gan

Senin, 28 Desember 2009

ACEH DAN GEREJA bag.5

Diposting oleh gan

Gereja Dibakar, Umat di Aceh Tetap Teguh


Oleh : Deco


Glorianet - Tahun lalu, sekelompok orang menyerang sebuah gereja di Aceh. Kelompok itu membakar habis gereja yang sudah berdiri selama 28 tahun itu dan mencoba membunuh pendeta dan istrinya, namun mereka berhasil menyelamatkan diri dan menceritakan kisahnya.

"Orang-orang memegang pisau siap untuk membunuh kami," kata Pendeta L. Saragih, kepada CBN. Saragih adalah pendeta Gereja Misi Injili Indonesia (GMII) sejak 2003.

Ia mengisahkan, sekitar tengah malam dua truk dan 50 motor yang membawa sekitar 100 orang datang mengelilingi gereja. Ia dan istrinya tinggal dekat gereja, namun berhasil menyelamatkan diri ke hutan terdekat.

"Saat saya mendengar orang Muslim berkata 'Bunuh mereka, bunuh mereka,' saya pikir itu cuma mimpi," kata N, istri Saragih. "Saya lari ke belakang rumah dan jatuh ke tanah. Saya menangis dan berdoa, "Dimana engkau Tuhan, dimana engkau Tuhan?"

Tapi, lanjut N, "Kami hanya bisa tercengang saat kami lewat di depan mereka, mereka hanya melihat saja. Saya percaya malaikat Tuhan datang untuk melindungi kami."

Saragih mengatakan kelompok Muslim menjadi marah saat mereka menerima undangan untuk menghadiri acara KKR di gereja. Meskipun mengaku tidak mengirimkan undangan, polisi meminta ia membatalkan acara itu.

Namun, meski dilarang polisi, 60 orang Kristen tetap bertemu untuk berdoa.

"Polisi berkata orang-orang akan marah kalau kami melanjutkan persekutuan, tapi saya tidak melihat sesuatu yang salah kalau kami memuji Tuhan," katanya. "Kami berdoa dan membaca Mazmur 23."

Ia dan istrinya lari ke hutan ketika gereja dibakar sampai rata ke tanah. N, yang sedang hamil tiga bulan, jatuh beberapa kali saat melarikan diri. Dia kemudian dirawat untuk menghindari keguguran.

Karena banyaknya ancaman mati, Saragih dan istrinya akhirnya pindah ke kota yang lebih besar. Bayi perempuan mereka lahir dengan selamat.

"Saya mengatakan pada diri saya, saya akan berhenti menyatakan injil," kata Saragih. "Saya harus mengakui kalau saya bertanya kepada Tuhan mengapa ini semua terjadi. Tapi Dia membolehkan saya pengalaman yang menakjubkan ini bersama Dia. Kami berpikir tidak akan selamat, tapi dengan mujizat Tuhan menyelamatkan kami dan bayi kami."

Karena imannya semakin diperkuat, ia berencana untuk masuk sekolah Alkitab. Saat ini Saragih sedang mempertajam kemampuan penginjilannya.

Gereja di Aceh itu rusak, namun jemaatnya tetap mengadakan pertemuan doa di rumah-rumah mereka samentara menunggu pembangunan gereja yang baru.

"Saat gereja kami dibakar, awalnya kami takut. Tapi kami sadar kami tidak boleh takut karena kami adalah pengikut Yesus Kristus," kata A, seorang penatua gereja.

"Kami percaya jika kami mati, karena Yesus, kami akan hidup lagi," lanjut A. "Mereka (kelompok Muslim) tidak tahu apa yang mereka lakukan.

"Kami percaya Allah mempunyai rencana yang baik bagi kami disini, di Aceh." (GCM/Kristianipos-CBN)

BY GAN

ACEH DAN GEREJA bag.4

Diposting oleh gan

Wakil Menteri Belanda Berdoa di Gereja Banda Aceh

BANDA ACEH, MINGGU — Wakil Menteri Transportasi dan Pengelolaan Air Belanda, Tineke Huizinga, melakukan kebaktian di Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) di Banda Aceh, Minggu (18/1). Dari Banda Aceh dilaporkan, Wakil Menteri Huizinga beserta rombongan tiba di gereja di kawasan Peunayong itu dan langsung melakukan kebaktian Minggu.

Kedatangan Huizinga yang tidak direncanakan tersebut untuk beribadah, dan mendapat sambutan hangat dari jemaat gereja setempat. Seusai melakukan kebaktian, wakil menteri yang mengenakan kemeja biru muda dan celana putih tersebut, sempat berfoto bersama rombongannya di depan gereja.

