/rakyat Indonesia yang mengalami penistaan, penderitaan,
fitnah dan kezaliman, tanpa pandang suku, agama, ras dan
golongannya.

5) Lingkaran kekerasan di Maluku dan Maluku Utara akan dapat
diputuskan jika semua terutama Saudara sebagai Ketua MPR RI
berusaha dengan wewenang dan kepercayaan rakyat yang Saudara
miliki, mengeliminasi semua fenomena politik dan dramatisasi
angka-angka korban yang hanya akan menjadikan kerusuhan
konflik langgeng dan rakyat - tanpa pandang agama - menjadi
korban sia-sia. Selain itu jika Saudara berkenan, kualitas dan
kedudukan Saudara sebagai Ketua MPR sangat memungkinkan
Saudara untuk berada di luar dan membongkar fenomena
konspirasi politik di kalangan elit, yang berada di balik
kerusuhan dan pelanggengan penderitaan rakyat. Hal ini lebih
bermanfaat Saudar lakukan karena hal ini menjadi harapan
rakyat banyak termasuk kami dan Gereja-gereja di Indonesia.

6) Kami harapkan semua langkah yang dilakukan Pemerintah
Pusat/Daerah, lembaga-lembaga legislative di pusat dan daerah,
TNI/POLRI, semua kelompok masyarakat, pimpinan dan tokoh
lembaga-lembaga agama Islam dan Gereja-gereja, dapat secara
sistematis memberi manfaat bagi terhentinya kekerasan
individual dan kolektif serta membuka peluang bagi
pemberdayaan masyarakat serta dialog-dialog ke arah
rekonsiliasi dan perdamaian yang langgeng. Kami juga berharap
kerusuhan sejenis tidak lagi meletus di bagian-bagian lain
tanah air kita. Jika di luar kemampuan kita sekalian kerusuhan
masih berlanjut atau meledak di tempat lain, perkenankan kami
menyarankan agar Saudara dalam kedudukan sebagai Ketua MPR RI,
bersedia menghimpun data-data sebanyak mungkin dari berbagai
pihak sebelum melakukan penilaian dan menyatakan pandangan
serta sikap Saudara. Saudara tentu paham bahwa rakyat biasa
tidak bisa secara lugas membedakan peran Saudara sebagai
pribadi, tokoh agama Islam, tokoh Muhammadyah atau Ketua MPR
RI. Kami yakin Saudara dapat memahami keadaan objektif rakyat
Indoensia sebagai keseluruhan yang sedang menderita. Mereka
semua menggantungkan harapan kepada Saudara sebagai Ketua MPR
RI dan terbantu jika Saudara menjadi lebih arif dan mampu
memberi jalan keluar yang tepat kepada rakyat untuk terbebas
dari neraka kerusuhan di Maluku/Maluku Utara atau di mana
saja. Untuk melanjutkan keinginan baik yang telah kami
tunjukkan kepada Saudara, kami selalu bersedia membantu
Saudara dengan sepenuh hati dan pikiran.Terimakasih atas
perhatian Saudara.

Teriring salam dan hormat kami, Atas nama
MAJELIS PEKERJA HARIAN
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA
DI INDONESIA

Pdt Dr Sularso Sopater Pdt DrJ.M.Pattiasina
Ketua Umum Sekretaris Umum

Tembusan disampaikan kepada yang terhormat:
1. Presiden Republik Indonesia di Jakarta
2. Wakil Presiden Republik Indonesia di Jakarta.
3. Ketua DPR RI di Jakarta
4. Para Wakil Ketua MPR RI dan DPR RI di Jakarta
5. Panglima TNI di Jakarta
6. KAPOLRI di Jakarta
7. Pimpinan Panja Maluku
8. Gubernur/KDH Tingkat I Maluku Utara di Ambon
9. Care-taker Gubernur Maluku Utara di Ternate
10. Ketua KWI di Jakarta
11. Pimpinan Gereja-gereja Anggota PGI di tempatnya masing-masing
12. Pimpinan PGI Wilayah di tempatnya masing-masing
13. Pimpinana PGPI, PII, GBI
14. Pimpinan Lembaga-lembaga Keumatan di Jakarta
15. Para Anggota MPH-PGI di tempatnya masing-masing
16. Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama RI
17. Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama RI

Gereja orthodoks suriah

Diposting oleh gan

Lahirnya Gereja Syria

Gereja Syria diawali dari Yerusalem yang terdiri dari para Rasul Yesus Kristus, para penginjil dan orang-orang Yahudi yang telah menjadi Kristen. Gereja ini kemudian berpindah ke kota Antiokhia, dan kemudian ke Urhoy (Eddesa) ditambah dengan orang-orang Aramia yang sudah bertobat dan bangsa-bangsa non-Yahudi yang lain. Gereja ini pertama kali didirikan di Antiokhia oleh Rasul Petrus, pemimpin para rasul, yang dianggap sebagai Patriarkh pertama dari Tahta Suci Rasuliah Antiokhia. Rasul Petrus sendiri menunjuk Mar Awwad (St. Avodius) dan Mar Ignatius Sang Pencerah sebagai para pengganti beliau. Mereka kemudian menggantikan tugas rasulinya setelah Rasul Petrus mati shahid di kota Roma. Kemudian, kota Antiokhia tidak saja menjadi Gereja Kristen yang pertama, tertua dan paling terkenal, tetapi juga menjadi dasar dari Kekristenan. Di kota Antiokhia-lah saat itu para rasul Yesus Kristus disebut sebagai orang-orang Kristen.

Doktrin Gereja Syria

Asas keimanan Gereja Orthodox Syria dapat diringkas sebagai berikut: Gereja ini percaya sepenuhnya akan Satu pribadi ganda Tuhan Yesus, dan satu sifat ganda yang terdiri dari dua sifat: yaitu ilahi dan insani, yang tidak dapat bercampur, tak dapat dipisahkan dan tak berganti-ganti. Dengan kata lain, dua sifat (ilahi dan insani) tergabung dalam satu sifat yang tanpa bercampur, tak terlebur dan tak berubah-ubah, tak berganti dan tak rancu. Batasan ini berlaku bagi semua sifat keilahian dan kemanusiaanNya. Berdasarkan definisi ini, keilahianNya menyatu dengan kemanusiaanNya, atau dengan tubuhNya, ketika Almasih disalibkan di salib, dan tidak pernah keilahianNya meninggalkan tubuhNya, bahkan untuk sedetik pun. Karena itu, salah besar dan sangat menyimpang dari iman Kristen yang universal bila orang mengatakan, “Kristus itu disalibkan tubuhNya saja.” Tetapi sebaiknya dikatakan, “Firman Allah yang telah menjelma itu adalah Tuhan Yang Mahamulia yang telah disalibkan,” namun, kami mengatakan, “Ia telah menderita dan wafat dalam daging (dalam keadaannya sebagai manusia),” sebab keilahianNya tidak pernah tersentuh penderitaan dan kematiaan. Sebagai konsekuensinya, Maria adalah “Ibu dari Dia (Firman Allah yang telah menjelma) Yang Ilahi,” dan ungkapan “Engkau yang telah disalibkan bagi kami” adalah benar sebagaimana diucapkan dan diyakini dalam Trisagion, yang dialami oleh sifat kedua dariNya, yaitu Kristus. Asas iman inilah yang dipegang teguh oleh Gereja Syria Antiokhia dan Gereja Koptik Aleksandria yang telah menolak Konsili Kalsedonia dan dokumen Leo dari Roma (Buku besar yang disebut Surat Paus Leo), karena kami hanya mengakui dasar-dasar iman yang ditetapkan tiga konsili ekumenikal di Nikea tahun 325 Masehi, Konsili Konstantinopel tahun 381 Masehi dan Konsili Efesus 431 Masehi. Dari sini, nama “Orthodox” yang kami kenakan berarti “Iman Yang Benar” yang dikenal oleh ummat Syrian, Koptik, Armenia dan Ethiopia. Gereja-gereja itulah yang disebut sebagai “sister Churches” (Gereja-gereja saudari mereka). Mereka bersama-sama telah mengalami berbagai penderitaan dan penganiayaan-penganiayaan yang kejam yang ditujukan kepada mereka oleh Kaisar Byzantium panganut Konsili Kalsedon tersebut.