Menurut juru bicara Kedutaan Besar Belanda Gonneke de Ridder, yang dihubungi dari Banda Aceh, tidak ada program resmi Wakil Menteri Belanda ini pada hari pertama kunjungannya. "Besok (Senin, 19/1) dia akan mengadakan pertemuan dengan Gubernur Aceh dan dengan kalangan pers serta melakukan kunjungan ke proyek rekonstruksi pascatsunami," katanya.

Wakil Menteri Huizinga dijadwalkan akan meninjau kemajuan proyek rekonstruksi pascatsunami di Banda Aceh dalam rangkaian program kunjungan ke Indonesia yang dijadwalkan berlangsung 18-23 Januari 2009. Dalam kunjungannya di Banda Aceh dan Jakarta, ia akan meninjau berbagai proyek di antaranya pertahanan pesisir (coastal defence), penanganan masalah banjir di daerah perkotaan, air minum, sanitasi, dan perubahan cuaca.

Di Banda Aceh, wakil menteri ini akan mendapat penjelasan mengenai proyek-proyek rekonstruksi, seperti proyek pertahanan pesisir, saluran pembuangan air kota, sistem peringatan dini, penyediaan air minum, dan sanitasi.

Pada kesempatan itu, ia juga akan menghadiri acara penandatanganan perjanjian kerja sama jangka panjang antara perusahaan air minum Belanda dan Aceh. Belanda merupakan salah satu negara yang ikut membantu Aceh pascatsunami.

Kementerian Lalu Lintas dan Perairan Belanda turut terlibat dalam renovasi pelabuhan Banda Aceh. Pascatsunami kerja sama antara Indonesia dan Belanda semakin erat, dalam kunjungan itu Wakil Menteri Huizinga ingin memperkuat kerja sama tersebut.

BY GAN

ACEH DAN GEREJA bag.3

Diposting oleh gan

Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh Berawal dari Gereja Tentara Kolonioal

87 KHAS.jpg

KITA tentu belum melupakan kejadian menyedihkan empat tahun lalu (2004). Satu hari setelah Natal, di ujung barat Indonesia terjadi bencana tsunami yang tidak hanya meluluhlantakkan kawasan yang sangat luas, namun juga menewaskan ratusan ribu orang.

Gelombang tsunami menerjang daratan hingga meluluhlantakkan hampir semua bangunan di radius 2 kilo meter dekat pantai. Ya, itulah “Minggu hitam”, tepatnya 26 Desember 2004 silam bencana tsunami melanda Aceh dan sekitarnya. Gelombang akibat muntahan retakan perut bumi itu telah menenggelamkan ratusan ribu orang. Anak kecil, orang tua, kaya dan miskin, perempuan atau laki-laki – tak pandang bulu, semua disapu oleh gelombang ganas tsunami.

Namun di balik itu ada satu hal yang menarik dari sekian banyak cerita “ajaib”, yakni ada satu bangunan tua tempat umat Katolik beribadah yang selamat dari terjangan derasnya gelombang tsunami itu. Padahal rumah ibadah itu letaknya hanya sekitar 10 meter dari Sungai Krueng Aceh , sungai yang membelah Kota Banda Aceh dan membawa air ke darat pada saat gelombang tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Bangunan itu adalah, Gereja Katolik Hati Kudus di Banda Aceh.

Gereja yang dibangun sekitar tahun 1926 ini mungkin boleh dibilang bangunan tua, tapi daya tahannya lebih mantap dari bangunan yang didirikan setelahnya. Sedikit mengingat kejadian 4 tahun yang lalu itu – padahal berita di berbagai media menyatakan, beberapa waktu sebelumnya gempa sudah lebih dulu menghancurkan banyak rumah dan bangunan perkantoran, namun Gereja Katolik Hati Kudus tetap teguh berdiri, bahkan sampai saat ini.

Keberadaan gereja dan umat Katolik di Serambi Mekkah ini memang tidak bisa terlepas dari sejarah kelam pendudukan Belanda. Gereja yang dirintis sejak tahun 1885 dan diresmikan pemakaiannya sejak 26 September 1926 ini sebelumnya adalah kapel kecil “Hati Kudus” yang diperuntukkan bagi kebutuhan kerohanian tentara kolonial Belanda. Namun seiring berjalannya waktu, gereja yang dipimpin pastor pertamanya – Pastor Henricus Verbraak, SJ, yang juga seorang tentara Belanda – ini semakin bertambah, bahkan semakin terbuka dengan dibolehkannya masyarakat sipil yang nota bene adalah warga pribumi, pegawai pemerintah serta pedagang warga Tionghoa beribadah di sana. Pada tahun 1970-an, jumlah jemaat gereja ini mencapai 800 orang, melampaui kapasitas gereja yang hanya mampu menampung 400 orang.

Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh dan bencana tsunami ini memang tak bisa dilepaskan dari keberadaan Pastor Ferdinando Severi, Pastor yang kala itu memimpin jemaat Gereja Hati Kudus Banda Aceh. Di gereja kecil dengan dinding berwarna krem dengan ornamen kaca warna-warni dan keramik empat warna inilah Pastor Ferdinando tinggal. Sudah lebih dari 13 tahun pria bertubuh besar kelahiran Italia 19 Desember 1934 tinggal dan melayani di sana.

Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 yang silam memang tak merenggut jiwanya. Namun rasa sedih yang ditandai dengan mata berkaca-kaca tak bisa ditutupinya tatkala teringat peristiwa itu. Mengingat bencana yang telah menewaskan 37 umat Gereja Hati Kudus Banda Aceh dan 15 umat Katolik di Meulaboh. Secara teologis umat Katolik di Banda Aceh adalah kepunyaan Allah. Dan adalah hak Allah untuk memanggil mereka kembali ke dekapan-Nya, namun tak bisa dimungkiri, secara manusia umat Katolik di sana tetap saja adalah anak rohani Pastor Ferdinando yang telah dibimbing, digembalakan, dan dipimpin olehnya sekian tahun lamanya. ?

BY GAN

ACEH DAN GEREJA bag.2

Diposting oleh gan

[Nasional] FW: 17 Gereja ditutup Pemda Aceh

Ikranagara mailto:national@...
Wed Nov 13 15:03:01 2002

This is a multi-part message in MIME format.
------=_NextPart_000_00C8_01C28AE5.E75D7200
Content-Type: text/plain;
charset="iso-8859-1"
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
----- Original Message -----=20
From: Wita Hartanto <wita@...>
To:
Sent: Friday, October 18, 2002 8:50 AM
Subject: Penutupan gereja di Aceh
note : mari kita doakan.

17 Gereja Ditutup di ACEH Karena Syariat Islam
27/09/2002 Terangdunia.com Pada tanggal 19 Nov 2001 lalu telah terjadi
penutupan 17 (tujuh belas) gedung gereja di wilayah Kabupaten Aceh
Singkil. Penutupan dilakukan oleh Pemda setempat atas desakan dari para
ulama. Penutupan dilakukan secara paksa karena kalau tidak umat Kristen
akan menanggung resiko.
Adapun ke-17 gereja yang ditutup, yang sebenarnya sudah berdiri sejak
jaman penjajahan Belanda tersebut adalah sebagai berikut :
1. Gereja Kristen Pak Pak Daeri (GKPPD) Kab. Aceh Singkil, 12 buah
gedung gereja.
2. Huria Kristen Indonesia (HKI) Kab Aceh Singkil, 1 buah gedung gereja.
3. Gereja Misi Injili Indonesia (GMII) Kab Aceh Singkil, 1 buah gedung
gereja.
4. Gereja Katolik, Kab. Aceh Singkil, 3 buah gedung gereja.
Hingga saat ini sekitar 10 ribu Jemaat dari gereja-gereja tersebut saat
ini hidup dalam kegelisahan dan takut. Sebagian besar tidak berani
beribadah, sementara yang lain terpaksa melakukan ibadah diperkebunan
kelapa sawit.
Sementara itu sejak diberlakukannya Syariat Islam di Nangroe Aceh
Darussalam ternyata berdampak pada kebebasan beragama. Sosialisasi Pemda
setempat bahwa penerapan Syariat Islam tidak diberlakukan pada non
Islam, kenyataan dilapangan umat Kristen yang tidak mengenakan jilbab
dilempari.
Informasi lain, bahwa sekitar tahun 1988 di Aceh Tengah tela h terjadi
pembakaran terhadap gedung Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hingga
saat ini jemaat yang ingin membangun kembali gedung gerejanya tidak
diijinkan. Demikian informasi dari Aceh.

BY GAN

ACEH DAN GEREJA

Diposting oleh gan

ni kutipan dri ACEH COMMUNITY(/www.acehforum.or.id/meunasah-dan-gereja-t5149.html).

Meunasah dan Gereja

Saya sering jalan-jalan ke kampung seberang dimana saya hampir tidak bisa menenukan Meunasah, dimana mana ada Gereja. Begitu sebaliknya di kampung saya.. diamana ada Meunasah.

Pada suatu hari saya harus ke Toilet (mereka menyebutnya toilet tempat buang air) Gereja untuk buang air karena sudah sangat mendesak. saya lihat ada seoarang cleaning service dengan pakaian yg bersih dan rapi berdiri di dekat sana dan saya menyapa, boleh pak? saya bertanya dengan sopan, oh silahkan.. jawabnya sambil tersenyum, lalu saya membuka pintu dan melihat begitu harum dan bersihnya toilet itu, saya menoleh ke belakang dan bertanya kembali ke cleaning service itu, wah pak bersih sekali toiletnya..., lalu bapak tadi terseyum sambil berkata, pak coba lihat ke lubang kakus (tempat buang air besar) lihat ke arah air itu, jika bapak bawa air itu ke lab dan diperiksa, mereka akan berkata air itu steril dan layak untuk diminum... sambungnya dahsyat!