Liturgi Bahasa Arami

Tidak bisa disanggah lagi bahwa bahasa yang diucapkan Yesus dan banyak generasi sebelum Masehi dan oleh Kekristenan mula-mula, dan sampai abad ke-5 Masehi adalah bahasa Arami (Syriac). Selain itu, orang-orang Yahudi telah menulis beberapa bagian kitab suci mereka dalam bahasa Arami atau dalam aksara Arami, sebagaimana dibuktikan oleh gulungan-gulungan kitab dari Laut Mati yang ditemukan pada tahun 1974 oleh Yang Mulia Mar Athanasius Yashu Samuel, yang saat itu menjadi Uskup di Yerusalem (sekarang sebagai Uskup untuk Amerika Serikat dan Canada). Maka terbukti bahwa para murid Yesus dan para penerus mereka menggunakan bahasa Syria (Arami). Maka, hanya dapat dipahami bahwa ibadah liturgis mereka dilakukan dalam bahasa Syria (Arami). Sebab para penginjil yang memberitakan Injil di Anthiokhia yang berasal dari Yerusalem itu beribadah dalam bahasa Syria (Arami), maka sudah tentu bahasa Syria (Arami) itu menjadi bahasa Liturgi gereja Anthiokhia, dan gereja ini memakai liturgi dalam bahasa Syria (Arami) yang disusun oleh Rasul Yakobus, saudara Tuhan Yesus sekaligus sebagai uskup pertama di Yerusalem. Semua orang tahu bahwa gereja di Yeruselam menggunakan Liturgi Rasul Yakobus sampai berakhirnya ketujuh-belas uskup Syria yang pertama. Namun, ketika para duta dari Konstantinopel mulai merebut kepemimpinan gereja di Antiokhia, mereka menggantikan Liturgi Rasul Yakobus dengan Liturgi Basilius dari Kaisarea (379 Masehi) dan Liturgi John Chrysostom (407 Masehi), yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arami. Tetapi, Liturgi Rasul Yakobus sendiri tetap ada di gereja Antiokhia. Itu sebabnya maka Liturgi Syria (Arami) disebut sebagai Liturgi Antiokhia. Dari Liturgi ini maka dapat dilacak kembali asal-muasal semua liturgi gereja. Karena itu, Gereja Antiokhia sangat bangga bahwa Liturgi mereka menggunakan bahasa Syria (Arami), yaitu bahasa yang telah dikuduskan oleh lidah suci Tuhan kita, dan yang dihormati oleh lidah Maria, IbuNya dan oleh para rasulNya yang kudus. Dalam bahasa inilah Rasul Matius menuliskan Injil, dan dalam bahasa inilah Injil diwartakan pertama kali di Yudea, Syria dan daerah-daerah sekitarnya.


Baktinya bagi Injil

Gereja Syria menjalankan peranan penting dalam bidang literatur Alkitab. Para sarjana mereka mengakar dalam lautan misteri Alkitab yang begitu luas dan tak terungkapkan. Merekalah yang pertama kali menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Syria (Arami), bahasa mereka sendiri. Kemudian, mereka melakukan pengkajian-pengkajian yang mendalam yang memperkaya perpustakaan-perpustakaan di Timur dan Barat dengan berjilid-jilid buku pelajaran dan tafsir Alkitab yang tak terhitung jumlahnya sekalipun malapetaka dan nasib buruk menimpa tanah kelahiran mereka, sehingga menyebabkan banyak kerugian karena Perang Dunia I, dan karena pemusnahan ribuan buku manuskrip kitab-kitab suci yang tak ternilai harganya itu oleh para musuh mereka. Setelah mereka mempelajari Alkitab dalam bahasa Arami mereka sendiri, maka mereka melakukan usaha-usaha tanpa lelah dengan menterjemahkan karya-karya tulis mereka itu ke dalam bahasa-bahasa lain. Maka sekitar tahun 404 Masehi, Malphan Daniel orang Syria serta Mesroph orang Armenia itu bekerja sama menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Armenia. Sarjana bahasa Arami yang berasal dari Arabia dari banu Thayy, Tanukh dan banu Aqula (Al-Kuufa) menterjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab atas perintah Patriarkh Syria, Mar Yuhanna II, demi memenuhi permintaan Umair Ibnu Saad ibn Abi Waqqass Al-Anshari, raja di Jaziratul Arabia. Yuhanna bar Yawsef, seorang imam Syria dari kota Taphliss (selatan Rusia), menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Persia pada tahun 1221 Masehi. Pada dasawarsa pertama di abad ke-19, Raban Philipos orang Syria dari Malabar, India, telah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Malayalam, bahasa yang dipakai di India Selatan. Pada abad lalu, abad ke-20, Chorepiscopus Mattay Konat orang Syria dari Malabar, telah menterjemahkan seluruh Perjanjian Baru kecuali kitab Wahyu, ke dalam bahasa Malabar.


Sejumlah besar manuskrip dari warisan gereja ini yang tak ternilai artinya masih tetap dilestarikan. Manuskrip-manuskrip itu termasuk yang tertua di dunia, khususnya yang dipindahkan dari perbendaharaan Biara Gereja Syria di Mesir dan kemudian dibawa ke perpustakaan-perpustakaan Vatican, London, Milan, Berlin, Paris, Oxford, Cambridge dan perpustakaan-perpustakaan lain. Beberapa di antara manuskrip-manuskrip itu ditulis pada abad kelima dan keenam Masehi. Kemudian versi Injil yang tertua adalah manuskrip Injil dalam bahasa Syria (Arami) yang ditulis oleh seorang rahib dari kota Eddesa (Urhoy atau Urfa), yaitu Ya’qub Al-Urfa, di Urhoy pada tahun 411 Masehi. Injil dalam bahasa Arami ini masih disimpan di British Museum. Dalam kaitan ini, Abuna Martin telah menghimpun 55 manuskrip Injil berbahasa Arami yang berasal dari abad kelima, keenam dan ketujuh Masehi, jumlah yang cukup besar bila dibandingkan dengan 22 manuskrip Injil dalam bahasa Latin dan hanya 10 buah manuskrip Injil dalam bahasa Yunani. Gereja Syria Orthodox sangat teguh dalam kecintaan mereka akan Alkitab sehingga mereka berusaha menuliskan dan menghiasi Alkitab itu seindah mungkin. Mereka menggunakan huruf kaligrafi Estrangela dan Serta Barat. Di antara manuskrip terbaik yang terkenal adalah Injil yang ditulis oleh Patriarkh Rabuula dari Urhoy (Eddesa atau Urfa) yang diselesaikannya pada tahun 586 Masehi.

Kegiatan Penginjilan

Orang-orang Kristen Syria telah membawa obor Injil pertama kali ke seluruh daerah Timur. Bangsa-bangsa di Timur telah dibimbing oleh terang Injil untuk mengenal Kristus, sehingga beribu-ribu orang dari berbagai bangsa dan negara, yaitu bangsa-bangsa Arab dari berbagai suku, bangsa Persia, Afghan, India dan China. Mereka telah mengambil bagian dalam mewartakan Injil kepada bangsa Armenia. Pada abad keenam, orang-orang Suryani itu telah membawa kepada penggembalaan Kristus sejumlah besar warga bangsa Ethiopia dan Nubia melalui jerih lelah Abuna Yulian, dan sejumlah 70 – 80 ribu orang dari Asia Kecil, Qarya, Phrygia, dan Lydia melalui jerih lelah Mar Yuhanna dari Amed, yaitu uskup termasyhur dari Efesus. Syria (Arami) adalah bahasa liturgi dari seluruh gereja Timur selain digunakan bahasa-bahasa berbagai asal kebangsaan mereka. Gereja Armenian, misalnya, selain memakai bahasa Syriac (Arami) sehingga karena menggunakan bahasa ini mereka telah dikucilkan (oleh Gereja-gereja Byzantium), mereka menulis bahasa Armenia mereka dalam aksara Syria (Arami), sampai akhirnya Meshrope, salah seorang dari sarjana mereka, bekerja sama dengan Malfan Daniel orang Syria itu, akhirnya ia menjadi penemu aksara Armenia.

BY GAN

P.I di SUMATERA

Diposting oleh gan

Pekabaran Injil dan Gereja di Nias dan Pulau-pulau Lain Lepas Pantai Sumatera (1865-sekarang) PDF Print E-mail

Keadaan umum

Yang terbesar dan paling padat pendudukknya di antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera ialah Pulau Nias (kini sekitar 550.000). Pulau ini, sama seperti kepulauan Batu, pulau Enggano, dan kepulauan Mentawai, baru dijajah orang Belanda sekitar tahun 1900. Sebelumnya, Belanda hanya menguasai daerah di sekeliling Gunung Sitoli. Penduduknya, khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut, tetapi hidup dari usaha bercocok-tanam (Nias) atau dari pemberian alam (Mentawai). Maka masyarakatnya bersifat tertutup dan adat serta agama turun-temurun berpengaruh besar. Di semua pulau itu terdapat sejumlah pendatang dari Sumatera Barat yang beragama Islam. Daerah Nias Utara berbeda dari Nias Selatan dalam hal logat bahasa dan adat.

Permulaan usaha pI

Akibat perang Hidayat (§ 23), sekitar tahun 1860 beberapa tenaga RMG kehilangan tempat kerja. Salah seorang di antara mereka bernama E.L. Denninger. Sebelum diutus ke Kalimantan ia pun telah menjadi tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin. Oleh Pengurus RMG di Barmen, Denninger disuruh pergi ke tanah Batak, tetapi karena istrinya sakit ia terpaksa tinggal di Padang. Di sana ia menjalin hubungan dengan orang-orang Nias di perantauan. Namun, ia sampai ke kesimpulan bahwa lebih bermanfaat kiranya kalau pergi ke Nias sendiri. Pada tanggal 27 September 1865 Denninger mendarat di Gunung Sitoli. Sebelumnya dua Misionaris (Katolik) bangsa Perancis pernah bekerja di Nias (1832-1835), namun karya mereka tidak meninggalkan hasil yang nyata.