Sejak itu saya terus teringat akan Meunasah di kampung saya, dimana WC (kita menyebutnya WC) meunasah di kampung saya sangat berbau pesing, bahkan 150 meter dan WC saya dapat menyium bau pesing dan bau kotoran yang sangat menyegat (putoh bulee idong). belum lagi didalam WC, mulai di depan pintu, joroknya bukan kepalang, kotoran manusia mulai yg kering sampai yg masih basah berserak-serak mulai dari depan pintu sampai ke lobang WC... kalau baunya sudah hal yg biasa kali, yg lebih parah lagi, puntung rokok betaburan di lantai, ternyata mereka merokok sambil buang air tuk mengilangkan bau kali ya?

Ada apa dengan Meunasah kita? ada apa dengan orang-orang muslim?
by gan

Senin, 07 Desember 2009

CERITA TRAGEDY SAMPIT

Diposting oleh gan

ni artikel dari:
Ryo Saeba
,
Thu, 01 Mar 2001 18:54:01 -0800


ni artikel penting bget ntuk dbaca buat pengetahuan,bukan untuk menghakimi ato memihak tpe sekedar introspeksi diri kita sebagai manusia yg jauh dri sempurna,dan peringatan untuk pemerintah yg kurang tegas dlam hukum dan pemerintahannya.....dsni tidak da yg nmaya jagoan ato menagya sendiri, INDONESIA adalah negara PANCASILA dan DEMOCRATIS yg punya berbagai agama, bukan negara AGAMAIS........so ni artikel q kutip dri seseorang, nikmati atu......?

BY GAN

Peristiwa Sampit dari kacamata "urang Bajar" <-- subject
Sampit yang baru-baru ini jadi berita hangat di negeri ini menjadi sebuah
kota yang digambarkan begitu menakutkan karena pertikaian etnis (saya
katakan di sini "pertikaian etnis" murni...tidak ada faktor SARA lainnya).
Masyarakat Dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat
dan harga diri. Sejak "peradaban" masuk ke dalam kehidupan mereka, budaya
"kekerasan" yang dahulu secara turun-temurun mulai ditinggalkan.
Gambaran kasar tentang orang dayak secara umum, dilihat dari pengalaman saya
dan cerita dari beberapa orang yang sempat saya ajak bicara adalah; Orang
Dayak adalah masyarakat tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap
pendatang. Tidak jarang saya jumpai masyarakat Dayak yang lari bersembunyi
dan hanya berani mengintip dari balik papan dinding rumahnya bila melihat
orang asing datang mendekat.
Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat
antar masyarakat Dayak di seluruh pulau Kalimantan (termasuk Dayak di
wilayah Malaysia).
Saya punya pengalaman pribadi saat mencoba membuat karya foto tentang mereka
(Dayak)...ternyata sulit sekali melakukan pendekatan kepada mereka agar
bersedia di foto. Kebetulan saya ingin sekali membuat foto "portraiture"
sosok orang Dayak. Hehehehe...udah abis sebungkus rokok kretek yang terpaksa
saya beli (kan rokok gue bukan kretek) buat melakukan aksi
perdekatan...eehh...hasilnya nggak sesuai dengan keinginan....hehehehehe.

Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura..?????
Terus terang, sebagai keturunan suku terdekat dari suku Dayak (Banjar), saya
sendiri kaget melihat keberingasan mereka....ternyata ada benarnya juga
cerita "Dayak makan orang" yang dulu sekali pernah saya dengar...hehehehe.
Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi manusia, baik sebab
langsung maupun tidak langsung.
Masyarakat Dayak di Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan
memang mereka lebih suka memilih mengalah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka sendiri
karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung mereka harus
berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para penebang kayu yang
terus mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini
diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat
pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus
tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar
disebabkan oleh aksi premanisme Dayak-Madura) yang merugikan masyarakat
Dayak karena tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap oleh
aparat yang "katanya" penegak hukum.

Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari
anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata sangat
pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan masyarakatnya
baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah mengganggu para penebang
kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah. Mereka tidak pernah
menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh
orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat
sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah ke
dalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".

Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata
menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat
mereka sebagai "pendatang"). Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah
larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh
orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis
Dayak-Madura".

Entah bagaimana cara mereka (Dayak) membedakan suku Madura dengan suku-suku
lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan beringas" orang
Dayak.
Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut
dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak kolega-kolega saya
yang baru pulang dari Sampit menceritakan keberingasan orang Dayak dan
peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut, sampai pada mitos
masyarakat Dayak tentang "Panglima Burung" yang mampu memenggal kepala orang
tanpa menyentuh sedikit-pun. Yang perlu diketahui adalah; saat ini di Sampit
bukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada 5
suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan (saya
nggak tau apakah Dayak di wilayah Malaysia juga ada....kalau ada jadi total
6 suku besar). Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat
mayoritas di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda.
Dari riwayat budaya Dayak, kalau 6 suku tersebut sudah berkumpul, berarti
PERANG BESAR...!!

Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan Madura)
hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya perekonomian
Sampit. Alhamdulillah, beberapa rekan saya di sana (kebetulan bukan suku
Madura) masih aman-aman saja. Suku Dayak tidak merusak Gereja, Mesjid, atau
rumah peribadatan lainnya. Bahkan ada cerita yang mengabarkan bahwa mereka
(Dayak) tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam
Masjid atau Gereja.

Kenapa Madura..???
Dari hasil pengamatan saya, dan dari cerita rekan-rekan saya, masyarakat
suku Madura banyak "petantang-petenteng" di sana, bahkan bukan cuma di
Sampit...di Banjarmasin-pun mereka terkenal dengan sifat mereka itu.
Penilaian ini bersifat menyamaratakan anggapan "kekerasan" suku Madura
lhoo...memang tidak semuanya begitu. Dari cara mereka melakukan usaha dalam
bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu "kasar" oleh
sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak
cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka.
banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Sekali lagi, tidak semua suku
Madura bersifat seperti ini.
Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi
penyebab pecahnya "perang" tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian saya
adalah TIDAK BENAR.
Salah satu contoh yang pernah saya alami sendiri :
Saat turun dari Bis di Sampit (sekitar tahun 1993), tas saya yang cuma satu
dipaksa untuk diangkatkan oleh seorang pemuda dengan logat Madura-nya yang
kental. Dengan dalih "bisa saya bawa sendiri" saya coba menolak dengan halus
tawaran jasa porter tersebut. tapi dengan wajah tak bersahabat dan dengan
sedikit membentak, pemuda itu menarik tas yang saya genggam sambil berkata
dengan nada kasar "ini sudah peraturannya..! harus dibawakan". Nah lhoo...!!
peraturan dari mana..?? dari hongkong..??? hehehehe. Yahh... daripada cari
penyakit di kampung orang, saya terpaksa cari jalan damai saja lahh. Dan
sialnya, dia minta uang jasa sebesar Rp 10.000,-...!! EDANN..!! di air-port
aja gue cuma ngasih goceng..!! hahahahaha.

Masyarakat Dayak tidak pernah peduli dengan nilai nominal. Mereka bisa saja
dengan suka rela ber"barter" dengan para pendatang tanpa proses
perpindah-tangannan uang. Mereka lebih memilih barter dengan kopi, gula,
garam, atau bahkan sebungkus rokok.
Penjarahan yang terjadi di Sampit lebih banyak dilakukan oleh suku-suku
pendatang lain yang tidak menjadi sasaran amuk suku Dayak

Sekali lagi.....tulisan ini cuma bertujuan untuk menjelaskan keadaan Sampit
saat ini khususnya budaya orang Dayak, dan tidak ada maksud apapun. Sekedar
informasi, waktu perjalanan darat dari Banjarmasin-Sampit kira-kira 24
jam...non-stop. Alhamdulillah di Banjarmasin masih "aman-terkendali"
(hehehe....pake bahasa laporan pandangan mata kaya' di Radio....hehehe).
Sebenernya pengen sih cerita keanehan-keanehan yang terjadi di sana...tapi
saya nggak liat sendiri sih...jadi belum yakin banget kebenarannya. Yang
pasti, legenda "Panglima Burung" sedang trend di Banjarmasin...hehehehehe.


TAMBAHAN :
Sejak kecil, saya pernah mendengar istilah masyarakat Dayak yaitu;
"Mayau",atau "Bamayau" (ber-mayau/melakukan Mayau). Mayau digambarkan
sebagai "perang" yang seakan mewajibkan memotong salah satu anggota tubuh
musuh,
terutama KEPALA..!! ck..ck..ck.
Sampai sebelum pecahnya "perang" antar etnis Dayak-Madura, saya tidak pernah
mendengar, apalagi melihat Mayau tersebut, sehingga dengan berjalannya waktu
hal tersebut hampir saya lupakan. Begitu pecahnya "perang" tersebut, saya
terpaksa kembali mengingat cerita-cerita leluhur saya tentang Mayau yang
digambarkan begitu sadis, bengis, beringas...atau apapun kata-kata yang bisa
mewakili kebiadaban Mayau tersebut.