Perluasan sampai tahun 1890

Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha pI di Nias tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitar Gunung Sitoli di pantai timur. Pada hari raya Paskah 1874, pertama kali dilayankan sakramen baptisan kepada 25 orang Nias. Pada tahun 1890 jumlah orang Kristen telah meningkat menjadi 706 jiwa. Meskipun demikian, dalam masa itu telah diciptakan sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian hari. Pertama, orang Kristen Nias telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berperanan besar dalam usaha pI ialah kepala kampung, Ama Mandranga. Di samping itu, terdapat guru-guru serta penatua-penatua yang diangkat oleh zendeling. Pada tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan guru. Tetapi menonjollah bahwa penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil, lebih mengharapkan kedatangan seorang zendeling bangsa Eropa daripada tenaga sesuku mereka. Namun, para zendeling sadar akan peranan penting pembantu-pembantu mereka itu, sehingga mereka tetap berupaya meningkatkan wewenang pembantu itu di mata orang Nias. Pun upaya supaya jemaat-jemaat Nias menjadi swadaya telah dimulai agak dini. Sarana yang hendak disebut terakhir ialah penerjemahan Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh pekabar Injil H. Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lannya (Injil Lukas, 1874; PB, 1891).

Perluasan 1891-1916

Dalam masa 25 tahun berikutnya, usaha pI maju dengan lebih cepat dan sarana-sarana tersebut di atas diperluas. Sebelum perluasan wilayah kekuasaan Belanda berlangsung, zending sudah maju ke Nias Barat (1892) dan Tengah (1895). Sebaliknya, daerah Nias Selatan dan Utara baru dapat ditempati pekabar Injil setelah ditaklukkan oleh gubernemen. Jumlah orang Kristen meningkat dari 706 menjadi 20.000 pada tahun 1915. Sementara itu, para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua menjadi hampir 500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang melayani jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906 ditahbiskanlah pendeta Nias yang pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak pada tahun 1913. Bidang kegiatan para zendeling luas sekali: mereka membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka kebun-kebun kopi, semua dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha pI dan meningkatkan daya ekonomi jemaat Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang Kristen meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya menurun akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih kurang senang melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman keras, kekacauan di bidang perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat, masih merajalela. Pun mayoritas orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang zendeling. "Saya merasa bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".

Kebangunan besar

Lalu berlangsunglah gerakan yang, melihat luasnya dan sifatnya yang khas, boleh dikatakan unik (tiada bertanding) dalam sejarah Gereja. Gerakan itu bertolak di jemaat Helefanicha, dekat Humene. Pada tahun 1916 seorang anggota jemaat terpukau oleh Firman Tuhan yang telah didengarnya di gereja. Di dalam hatinya bertumbuh kesadaran bahwa dirinya tidak layak hadir di hadapan Allah dan bahwa karena dosanya tak mungkin ia masuk ke Kerajaan Allah, tetapi harus dibuang ke neraka. Oleh karena itu, orang tersebut menangis terus-menerus. Karena diduga sakit, teman-temannya membawa dia kepada zendeling di Humene. Tetapi zendeling itu berasal dari kalangan pietis di Jerman, sehingga gejala tersebut tidak asing baginya. Maka dinyatakannya bahwa orang yang bersangkutan bukannya sakit, apalagi sakit jiwa, melainkan berbuat demikian karena menyesali dosanya dan bahwa penyesalan itu telah dikerjakan Tuhan di dalam hatinya. Lalu ditegaskannya kepada orang itu, bahwa ia harus membenahi hubungannya dengan orang-orang yang terhadapnya ia telah bersalah. Tetapi ketika orang yang menyesal itu berbuat demikian maka orang lain, yang kepadanya dimintanya ampun, mulai menangis pula karena menyadari dosanya sendiri. Peristiwa itu terulang terus, sehingga makin banyak orang yang terkena. Para zendeling dan penghantar jemaat kewalahan melayani semua orang yang datang kepada mereka memohon bimbingan. Orang-orang itu baru menjadi tenang setelah dalam hati mereka mendapat tanda yang memastikan keampunan dosa kepada mereka. Setelah dengan demikian mereka dibebaskan dari beban dosa, wajah mereka bersinar karena gembira, dan mereka menempuh kehidupan baru.

Hasil-hasilnya

Kebangunan yang berlangsung selama sepuluh tahun lebih itu membawa hasil besar bagi kehidupan jemaat, untuk perseorangan dan untuk persekutuan. Orang menghayati agama Kristen secara lebih mendalam; kabar kesukaan tentang keampunan dosa telah menjadi kenyataan hidup bagi mereka. Pergaulan antara sesama anggota jemaat menjadi santai, bebas, tidak lagi dibuat kaku oleh kenangan akan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh anggota yang satu terhadap yang lain. Kehidupan persekutuan jemaat diperkaya, sebab, daripada bersikap pasif sambil menunggu tindakan penghantar jemaat, kini anggota jemaat ikut serta dalam segala macam kegiatan persekutuan. Berbagai karunia menyatakan diri, seperti karunia kenabian (1 Kor. 12:10), penyembuhan melalui doa, mimpi-mimpi, keadaan ekstatis. Lahirlah juga sejumlah besar lagu gereja yang baru. Orang melakukan doa syafaat yang satu untuk yang lain. Kuasa adat berkurang. Anggota jemaat bergairah mengabarkan Injil kepada yang belum menerimanya dan mereka ini tertarik pula oleh kehidupan jemaat yang penuh anugerah itu, sehingga jumlah orang Kristen berlipat ganda, dari 20.000 (1915) menjadi 85.000 (1929). Sejumlah anggota jemaat yang berbakat dan giat dapat diangkat menjadi sinenge (guru Injil). Haruslah diakui bahwa di tengah suasana yang penuh emosi itu adakalanya terdapat pula gejala-gejala yang negatif, seperti pembunuhan diri karena putus asa, pemusnahan barang karena hari akhirat dianggap sudah dekat, munculnya nabi-nabi palsu.

Hasil jangka panjang

Sesudah sepuluh tahun, gerakan kebangunan yang besar itu mereda. Lalu dalam banyak hal keadaan semula berlaku kembali. Jemaat kembali menjadi pasif, kerelaan berkorban bagi kehidupan jemaat menghilang lagi, disiplin gereja perlu diterapkan lagi, adat kembali berkuasa di atas hukum Kristen (khususnya dalam hal mas kawin/jujuran yang terlalu tinggi). Dalam dasawarsa-dasawarsa yang kemudian, sebagian dari massa yang masuk Kristen malah memisahkan diri atau berhasil ditarik oleh misi Katolik. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh karena kecilnya jumlah para zendeling dan tenaga terdidik bangsa Nias, sehingga sebagian besar orang Kristen yang baru itu tidak sempat menerima pengajaran secara intensif tentang iman Kristen. Setelah luapan emosi berhenti, agaknya tidak ada pengetahuan serta pengalaman Kristen yang dapat menjadi patokan pada jalan yang ditempuh, sehingga kesimpangsiuran tidak bisa dielakkan. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa peristiwa kebangunan besar kebangunan besar (bahasa Nias: fangesa sebu´a) itu ada pula hasilnya yang tetap. Seperti yang dikatakan seorang Nias, "Injil yang tadinya baru sampai ke kulit kami, kini telah masuk ke dalam hati kami. Seandainya bapak-bapak meninggalkan kami pada tahun 1914 (tahun permulaan Perang dunia I), maka mungkin agama Kristen akan hilang lagi dari Nias. Kini Injil akan tetap tinggal di pulau kami."

Gereja berdiri sendiri (1930/40)

Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka merancangkan tata gereja. Lalu diadakan sinode Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama (November 1936). Sinode itu menerima tata gereja yang telah dirancangkan. Keinginan Pengurus RMG di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota sidang sinode dipenuhi; sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang Kristen Nias, agar setiap distrik gereja diperbolehkan mengutus seorang tokoh masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai anggota yang berhak penuh. Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh gubernemen (§ 41,42). Maka fungsi ketua sinode (Ephorus) diambil alih oleh serang pendeta Nias, bernama Atefona Harefa. pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan orang Jerman yang ditawan itu diinternir pula oleh penguasa Jepang. Maka gereja harus benar-benar berdiri sendiri. Barulah pada tahun 1951 seorang utusan zending dari Jerman (seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh sejumlah orang Eropa yang lain. Namun, kedudukan mereka ini berbeda dengan kedudukan para zendeling sebelum perang: mereka mendapat status "penasihat".

Gerakan kebangunan baru

Setelah kebangunan mereda, rasa rindu akan terulangnya pengalaman yang hebat itu tidak pernah hilang lagi. Dalam tahun ´30-an, dan terutama pada masa perang yang penuh sengsara itu, timbullah gerakan-gerakan baru yang serupa. Hanya, yang menjadi pusat perhatian dalam gerakan-gerakan ini bukanlah pengampunan dosa, melainkan karunia-karunia Roh dan mukjizat-mukjizat. Terdapat karunia bercakap-bercakap dengan bahasa roh (karunia lidah); di dalam ibadah orang secara mendadak mulai gemetar atau berseru-seru (gejala ekstase). Daripada memperkuat persekutuan gereja, gerakan-gerekan ini mengoyak-ngoyakkannya, sebab menjadi biang perpisahan. Gelombang pertama gerakan kebangunan telah menjadikan BNKP sebagai gereja-rakyat di Nias, tetapi gelombang berikutnya merusak kesatuan gerejawi di pulau itu.