Dulu waktu saya kecil, para orang tua sering menakut-nakuti anaknya dengan
Mayau...."Awas jangan main jauh-jauh, nanti ada Mayau". Nahhh....berarti
sudah sejak dulu leluhur saya tahu bagaimana seramnya Mayau tersebut, cuma
namanya juga anak-anak, mana tau Mayau kalau belum melihat...hmmmm.

Pada awalnya pecah "perang" tersebut, selama 2 hari kota Sampit dikuasai
oleh suku Madura, yang kabarnya sambil mengancam masyarakat sekitar yang
kebetulan suku Banjar, China, Jawa, dan Bugis. Entah bagaimana kejadian
awalnya sampai suku Dayak merasa perlu untuk turun-tangan menyelesaikan aksi
tersebut dan membalas dengan aksi yang lebih kejam lagi.

tambahan mengenai Panglima Burung;
Panglima Burung adalah salah satu tokoh yang berwibawa, sakti mandraguna,
dan penyabar....namun dia akan keluar dari persembunyiannya apabila batas
kesabarannya sudah sampai titik terendah dari toleransi. Panglima Burung
digambarkan sebagai tokoh gaib karena hanya masyarakat Dayak yang tahu
bagaimana memanggil (menghadirkan)-nya. Disamping memiliki pasukan sakti,
Panglima Burung dikabarkan juga memiliki ramuan sakti berupa minyak oles
yang disebut "Minyak Bintang". Minyak Bintang dipercaya memiliki khasiat
yang dapat membuat seseorang kebal dan dapat menyembuhkan luka dalam waktu
sekejap, bahkan membangkitkan kembali pasukan yang tewas saat perang.
ramuan ini akan manjur dan bekerja apabila bintang di langit sudah
kelihatan.
Entah kebetulan atau bukan, selama "perang" tersebut, langit pulau
Kalimantan pada malam hari tampak cerah sekali. Bintang-bintang di langit
seakan bersinar terang pada tiap malam.

Terlepas dari segala macam legenda atau bahkan mitos masyarakat suku Dayak
dari mulai Panglima Burung, minyak bintang, sampai dengan Mayau, rasanya
perlakuan mereka saya rasakan sudah diluar batas-batas kewajaran. Entah
kejadian dan alasan apa yang menimbulkan habisnya kesabaran masyarakat Dayak
terhadap masyarakat Madura di Sampit, rasanya tindakan shock therapy Mayau
bukan jalan keluar yang manusiawi. Dan, rasanya tindakan balas dendam Carok
ala Madura-pun bukan jalan keluar yang bijak. Semoga kedua belah pihak dapat
belajar dari peristiwa ini, dan tidak ada lagi kejadian "sebelas kali
berjanji, sebelas kali mengingkari". Terlepas mana pihak yang salah,
"perang" selalu membawa penderitaan dan trauma yang berkepanjangan.

;> SAYA MOHON MAAF KLO DA YG TERSINNGUNG DGAN ARTIKEN NI,SEKALI LGI NI UNTUK KEDAMAIAN DI NEGRI HTA

GKJW PANTI ASUHAN { BETHESDA }

Diposting oleh gan

Panti Asuhan Bethesda Tulungagung sudah 41 tahun menyelenggarakan pelayanan terhadap para anak papa yaitu anak-anak dari keluarga di bawah garis kemiskinan dan keluarga berantakan (broken home) akibat masalah ekonomi, terkena pemutusan hubungan kerja dan masalah lain.

Panti asuhan (PA) ini satu-satunya di lingkungan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang terdiri atas 154 jemaat gereja Jawa di Jawa Timur dengan 138.000 warga. Beberapa Majelis Jemaat memprogramkan kunjungan ke PA Bethesda.

Yang berkunjung dan mengadakan kebaktian serta bakti sosial di sana dalam rangka Natal dan Tahun Baru, antara lain sejumlah warga Jemaat Sukun (Malang), Kertosono, Karangploso (Malang) dan pemuda Jemaat Mojokerto.

Setiap bulan yayasan harus menutup kebutuhan dana bagi 30 anak asuh (TK 2, SD 8, SMP 6, SMK 7, mahasiswa PT 4 di Yogya, Malang dan Tulungagung) beserta 2 pengasuhnya dan seorang pembantu rumah tangga panti. Kebutuhan setiap bulan rata-rata Rp 7 juta. Donatur tetap hanya Yayasan Dharmais, Jakarta.

Juli, Agustus dan Desember biasanya terjadi pembengkakan pengeluaran dana untuk sekolah dengan berbagai pungutan termasuk wajib beli buku pelajaran dan lembar kerja siswa (LKS). Desember juga perlu dana untuk perayaan Natal serta Tahun Baru.

World Vision International (WVI) yang bertahun-tahun menjadi penyandang dana, sejak 2003 tidak lagi mensuplai bantuan karena dana mereka dialihkan ke Indonesia bagian timur. Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais) Jakarta masih membantu sampai sekarang sejumlah Rp 1.250.000/bulan untuk bantuan pangan 25 anak @ Rp 50.000. Sesekali ada bantuan dari Departemen Sosial. Bantuan terbanyak dari para donatur yang datang tak terduga.

Sejak didirikan oleh GKJW dan diresmikan Penjabat Bupati Tulungagung, R. Soendarto, dalam rangkaian perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1967, Panti Asuhan Bethesda berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah yang lain sampai mempunyai rumah sendiri yang mulai ditempati awal 1986.

Pdt. Soedarman (almarhum, berpulang 1982 dalam usia 58 tahun) sebagai pendeta GKJW di Jemaat Tulungagung yang memprakarsai pendirian panti, terpanggil ikut memecahkan masalah sosial waktu itu berupa banyaknya anak-anak telantar akibat peristiwa G30S/PKI tahun 1965.

Gagasan Pdt. Soedarman diwujudkan pertama kali di Trenggalek (30 km sebelah barat Tulungagung) dengan membuka Panti Asuhan GKJW di sana pada 1 September 1966. Pada waktu itu kelompok warga GKJW di Trenggalek merupakan bagian dari GKJW Jemaat Tulungagung. Karena Panti Asuhan Trenggalek kurang menggembirakan perkembangannya, ada gagasan memindahkan ke Tulungagung.

Bethesda adalah tempat pemandian di Yerusalem yang mempunyai lima serambi cukup luas. (Yoh.5:2, dst.) Istilah ini bentuk Yunani dari kata Aram bet hesda berarti rumah belas kasihan. Ada yang menyebut bet ‘esyda yang berarti rumah pancuran. (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, 1992)

Dari Jalan Diponegoro Tulungagung, panti pindah ke Kampungdalem. Dari situ kemudian panti boyong ke Kelurahan Bago menempati rumah keluarga Anwar yang tinggal di Cimahi, Jawa Barat.

Kepindahan yang terakhir ini terjadi 1977 saat Panti Asuhan Bethesda nyaris dibubarkan, karena kehabisan dana. Pdt. Soedarman yang menjadi ketua pengurus panti, melalui wartawan di Tulungagung membeberkan kisah sedih ini di Harian Umum Sinar Harapan Jakarta. Sambutan pembacanya sungguh luar biasa dan di luar dugaan.

Keluarga Anwar yang muslim, menyerahkan rumahnya di Bago untuk dikontrakkan dengan tarif khusus selama 10 tahun sampai dengan 1987. Saat itu bantuan dari para dermawan seluruh tanah air, terus mengalir.

Sementara itu meskipun di Sinar Harapan ditulis lagi bahwa panti asuhan satu-satunya di kota Tulungagung ini tidak jadi gulung tikar, bantuan masih terus mengalir. Bahkan dari Irian Jaya dan juga dari dermawan muslim serta agama lain.

Ketika kehidupan anak-anak dalam panti normal, kesehatan Pdt. Soedarman justru tidak normal. Dia sering sakit sampai akhirnya dokter meminta agar pendeta yang berdedikasi tinggi ini beristirahat total karena hepatitis. Ini terjadi mulai 1979.

Sesuai anjuran Majelis Agung (Sinode) GKJW agar pelayanan social ditangani pengurus yang terpisah dari kepengurusan gereja, dibentuklah Yayasan Bethesda dengan Akta Notaris di Kediri No. 19 pada 17 Agustus 1980. Pendiri Yayasan adalah Pdt. Soedarman, M. Harjono Dwidjokoesoemo, Ny. Soegijati Soerana, Sumilan, Sumadi, Sri Sumani, Suleman Hadi, Koesdarjono, Suwoto, Suharsono, Wardhani Tjiptowardono, Moeljosoeseno, Mulyani, Pudji Krisanto, dan M. Tasahoedi.

Dari dana yang masih terus mengalir dari para dermawan, secara bertahap pembangunan asrama di atas tanah milik GKJW muali April 1982, dilaksanakan. Namun sebulan setelah meletakkan batu pertama, Pdt. Soedarman dipanggil Bapa pulang ke rumah-Nya.

Pembangunan berlanjut. Empat tahun setelah peletakan batu pertama, asrama bisa ditempati anak-anak. Pembangunan asrama berukuran 9 m x 25 m menghabiskan dana Rp. 75 juta lebih saat itu.