Gereja-gereja di samping BNKP

Pada tahun 1933 gerekan Fa´awosa (=persekutuan) mulai memisahkan diri dari pimpinan zending (kemudian BNKP), karena penganutnya menganggap harus mematuhi suara yang langsung diterimanya dari Roh lebih daripada aturan gerejawi. Setelah melepaskan diri dari induk maka kelainan-kelainan yang muncul tidak mungkin lagi diimbangi pengaruh dari saudara Kristen yang berpendapat lain; akibatnya dalam gerakan Fa´awosa itu (yang kemudian pecah menjadi beberapa kelompok) unsur-unsur agama Kristen semakin tercampur dengan unsur-unsur Islam dan agama suku. Pada tahun 1946 berdirilah kelompok lain, yaitu Angowuloa Masehi Idanoi Niha (kemudian namanya diubah menjadi: Agama Masehi Indonesia Nias, kemudian lagi: Gereja Angowuloa Masehi Indonesia Nias, AMIN juga). Akar perpecahan ini bukanlah gerakan kebangunan, melainkan soal wewenang para kepala suku di dalam gereja, yang muncul pada tahun 1936 itu. Dalam gereja AMIN pengaruh kepala suku itu besar. Hal ini mengingat kita akan bentuk gereja dalam lingkungan suku-suku German di Eropa (tahun 500-1000). Pada tahun 1950 sekali lagi segolongan orang Kristen di Nias Barat memisahkan diri dari BNKP, dengan nama Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP). Dalam hal ini soal kedaerahan memainkan peranan disamping unsur kebangunan. Di Nias Selatan, unsur kedaerahan itu ditampung juga oleh misi Katolik Roma, yang mulai bekerja di situ pada tahun 1939. Baik ONKP maupun gereja Katolik Roma kemudian meluas ke seluruh wilayah pulau Nias sambil menyaingi BNKP. Namun, pada akhir abad ke-20 BNKP tetap merupakan gereja mayoritas penduduk Nias, dengan jumlah anggota ± 325.000 (60% penduduk pulau Nias). Di antara gereja-gereja yang telah memisahkan diri dari BNKP, tiga telah diterima menjadi anggota PGI, yaitu AMIN (18.000 anggota), ONKP, dengan 60.000 anggota, dan Gereja Angowuloa Fa´awosa Kho Yesu (AFY, 32.000 anggota). Gereja Katolik Roma di Nias berjumlah 90.000 jiwa.

Kepulauan Batu, Mentawai

Penduduk kepulauan Batu sebagian besar terdiri dari suku yang serumpun dan sebahasa dengan penduduk Nias. Usaha pekabaran Injil dimulai pada tahun 1889 oleh Lembaga pI Lutheran di Negeri Belanda (§ 30). Pada masa perang, gereja di situ berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku; seusai perang orang Kristen di Kepulauan Batu bergabung dengan BNKP. Mengenai permulaan karya pI di Mentawai terdapat kisah sebagai berikut. Menjelang tahun 1900, pimpinana RMG di Barmen mendapat kiriman sebilah tombak, yang disertai surat dari syahbandar Padang (seorang Belanda), "Dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih orang kafir yang buas semua. Masih berapa lama lagi sampai mereka sempat medengar Injil?" Dengan demikian RMG tergugah untuk mengutus seorang zendeling, August Lett (1901). Ia ini dibunuh pada tahun 1909, pada saat hendak mengantarai pertempuran yang mengancam antara penduduk Mentawai dengan pasukan Belanda (bnd. § 39). Dengan bantuan guru-guru serta pendeta-pendeta Batak, di masa kemudian berhasil didirikan sejumlah jemaat. Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) berdiri sendiri pada tahun 1968. Walaupun dihimpit oleh usaha yang kuat dari pihak Islam dan misi KR, namun kini (1997) gereja ini meliputi 75% penduduk Mentawai, yaitu 24.000 jiwa lebih.

Artikel ini diambil dari :
End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 2. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 211-217.

BY GAN

IRAN AND INDONESIA

Diposting oleh gan

Iran Membunuh Dua Ulama Sunni


Ahlis Sunnah di Iran dihadang banyak tragedy serangan yang disasarkan terhadap mereka berupa tekanan, kedhaliman, dan pemusnahan dari arah rezim fanatisme golongan.ilustrasi eramuslim

clipboard01Penguasa Iran melancarkan pembunuhan atas dua Ulama besar Ahlis Sunnah di kota Zahran Iran dengan tuduhan keterlibatan keduanya dalam aksi kebangkitan untuk pergolakan Iran. Ekskusi mati itu berlangsung pekan lalu dalam rangka sarana terror untuk menakut-nakuti jama’ah-jama’ah Sunni penentang di daerah-daerah yang dihuni oleh kebanyakan dari Ahlis Sunnah. Koran Al-Jumhuriyyah الجمهورية ” Mesir menyebutkan bahwa dua orang alim yang telah diekskusi mati itu adalah Maulawi Khalilullah Zari dan Hafidh Shalahuddin Sayyidi

مولوي خليل الله زاري وحافظ صلاح الدين سيدي

Dan pembunuhan terhadap kedua Ulama Sunni itu dalam rangka pengusiran abadi terhadap Ahlis Sunnah di Iran dan operasi pemberedelan politik, agama, dan informasi secara keras setelah revolusi Khumeini dimana Iran menegaskan pembersihan secara meluas terhadap buku-buku rujukan (referensi) agama yang Sunni (Ahlis Sunnah).

Ahlis Sunnah di Iran menghadapi banyak tragedy serangan yang disasarkan terhadap mereka berupa tekanan, kedhaliman, dan pemusnahan dari arah rezim fanatisme golongan di Iran, di antaranya pembunuhan terhadap pembesar-pembesar Ulama, penghancuran masjid-masjid, penutupan madrasah-madrasah Diniyyah, mengusir tokoh-tokoh agama (Islam Sunni) dan pelajar/ mahasiswa penuntut ilmu dengan menjauhkan mereka. Semua itu dilangsungkan dengan tujuan mencabut Ahlus Sunnah dan mewajibkan madzhab Syi’ah atas bangsa-bangsa di Iran yang Sunni dari suku Kurdi, Balusy, Turki, dan sebagian Arab lainnya secara paksa dan kekerasan, sebagaimana telah terjadi 5 abad yang lalu di mana Daulah Shafawiyah memaksa –dengan kerjasama dengan orang-orang salib— Iran untuk mensyi’ahkan dengan kekuatan pedang dan terror setelah tadinya bersahabat dan mempengaruhi di dunia Islam.

Perlu diketahui bahwa Ahlis Sunnah di Iran adalah jumlah mayoritas kedua setelah Syi’ah yang berkuasa dari segi jumlah penduduk dan jumlahnya mencapai 15-20 juta jiwa, tetapi mereka (Ahlis Sunnah) itu dilarang membangun masjid satu pun di seluruh kota di Iran Raya. Dan sesungguhnya Teheran adalah satu-satunya ibukota di dunia yang tidak terdapat di dalamnya masjid satu pun milik Ahlis Sunnah. Ini pada waktu yang di sana ditemui adanya berpulu-puluh gereja-gereja, kuil-kuil, dan sekolahan-sekolahan milik Nasrani, Yahudi, Hindu, dan Majusi. (2009-04-09 14:06:33http://online.alarab.co.il/view.php?sel=00129619).

Bagaimana di Indonesia

Perlu diketahui, LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) di Jakarta, sebelum tahun 2000 telah menerbitkan buku tentang ratusan ulama yang dibantai di Iran zaman kekuasaan Khumeini, dan masjid-masjid Ahlis Sunnah yang dihancurkan di Iran. Daftar nama para Ulama Sunni yang dibantai dan masjid-masjid Sunni yang dihancurkan itupun dicantumkan dengan jelas disertai riwayat singkatnya.

Sebegitu ganasnya kebengisan Syi’ah di Iran terhadap para Ulama Sunni, Masjid-masjid Sunni; bahkan maraji’ (buku-buku rujukan/ referensi) Sunni pun dibersihkan alias dimusnahkan. Namun anehnya di Indonesia, perguruan tinggi Islam (negeri) dan Muhammadiyah justru menerima dengan welcome terhadap referensi dari Iran, bahkan Iran telah memiliki 12 Iranian Corner di perguruan-perguruan tinggi Islam (negeri) dan Muhammadiyah di Indonesia. Perpustakaan-perpustakan Iran di perguruan tinggi Islam di Indonesia yang berjumlah 12 temnpat itu alhamdulillah telah dimusnahkan oleh Allah Ta’ala yang satu Iranian Corner yaitu di UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) ketika terkena musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Cierendeu Tangerang Banten, Jum’at shubuh, 1 Rabi’ul Akhir 1430H/ 27 Maret 2009.

Rector UMJ tampak meratapi karena kerugiannya mencapai 9-10 miliar rupiah, di antaranya Iranian Corner itu. Kalau memang dia sayang-sayang terhadap Islam Sunni, maka barangkali mau mengingat Allah, mengakui bahwa jelas di antara upayanya itu adalah menyuntikkan kesesatan dan penyesatan. Sehingga kalau mau sadar, maka rector UMJ maupun Muhammadiyah justru perlu memikir ulang, menimbang-nimbang lagi, apakah tidak besar madharatnya dengan menerima Iranian Corner di berbagai Universitas Muhammadiyah itu. Namun kalau cara berfikirnya model mantan rector UMS Malang, Malik Fajar, apalagi hanya buku-buku dari Iran, sedang buku-buku dari Israel pun dia terima sejak kira-kira tahun 1995-an. Hal itu dikemukakan oleh seorang petugas ketika Menteri Agama yang lalu, dr Tarmidzi Taher, datang ke kampus Universias Muhammadiyah Malang.

Di antara perguruan Tinggi Islam yang memiliki Iranian Corner, menurut Majalah Hidayatullah April 2009 adalah: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta (alhamdulillah Iranian Corner di UMJ ini telah musnah terkena banjir Situ Gintung, red) Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bisa dibayangkan, Yogyakarta, satu kota saja ada 3 Iranian Corner; yang satu UIN, yang dua Muhammadiyah (?). Tampaknya Muhammadiyah ini tidak kapok-kapoknya. Dulu yang menyambut baik kedatangan aliran sangat sesat, Ahmadiyah, itu juga Muhammadiyah, walau belakangan mengakui kesalahannya atas keterlanjuran selama itu berangkulan dengan Ahmadiyah. Namun pengakuan kesalahan itu tampaknya tidak diujudkan oleh generasi belakangan, bahkan terkesan ogah-ogahan dalam menghadapi Ahmadiyah bersama Muslimin yang bersemangat untuk meminta agar Ahmadiyah dibubarkan. Bahkan sebagian orang Muhammadiyah tampak bersuara membela. Ini aneh sekali.

Sebaliknya, kadang Muhammadiyah dalam kiprahnya, justru nyerempet-nyerempet hal yang tidak berguna, dan mengandung masalah. Seperti untuk mengadakan hajat Muktamar Muhammadiyah di Jogjakarta mendatang, akan dibesar-besarkan dengan kesenian kolosal dengan mempercayakan sebagai supervisinya kepada sutradara yang sedang bermasalah dengan Ummat Islam yakni Hanung Bramantyo. Acara itu sebagai berikut:

Menandai kesiapan Kota Jogja menyambut kegiatan akbar itu, 18 Juli mendatang, panitia akan menggelar pagelaran kolosal Langen Carita dengan tema ”Sumunaring Surya Cahyaning Nagari”.

Rencananya, gelaran itu akan disajikan di Stadion Mandala Krida dengan melibatkan 3.000 pemain dari beberapa kelompok masyarakat. “Selain siswa-siswa SD, SMP,dan SMA, juga diikuti ortom Muhammadiyah diantaranya , IRM, IPM, Tapak Suci, Hisbul Wathan, Aisyiyah, NA, AMM, Pemuda Muhammadiyah,” terang Ketua Pelaksana Kegiatan Herman “Doddy” Isdarmadi.


Masyarakat, lanjut dia, juga akan diundang dalam acara ini. Setidaknya akan ada 60 ribu audience yang diundang. Kepada peserta diwajibkan berpakaian santri zaman dulu. Dalam pergelaran itu, akan digambarkan perjalanan Muhammadiyah. Pagelaran ini disutradarai Harsoyo dengan supervisi Hanung Bramantyo. (Radar Yogya [ Rabu, 08 April 2009 ]).

Sementara itu sebenarnya seperti apa Hanung itu. Berikut ini mari kita ulang sejenak:

Menurut Hanung, banyak protes yang ditujukan kepada dirinya di balik kesuksesan film Ayat-ayat Cinta. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang menganggap Hanung pro poligami dan Ayat-ayat Cinta mencerminkan budaya patriarki yang merugikan kaum perempuan. Oleh karena itu, Hanung pun bergegas membuat film Perempuan Berkalung Sorban.


Nah, melalui film Perempuan Berkalung Sorban inilah Hanung membayar hutangnya, dengan membuat film yang turut memperjuangkan tema-tema feminisme yang content-nya sejalan dengan materi perjuangan para liberalis dan pegiat kesetaraan gender. Dalam bahasa sederhana, Hanung didukung oleh kalangan pro kesesatan. Jadi, Hanung –kalu berdaya nalar yang panjang– mestinya faham bila ada ulama yang menyesatkan karyanya.


Film Perempuan Berkalung Sorban dibuat berdasarkan novel karya Abidah El Khalieqy yang pernah diterbitkan oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat dan the Ford Foundation. Menurut Indra Yogi, The Ford Foundation terlanjur mempunyai citra yang tidak bagus. Di Indonesia, Ford Foundation pernah ikut menerbitkan sebuah buku berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid yang diterbitkan secara bersama antara Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, di tahun 1999. Buku tersebut aslinya merupakan disertasi Greg Barton (1995) tentang kemunculan pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia.


Selain itu, menurut Indra Yogi, Ford Foundation merupakan donatur penting bagi International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Antara lain donasi yang pernah disalurkan Ford Foundation kepada ICIP adalah berupa dana segar sebesar satu juda dolar Amerika (US$ 1,000,000), yang ditujukan untuk Web-based distance learning courses to enable adolescent and adult Muslims in poor communities to continue their secular education. (Kursus jarak jauh melalui situs internet yang memungkinkan orang Islam dewasa yang berasal dari komunitas miskin untuk melanjutkan pendidikan sekularnya).


Menurut catatan Adian Husaini, ICIP merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama di pondok-pondok pesantren, juga aktif menyebarkan paham kesetaraan gender. Salah satu tokoh beken dari ICIP adalah Syai’i Anwar.


Jadi, pendukung utama Hanung di dalam membuat film Perempuan Berkalung Sorban ini adalah mereka yang selama ini aktif membela-bela kesesatan, antara lain Musdah Mulia. Sebagai aktivis kesetaraan gender, Musdah tidak setuju dengan seruan boikot yang dikumandangkan Ali Mustafa Yakub. Karena, menurut Musdah, film Perempuan Berkalung Sorban justru mengungkapkan realitas penindasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama. (nahimunkar.com, 8:46 pm Artikel, Fenomena Sinetron dan Film Indonesia Bertendensi Merusak Citra Islam).

Aktif di Lembaga Iran

Kembali tentang Syi’ah di Indonesia, lebih dari itu, Iran memiliki lembaga pusat kebudayaan Republik Iran, ICC (Islamic Cultural Center), berdiri sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Dari ICC itulah didirikannya Iranian Corner di 12 tempat tersebut, bahkan ada orang-orang yang aktif mengajar di ICC itu. Menurut Majalah Hidayatullah yang mewawancarai pihak ICC, di antara orang-orang yang mengajar di ICC itu adalah kakak beradik: Umar Shihab ( salah seorang Ketua MUI –Majelis Ulama Indonesia Pusat–?) dan Prof Quraish Shihab (mantan rector IAIN Jakarta dan Menteri Agama zaman Soeharto selama 70 hari, pengarang tafsir Misbah), Dr Jalaluddin Rakhmat, Haidar Bagir, dan O. Hashem penulis produktif yang meninggal akhir Januari 2009. Begitu juga sejumlah keturunan alawiyin atau habaib, seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus.

Di samping itu banyak tokoh Islam Indonesia yang diundang untuk berkunjung ke Iran, kemudian ngomongnya sudah pelo, ada yang menganggap perbedaan Syi’ah dengan Sunni bukan perbedaan principal dan sebagainya. Tanpa malu-malu mereka telah menjilat Iran, padahal negeri itu adalah pembantai Ulama-ulama Sunni, bahkan penghancur masjid-masjid dan kitab-kitab rujukan Sunni.

Syi’ah di Iran yang memusnahkan Ahlis Sunnah itu di Indonesia berpenampilan seakan lemah lembut. Hingga banyak kaum ibu yang tertarik ikut ke pengajian-pengajian mereka. Bahkan Syi’ah merekrut para pemuda untuk diberi bea siswa untuk dibelajarkan ke Iran. Kini ada 300-an mahasiswa Indonesia yang dibelajarkan di Iran, disamping sudah ada 200-an yang pulang ke Indonesia dengan mengadakan pengajian ataupun mendirikan yayasan dan sebagainya. Di antaranya seperti ditulis Majalah Hidayatullah:

Sekembalinya ke tanah air, para lulusan Iran ini aktif menyebarkan faham Syi’ah dengan membuka majelis taklim, yayasan, sekolah, hingga pesantren. Di antaranya Ahmad Baraqbah yang mendirikan Pesantren al-Hadi di Pekalongan (sudah hangus dibakar massa), ada juga Husein al-Kaff yang mendirikan Yayasan Al-Jawwad di Bandung, dan masih puluhan yayasan Syi’ah lainnya yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Menurut pusat data lembaga penelitian Syi’ah di Yogyakarta, Rausyan Fikr, seperti disampaikan dalam makalah yang ditulis oleh Pengurus wilayah Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Yogyakarta, AM Safwan, pada tahun 2001, terdapat 36 yayasan Syi’ah di Indonesia dengan 43 kelompok pengajian. Sebanyak 21 yayasan/ kelompok pengajian di tingkat provinsi, dan 33 yayasan/ kelompok pengajian di tingkat kabupaten. Kota.

Tidak hanya melalui pengajian, upaya penyebaran paham Syi’ah juga gencar dilakukan melalui penerbitan buku. Menurut hasil hitungan Rausyan Fikr, hingga Februari 2001 saja, tidak kurang 373 judul buku mengenai Syi’ah telah diterbitkan oleh 59 penerbit yang ada di Indonesia. (Majalah Hidayatullah, Rabi’ul Tsani 1430H/ April 2009, halaman 29).

Itu belum kerjasamanya dengan para pengusung bid’ah dan bahkan pihak gereja. (lihat nahimunkar.com, Kelompok Sesat Syiah “Mengaji’ ke Gereja, January 15, 2009 3:51 am admin Artikel). Pada 10 Muharram 1430 H, al-hamdulillah pihak MUI bersama pengurus dan pegiat Masjid At-Taqwa di Cirebon Jawa Barat bekerjasama dengan Polisi berhasil membatalkan akan diselenggarakannya haul Imam Husein di Masjid At-Taqwa. Acara haul itu menghadirkan seorang petinggi NU (Nahdlatul Ulama), Said Agil Siraj. Namun acara itu tetap diselenggarakan dengan dialihkan ke Keraton Kasepuhan, dan dikhabarkan, Said Agil Siraj marah-marah dengan adanya pembatalan di Masjid At-Taqwa ini.