Anak-anak bersama Pak dan Bu Yakub saat syukuran HUT ke-41 PA Bethesda Tulungagung sekaligus reuni alumni.

Anak-anak bersama Pak dan Bu Yakub saat syukuran HUT ke-41 PA Bethesda Tulungagung sekaligus reuni alumni.

Aneka Mukjizat
Dalam menapaki sejarahnya, keluarga Panti Asuhan Bethesda merasakan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang benar-benar hidup. Tuhan yang berkarya. Tuhan yang baik kepada semua orang, juga kepada anak-anak Panti Asuhan Bethesda. Kebutuhan panti asuhan dipenuhi-Nya. Bahkan melimpah!

Sebagian limpahannya diteruskan kepada para tetangga di Kelurahan Kenayan dalam bentuk bakti sosial kesehatan dan kegiatan bersama masyarakat sekitar untuk menandai HUT Panti Asuhan Bethesda sekaligus merayakan HUT kemerdekaan RI. Aula panti juga menjadi tempat kegiatan warga RT dan RW setempat, antara lain sebagai tempat pemungutan suara saat pemilihan umum.

Lepki yang kemudian digantikan WVII dan Yayasan Dharmais adalah penyandang dana tetap panti asuhan selama bertahun-tahun. Mulai Oktober 2003, tinggal Yayasan Dharmais dan Yayasan Manna Bandung, Jawa Barat, yang mengirimkan bantuan rutin selain terkadang dari Pemerintah.

Yayasan harus berusaha menggali potensi di kalangan masyarakat, terutama di lingkungan GKJW dan gereja-gereja lain. Kebutuhan rutin sebulan tahun 2008 rata-rata Rp 7 juta, sedang bantuan rutin hanya sekitar Rp 1,5 juta.

Sebagai manusia, tentu terkadang pengurus Yayasan menampilkan wajah pesimis. Namun iman mereka cukup kuat bahwa Tuhan tidak akan berlepas tangan. “Mintalah, maka kalian akan menerima. Carilah, maka kalian akan mendapat. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan untukmu,” bunyi firman dalam Injil Matius 7:7 yang menyemangati para pengurus, pendiri yayasan, dan dewan penyantun.

Kejadian di luar logika sering terjadi di Panti Asuhan Bethesda. Tatkala pengurus membutuhkan sesuatu untuk kepentingan anak-anak sementara uang di kas tiada untuk itu, datanglah orang membawa dana sejumlah yang dibutuhkan. Langka tapi nyata!

Awal 1986 menjelang penghuni Panti Asuhan Bethesda boyong ke asrama baru yang dibangun Yayasan selama empat tahun di Kenayan, listrik PLN belum bisa menyala. Instalasi sudah terpasang, tinggal menyambung dengan kabel ke tiang listrik di tepi jalan (gang) depan asrama. Namun karena Yayasan belum menyetorkan uang Rp. 400.000 ke PLN, penyambungan tidak bisa dilakukan.

Esoknya panti ketamuan utusan panitia perayaan Natal dan Tahun Baru dari Kediri, 30 km utara Kota Tulungagung. Mereka menyerahkan bantuan yang terkumpul dari peserta perayaan. Jumlahnya? Tepat empat ratus ribu rupiah. Yang mengagumkan, uang itu dari panitia perayaan Natal dan Tahun Baru keluarga Kristiani PLN se-eks Karesidenan Kediri. Benar-benar suatu mukjizat!

Suatu saat televisi hitam-putih panti sudah sering rewel. Padahal anak-anak memerlukan hiburan seusai belajar atau pada malam Minggu dan Minggu siang. Rapat Yayasan memutuskan, dikeluarkan Rp 375.000,00 untuk membeli pesawat televisi berwarna 14 inci.

Seminggu setelah pembelian televisi, panti ketamuan para pemuda dan mahasiswa GKJW Surabaya. Mereka mengadakan kebaktian bersama anak-anak.. Terkumpul persembahan yang diserahkan kepada PA. Jumlahnya Rp. 380.000,00, lebih sedikit dari uang yang dikeluarkan Yayasan untuk pembelian pesawat televisi berwarna.

Salah satu berkat besar yang diterima panti asuhan ini adalah mengantarkan seorang anak asuhnya, Kristanto, lulus sarjana teologi strata I, Fakultas Theologia, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogya.
Saat ini Kristanto menjadi vikar (calon pendeta) di GKJW Jemaat Rungkut, Surabaya setelah enam bulan di Jemaat Pare, Kediri. Ia akan disusul Agus Supriyono, juga anak PA Bethesda, yang saat ini duduk di semeseter VIII Fakultas Theologia. UKDW.( gkjw.web.id/satu-satunya-di-gkjw-panti-asuhan-bethesda-bagi-anak-papa)

BY GAN