Lhah, kenapa marah-marah? Padahal, pendiri NU sendiri, KH Hasyim Asy’ari adalah orang yang tidak mau adanya Haul (peringatan tahunan orang meninggal). Al-Marhum Pak ‘Ud (Yusuf Hasyim) putera Hasyim Asy’ari sendiri pernah penulis dengar, mengakui bahwa bapaknya (Hasyim Asy’ari) memang tidak mau adanya haul. Kok sekarang, generasi belakangan, justru bukan hanya mengadakan haul, tetapi haul dengan berbau-bau Syi’ah lagi. Ini mestinya dari kalangan NU perlu meluruskannya kembali, agar tidak semakin kebablasan. Yakni bid’ah plus aliran sesat, itu saja Syi’ah ini adalah induk dari aneka kesesatan.

Dari kenyataan itu, Syi’ah di Iran sebegitu ganasnya dalam membunuhi Ulama Sunni, menghancurkan masjid-masjid Sunni, dan membersihkan kitab-kitab rujukan Sunni. Tetapi di Indonesia justru lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam negeri dan Muhammadiyah mendirikan Iranian Corner di 12 tempat, masih pula sebagian tokoh Ormas Islam besar lainnya yang justru mengklaim bahwa merekalah yang Ahlus Sunnah ternyata tampak mengais-ngais proyek atau kegiatan dari Syi’ah. Sambil sesekali berkilah bahwa ada tradisi-tradisi NU yang dari Syi’ah.

Apa sebenarnya yang mereka bela?

Semoga Allah menunjuki hamba-hamba-Nya yang ingin menegakkan agama-Nya yang bersifat memberantas kesesatan, apalagi induk kesesatan yang membenci kebenaran. Dan semoga Allah menghindarkan Muslimin yang teguh dari aneka bujukan dan rayuan para penyesat yang kini di Indonesia merasa mendapatkan angin longgar hingga ada yang duduk di MUI, perguruan tinggi Islam, ormas-ormas Islam dan lembaga lainnya.


BY GAN

BAGAIMANA NEGERI INI ?

Diposting oleh gan

1. Kasus etnis Dayak Madura di Kalbar-Kalteng

Teori agresivitas lebih cocok adalah pemicu atau korek api utk menyalakan
api unggun yg sudah disediakan banyak lengkap dgn minyak tanahnya. Kesalahan
kalau kita mau cari sumber salahnya, lebih tepat dilamatkan ke Pemda
setempat yg tidak belajar2 juga padahal sudah ada kasus Sambas sebelumnya.
Teori KY atau KIKEN YOCHI dalam management QA(Quality Assurance) perusahaan
Jepang seharusnya dapat diterapkan Pemda setempat. KY yg artinya Danger
Forecasting atau kemampuan yg disyaratkan kpd karyawan agar dapat
mengantisipasi bahaya dalam kerja (berkaitan dgn safety at work) atau
preventive action sebelum menghasilkan product NG atau scrap yg akan
merugikan perusahaan. Kesalahan penempatan etnis Madura dalam pemerintahan
setempat yg cukup berpengaruh dalam decision making dirasakan outputnya
sekarang2 ini yg banyak merugikan suku Dayak yg memang kelihatannya
cenderung pasif dalam pelaksanan pemerintahan. Puncaknya dirasakan dimana
perangkat atau aparat hukum ternyata tidak cukup memberikan warning kpd
etnis Madura yg cenderung demonstratif seperti suka membawa2 clurit atau
golok tanpa ada peringatan secara hukum atau dilarang sekalipun. Akibatnya
adalah si Madura akan cenderung natural atau feel home dgn kebiasaan tsb.
Ditambah dgn tindak tanduk atau kebiasaan hidup suku ini yg cenderung suka
memaksa dan 'main keroyok' dalam kepentingan tertentu (dan ini sering
'direstui' Pemda setempat) terjadilah akumulasi emosi ini. Hasilnya adalah
kerusuhan massa yg kita lihat, yg katanya Madura memulai selama 3 hari
lantas dibalas oleh suku Dayak dgn aksi turun gunung dan aksi2 yg kita kenal
dgn ethnic cleansing itu.

2. Kasus Ambon-Maluku

Identik dgn kasus Sampit-Sambas. Kesalahan dimulai dari penempatan
kebablasan berdasarkan teori proporsional Habibie yg tidak proporsional itu.
Penempatan orang2 non kristen yg membabi buta di jajaran pemda maupun dirjen
kementrian/ BUMN tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan
pengalaman dari disiplin yg ada menyebabkan kerusakan total tatanan sosial
budaya ug sudah mapan di Ambon dan Maluku. Kita masih ingat betapa bersihnya
kota Ambon di masa dulu membuktikan efektifnya pemda Ambon/maluku. Policy
sektarian ala HMI dan ICMI pada era akhir Soeharto terutama era Habibie
menyebabkan benih2 atau cikal bakal friksi antar etnis menjadi demikian
tense. Agresivitas dari kisah sopir angkot (kristen) vs preman pemeras
(muslim) hanya pemicu saja. Ditambah ramuan rekayasa (patent ORBA) jadilah
kue kerusuhan yg telah banyak memakan nyawa baik orang Maluku sendiri
(kristen/islam) maupun dari Jawa-Sumatera (Laskar Jahad). Sekali lagi bukan
karena isu islamisasi!

3. Kasus Mei 98 / Pembakaran-perusakan gereja

Rasanya terlalu dangkal menimpakan persoalan pada agresivitas semata utk
kasus di atas. Agresivitas sendiri ada yang positif dan negatif. Kalau atas
dasar agresivitas (mending kalau yg negatif) lalu orang boleh
merusuh-menjarah-membakar-memperkosa, terlalu dangkallah tuduhan ini hanya
karena argumen agresif.
Agresivitas negatif misalnya sifat2 demonstratif menenteng celurit atau
golok yg sering diperlihatkan etnis Madura ataupun laskar2 tertentu yg
membawa2 nama agama. Ini jelas mengundang sikap antipati massa. Ada lagi
misalnya agresifitas membakar atau merusak cafe atau tempat hiburan padahal
ada perangkat hukum yg mengaturnya. Ini juga menimbulkan kecaman masyrakat.
Ada lagi sikap agresifitas yg cenderung dilakukan massa mayoritas misalnya
massa yg keluar dari sholat Jum'atan. Mereka cenderung menghalangi jalan
atau bahkan menutup jalan dgn alasan dipakai utk acara sholat. Atau
tindakan2 tdk bertanggung jawab lainnya dilakukan massa walaupun baru saja
selesai sembahyang. Lantas, sikap sikap agresifitas seperti ini boleh
dibalas dgn pembakaran-kerusuhan?
Agresivitas suku Cina Indonesia saya rasa berbeda perspektifnya dgn kasus2
di atas. Eksklusif, saya akui mungkin. Sebagian besar chinese di seluruh
dunia, dari ononya cenderung individualistis. Saya rasa seluruh bangsa di
duniapun cenderung eksklusif atau cenderung memilih habitatnya sendiri jika
disuruh memilih. Kita bisa lihat ada China town, kampung Arab, Belanda
Depok, kampung Melayu dsb. Exclusiveness saya rasa bukan dosa besar. Ini
lebih tepat saya rasa HAM orang utk bersikap eksklusif. Tidak bisa orang
bersikap ekslusif lantas kita boleh membakar-merusuh atau memperkosa orang2
demikian. Lagipula, kalau kita sudah mapan, biasanya orang cenderung
memagari kehidupannya. Seperti kita lihat pemukiman Menteng, Pondok Indah,
Pantai Mutiara dsb. Mereka eksklusif karena mampu dan berhak utk itu. So why
fussy about that?
Agresif Cina? Agresif utk ulet, hidup layak saya rasa2 sah2 saja dan HAM
orang sekali lagi. Saya paling tidak menyukai teori kecemburuan sosial sbg
alasan kerusuhan-pembakaran atau pembersihan etnis. Lebih tepat iri hati dan
dengki saya rasa buat orang2 perusuh yg tidak menyukai kesuksesan orang
lain. Masalahnya adalah, whenever you vandalized some people esp. if they
are chinese, you are free to walk without being punished. So jadilah
vandalism thd suku ini. Bukan agresifitas ataupun ekslusif. Kalau ekslusif
saja alasannya, kok Blok M-Menteng-Pondok Indah tidak kena kerusuhan. Get
real man!
Pembakaran gereja? Karena agresifitas aktivitas kristenisasi? Lantas dakwah
itu apa? Kenapa orang tidak boleh berdakwah kpd orang lain? Kalau saya ada
menemukan jalan keluar dari satu gedung yg sedang terbakar,bolehkah saya
beritahu orang lain ada pintu keluar? Lantas saya dibakar atau diserang
karena saya memberitahukan hal tsb? Minggu lalu ada berita satu gereja di
satu tempat di Bekasi dilarang oleh 'warga setempat' karena mengganggu
masyarakat setempat kerena kebisingan suara yg ditimbulkan. Lho, bising mana
sama azan subuh-lohor-magrib-asar yg tidak pernah diukur desibelnya itu? Be
fair lah. Agresifitas membagikan sembako dikatakan membeli iman. Melakukan
konsultasi medis gratis dikatakan melakukan kristenisasi terselubung. Tidak
melakukan kegiatan, dikatakan tidak peka pada kesulitan masyarakat setempat.
Pokoknya salah terus! Tetapi inti diskusi kali ini, tindakan2 yg mungkin
over rajin melakukan penginjilan sehingga menimbulkan gesekan2 sensitif pada
tingkat grass root, perlu diingatkan atau diberitahu. Tapi jangan dibalas
dgn pengrusakan-pembakaran-pembunuhan-pemusnahan gereja. Jangan jadikan
agresifitas sebagai alasan pembenaran pengrusakan rumah ibadah, AGAMA
MANAPUN!

BY GAN

PERISTIWA AMBON

Diposting oleh gan

Keterlibatan pihak asing bukan cerita baru.
Ada upaya jadikan Ambon Timor Timur kedua.

Hampir tak ada wilayah aman di Malu-ku Utara. Kali ini di desa
Gorua. Siang itu, Kamis (30/12), dengan peralatan perang
seadanya warga muslim desa Gorua ber-tarung mati-matian
menahan gempuran ratusan pasukan Nasrani. Puluhan pemuda dan
orang tua mempertaruhkan nyawa dan kehormatan menahan gempuran
mematikan pasukan merah yang dipimpin oleh pdt Soselisa dan J.
Huwae (mantan Camat Tobelo). Pertempuran berlangsung tak
seimbang. Pertahanan warga muslim akhirnya bobol. Menurut
catatan Posko Peduli Umat, penyerbuan itu mengakibatkan
hancurnya masjid al-Muttaqin dan syahidnya 30 warga muslim
dengan tubuh dicincang.

Dalam perjalanan ke desa Gorua, dengan pengeras suara J.
Soselisa meneriakan kata-kata yang tak bisa dilupakan oleh
warga muslim: "Orang Islam Indonesia harus dihabiskan karena
bikin kotor. Jangan takut, maju terus, karena ada bantuan dari
Belanda, Inggris dan Australia. Jadikan Tobelo sebagai Israel
kedua. Tokoh-tokoh Islam Gorua harus ditangkap hidup-hidup,
seperti H. Abdurahim, H. Ahmad (Imam Gorua), dan H. Husni
Hakim ..."

Benarkah ada keterlibatan negara-negara yang diteriakkan J.
Sosulisa itu?

Sulit dibuktikan. Namun, kecurigaan adanya kekuatan asing yang
bermain dalam konflik berdarah itu juga sulit untuk dinafikan.
Di awal-awal kerusuhan Ambon misalnya, ditemukan sejumlah
senjata api dalam suatu pengiriman peti mati dari negeri
Belanda. Berbarengan dengan ditemukannya dokumen RMS (Republik
Maluku Selatan). Namun, karena kelalaian kaum muslimin,
dokumen itu diserahkan ke aparat tanpa sempat digandakan.

Hawa keterlibatan asing terasa dengan banyaknya selundupan
senjata ke wilayah kon-flik itu. Pertengahan Desember lalu,
tim sweeping gabungan TNI dan Polri ber-hasil meringkus
pemasok amunisi, granat dan meriam di Pelabuhan Lantamal
Halong. Para pemasok yang berhasil disergap itu ialah Sony
Salakory, Monalisa Palapessy dan Johanis Tenlima. Disinyalir
penyelundupan senjata itu sudah berlangsung lama.

Maraknya penggunaan senjata juga terlihat dari korban-korban
tewas yang umumnya terkena tembakan peluru tajam. "Sebagian
besar korban meninggal dari pihak muslim karena terkena
tembakan," kata dr Joserizal Jurnalis, petugas medis dari
MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) yang pernah
bertugas di Ambon kepada SAKSI. "Anehnya, umumnya tembakan
tepat di kepala," imbuh Joserizal keheranan.

Ihwal keterlibatan asing diamini oleh Tamrin Amal Tamagola.
Saat pecah pertempuran Islam-Nasrani di Maluku Utara, ia
mendapat kabar bahwa pesawat helikopter milik Australia yang
bolak-balik di kawasan itu. Pesawat itu diketahui milik PT
Nusa Halmahera Minerals (NHM), perusahaan tambang emas di
Malifut, Halmahera. Pihak muslim mencurigai helikopter itu
menyelundupkan senjata dari Belanda bagi kelompok Nasrani
lewat para pekerja asal Australia di NHM.

Namun, Tamrin menyangsikan bila ber-bagai aksi itu dilakukan
RMS. "Saya tak percaya. RMS sudah mati," ujar sosiolog UI asal
Maluku Utara ini.

Pemerintah Australia secara resmi telah membantah tudingan
bahwa warga negaranya menjadi perantara pasokan senjata ke
Maluku Utara. Demikian pula dengan pemerintah Belanda. Dalam
keterangan persnya, Menlu Jozias van Aarsten membantah tuduhan
bahwa warga Belanda keturunan Maluku memasok senjata kepada
kelompok tertentu di Maluku. Pemerintah Belanda, katanya,
mendukung rekonsiliasi.

Berbeda dengan keterangan Aarsten, sebuah harian Belanda,
Volkskrant, memuat pernyataan mengejutkan dari tokoh-tokoh
Maluku di negeri kincir angin itu. Dalam edisi Rabu (12/1),
harian berpengaruh itu mengutip imbauan seorang warga Maluku.
"Orang-orang Maluku di Belanda agar mengumpulkan dana untuk
membeli senjata untuk dikirim ke Maluku demi membantu
christian brothers en sisters dalam pertempuran melawan
muslim," tulis Volkskrant. Desakan untuk mengirim senjata itu
diperuntukkan bagi daerah-daerah yang mereka sebut
'benteng-benteng Nasrani yang terancam'. Warga Maluku lain
yang berasal dari Bovensmile menyampaikan informasi yang
diterima dari rekannya di Ambon, bahwa pejuang-pejuang nasrani
telah dibantai oleh muslim yang bekerjasama dengan TNI. Warga
Ambon itu meminta untuk segera dikirim senjata, "sehingga
setidaknya bisa mati secara terhormat."

Informasi yang bertolak belakang juga disampaikan oleh warga
Maluku asal Moordrecht. Ia menyatakan, dirinya tidak bisa
membiarkan orang-orang Nasrani di Maluku dibantai begitu saja
oleh warga muslim. Bila mereka tidak membantu supaya
pertempuran berimbang, maka kelak orang Nasrani di Maluku tak
tersisa.

Setelah konflik berlangsung hampir satu tahun, pihak Nasrani
berharap keterlibatan pihak asing sebagai penengah. PGI
(Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) mendesak pemerintah
mendatangkan pasukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk
penyelesaian konflik di Maluku. Alasannya, TNI sudah memihak
kelompok Islam. "Sekarang ini sering terjadi
penembakan-penembakan dan bom oleh tentara yang diikuti oleh
Islam di belakangnya," ujar Pdt Dr Josefh M Pattiasina,
Sekretaris Umum PGI kepada SAKSI.

Menurut Pattiasina, jika pasukan PBB tidak segera didatangkan
bisa terjadi pemusnahan orang-orang Maluku. "Di Pulau Buru
jemaat kita sudah habis dibabat oleh Islam," ujar nya.
Sebaliknya, Tamrin Amal menolak kedatangan pasukan asing,
karena hal itu bertentangan dengan kedaulatan negara. "Konflik
maluku adalah persoalan internal Indonesia," tegasnya.
Mungkinkah desakan PGI itu sebagai upaya internasionalisasi
masalah Maluku sebagaimana Timor-Timur? Belum ada data pasti.
Tapi, bila itu benar, kewajiban kita un-tuk mencegahnya.

BY GAN

Tidak Ada Pemusnahan Umat Kristen Di Indonesi?

Diposting oleh gan

Kerusuhan di Tanah Air:

PAKAR Etika Politik, Franz Magnis-Suseno SJ yang juga rohaniawan Katolik berupaya meyakinkan masyarakat Jerman bahwa tidak benar tuduhan pengamat asing bahwa di Indonesia sedang terjadi pemusnahan sistematis umat Kristen oleh kaum Islam.

"Data menunjukkan bahwa dari sekitar 10.000 korban meninggal dan ratusan ribu pengungsi dalam kasus Maluku, dua pertiga korban adalah warga muslim dan hanya sepertiganya umat Kristen," katanya dalam ceramah di depan publik Jerman, di Hamburg, Senin (25/02).

Hal tersebut ditulis dalam siaran pers Konsulat Jenderal RI (KJRI) Hamburg, Jerman, yang diterima ANTARA Brussel, Senin sore (Selasa WIB).

Menurut dia, kerusuhan berantai di Situbondo, Tasikmalaya, Jakarta, Kupang, Halmahera, tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk menyimpulkan bahwa di Indonesia sedang terjadi pemusnahan umat Kristiani oleh umat Islam.

Magnis dalam ceramah bertema "Islam in Wirtschaft und Gesselschaft in Sudostasien" (Islam Dalam Ekonomi dan Kehidupan Bermasyarakat di Asia Tenggara), mengatakan latar belakang dan akar konflik SARA di Indonesia yakni
ketidakpuasan, kekecewaan, perasaan terluka, dikhianati, dan dilecehkan selama bertahun-tahun dibawah rejim Soeharto.

"Pemerintahan rejim Soeharto telah berhasil menurunkan angka kemiskinan absolut dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bagi kemakmuran bangsa, tetapi gagal total dalam menciptakan keadilan sosial," katanya.

"Pemerintahan rejim Soeharto membungkam semua pengeritik dan lawan politiknya dengan tuduhan komunis, anti pembangunan, dan anti Pancasila, yang pada akhirnya telah melahirkan sebuah masyarakat yang bungkam," kata gurubesar dan pimpinan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Driyakara, Jakarta.

Acara tersebut terselenggara atas kerjasama antara Institut fur Asienkunde (Institut untuk Studi Asia), Ostasiatische Verein eV (Perkumpulan Asia Timur), Seminar fur Indonesische und Sudseesprachen (Jurusan Bahasa Indonesia dan Austronesia), Deutsch-Indonesische Gesselschaft (Lembaga Persahabatan Jerman-Indonesia) dan Deutch-Malaysische Gesselschaft (Lembaga Persahabatan Jerman-Malaysia).

Ceramah tersebut dihadiri oleh masyarakat Jerman, dan kalangan akademisi, pemerhati masalah Indonesia dan Asia Tenggara, pengamat militer Indonesia, dan kalangan dunia usaha.

Lebih lanjut Magnis mengatakan seluruh masyarakat Indonesia berkeinginan untuk hidup berdampingan secara damai dengan meningkatkan dialog antar umat beragama.

Ia kemudian mencontohkan, sejumlah anggota dari kelompok Banser NU telah turut mengamankan gedung gereja dan jalannya ibadah warga Kristen, ketika terjadi serangan atas sejumlah gereja di Jawa dan Sumatera pada 2001.

Fakta ini agaknya tidak terpublikasi oleh media massa Jerman. Fakta lainnya, ada seorang anak muda yang juga anggota Banser NU telah menyelamatkan umat Kristen di sebuah gereja di Jawa Timur.

Anak muda itu membawa lari keluar bom yang ditemukan di dalam gereja. Bom itu akhirnya meledak kemudian menewaskan dirinya, namun warga Kristen di dalam gereja berhasil diselamatkan.

Ketika beberapa kelompok muslim radikal di Indonesia tahun lalu mengancam akan melakukan aksi "sweeping" terhadap warga AS serta kepada umat Kristen, maka pimpinan Muhammadiyah Prof Maarif menyatakan diri sebagai orang pertama yang berdiri di depan membela warga Kristen.

Contoh lain yang tidak terpublikasi media massa Jerman, kata Magnis-Suseno, bahwa NU dan Muhammadiyah sepakat untuk menolak penerapan syariah Islam sebagai hukum positif di Indonesia.

BY GAN

PEMUSNAHAN PAPUA BARAT

Diposting oleh gan

Buku:
Rumpun Melanesia Korban Pemusnahan Etnis


Judul Buku : Pemusnahan Etnis Melanesia; Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat
Penulis : Socratez Sofyan Yoman
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal Buku : 473 Halaman

"Papua Barat adalah suatu wilayah yang sangat memprihatinkan karena penduduk pribumi dalam keadaan bahaya pemusnahan." – Mr. Juan Mendez (Penasehat Khusus Sekjen PBB Bidang Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi).

Fenomena kekerasan yang menimpa Rumpun Melanesia di Papua Barat dapat digolongkan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Sebab, kekerasan, intimidasi, eksploitasi, pemerkosaan, hingga pembunuhan penduduk asli Papua Barat itu melanggar nilai-nila kemanusiaan. Pelanggaran itu tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan budaya, ekonomi, politik, hingga agama. Ada anggapan bahwa Aneka kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat bukan tanpa sengaja, melainkan justru merupakan rekayasa politik pemerintah Indonesia untuk menguasai pulau "cenderawasih" tersebut.

Terlepas benar atau tidak anggapan itu, yang jelas, besarnya hasrat Indonesia untuk menguasai tanah Papua Barat telah memarjinalisasi dan menindas Rumpun Melanesia. Saat ini, Eksistensi etnis Melanesia di Papua Barat terancam musnah (punah). Mereka telah menjadi orang nomor dua di negerinya sendiri (Indonesia).

Ironisnya, sejak terintegrasinya Papua Barat ke dalam NKRI, penduduk asli Papua Barat menjadi objek praktek politik genosida (pemusnahan etnis secara sistematis dan terorganisir) NKRI. Berbagai bukti kekerasan yang dilakukan Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat yang tersaji dalam buku ini, merupakan justifikasi dari praktek pemusnahan Rumpun Melanesia oleh bangsa Indonesia.

Buku yang berjudul PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat yang ditulis oleh Socratez Sofyan Yoman, ini memotret fenomena-fenomena kekerasan yang menimpa penduduk asli Papua Barat sejak terintegrasinya Papua (1 Mei 1963 - sekarang) ke dalam NKRI. Socratez berhasil mendemonstrasikan secara gamblang, kritis, jujur, dan transparan berbagai kasus kekerasan yang menjadi bukti adanya praktek politik pemusnahan ras secara sistematis tersebut.

Tujuan ditulisnya buku ini, menurut Socratez, adalah untuk mencari resolusi yang tepat guna mencegah keberlanjutan konflik antara Papua dan Indonesia. Karena Penulis adalah seorang gerejawan (Ketua Umum Badan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua), maka tidak heran, aroma ke-Gejera-an dalam bahasa buku ini sangat kental. Namun, hal itu tidak mempengaruhi focus pembahasan buku ini, yakni mengungkap secara gamblang dan jujur kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap penduduk asli Papua Barat.

Memang, dalam sejarahnya, keberadaan (eksistensi) orang-orang kulit hitam selalu dinomorduakan. Stigma-stigma seperti bodoh, miskin, tertinggal, dan primitif yang dilabelkan pada mereka mengindikasikan bahwa eksistensi mereka berada di bawah orang-orang kulit putih. Implikasinya, ras kulit hitam selalu menjadi korban kekerasan, Perlakuan tidak adil, intimidasi, pembunuhan, pemerkosaan, perbudakan, dan lain lain. Politik apartheid di Afrika dan kekerasan terhadap Rumpun Melanesia di Papua Barat adalah dua contoh penindasan yang dilakukan oleh ras kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam.

Menurut Socratez, dalam proses pemusnahan penduduk asli Papua, Indonesia menempuh dua jalur operasi besar yakni operasi militer dan operasi transmigrasi. Operasi militer bertujuan untuk menteror, mengintimidasi, menindas, hingga membunuh orang asli Papua yang dianggap mengancam keutuhan NKRI. Sedangkan operasi transmigrasi adalah untuk merebut segala yang dimiliki penduduk asli Papua Barat.

Selain itu, jalan lain yang ditempuh Indonesia dalam upaya pemusnahan etnis Melanesia di Papua Barat adalah dengan melakukan polarisasi dan isolasi Rumpun Melanesia. Dengan istilah lain, Indonesia menerapkan politik devide et empera yang pernah dilakukan Belanda (dulu) untuk memecah belah Indonesia. Dengan menerapkan politik ini di Papua Barat, itu berarti Indonesia telah menjadi neo-kolonialisme bagi rakyat Papua.

Dalam buku ini dijelaskan, politik devide et empera atau adu-domba itu dijalankan dengan melakukan polarisasi dan isolasi terhadap penduduk asli Papua. Tujuannya adalah untuk memecah kekuatan mereka. Dalam aplikasinya, rakyat Papua dikelompokan menjadi dua kelompok yang kontradiktif, yaitu "kelompok merah putih Vs kelompok pro-belanda atau pro-Papua Merdeka", "pantai Vs pedalaman", "Provinsi Irian Jaya Barat Vs Provinsi Papua", Pro-NKRI Vs Pro-Otonomi Khusus yang separatis", dll. (hlm 226)

Berangkat dari sekian usaha yang dilakukan Indonesia dalam rangka pemusnahan penduduk asli Papua dan menguasai pulau cenderawasih tersebut, maka kehadiran buku ini menjadi sangat penting guna mencegah keberlangsungan politik genosida dan politik devide et empera di tanah Papua Barat. Dengan begitu, eksistensi Rumpun Melanesia dapat diselamatkan dari bahaya pemusnahan etnis.

Sebagai seorang gerejawan yang dihormati di lingkungannya, Socratez melalui buku ini berharap agar Indonesia tidak lagi memandang Papua Barat dengan paradigma kolonialisme. Sebab, paradigma itu hanya akan memecah kesatuan NKRI dan tentunya merugikan rakyat Papua. Jika politik devide et empera dan politik genosida masih dipakai Indonesia untuk menguasai wilayah Papua Barat, maka penduduk asli Papua Barat (Rumpun Melanesia) terancam musnah dari muka bumi. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan mampu menyadarkan Indonesia bahwa Papua Barat adalah bagian NKRI dan penduduknya adalah penduduk Indonesia.

Sungguh menarik sekali membaca buku setebal 473 halaman ini. Selain tersaji bukti-bukti tentang kekerasan yang menimpa rakyat Papua Barat oleh bangsanya sendiri (Indonesia), buku ini juga menawarkan sebuah solusi yang oleh penulis diyakini mampu memecah sekat antara Indonesia dan Papua Barat.

Akhirnya, semoga kehadiran buku ini dapat mengetuk dan membuka pintu hati kita (Indonesia), sehingga kita sadar bahwa Rumpun Melanesia, ras kulit hitam di Papua Barat adalah saudara kita (orang melayu, ras kulit putih) yang perlu dilindungi. Selamat membaca!