Facebook Badge
My Facebook
search google
About Me
Blog Archive
Pengikut
Selasa, 25 Agustus 2009
Gereja Kristen Jawi Wetan’ (GKJW) adalah persekutuan gereja-gereja berbasis etnis di Jawa Timur yang dideklarasikan pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1936 bertempat di salah satu Jemaat Kristen Jawa terkemuka saat itu, yakni Mojowarno.
Deklarasi GKJW sebagai gereja dilakukan dengan melalui pendirian suatu Majelis Agung (MA) yang merupakan upaya mempersatukan 29 raad pasamuwan alit (majelis jemaat) di seluruh Jawa Timur.
MA merupakan suatu wadah sinodial yang telah ditawarkan oleh persekutuan pekabar Injil dari Belanda, yang selama hampir 100 tahun menjadi pengampu jemaat-jemaat Kristen Jawa tersebut. Saat itu, ada dua kelompok pekabar Injil yang bekerja di antara orang Kristen di Jawa Timur, yakni Nederlandsche Zending-genootschap (NZG) dan suatu panitia pekabar bernama Java Comite.
Dalam dekrit pengurus pusat NZG ditandatangani Konsul Jenderal Th. Boetzelaer van Dubbeldam, tertanggal 15 Oktober 1931, ditawarkan pendirian suatu gereja bagi orang Jawa Timur sebagai tindakan strategis dalam pekabaran Injil di Jawa.
Bila dicermati, pendirian MA merupakan suatu siasat Nederlands Zendeling-genootschap (NZG) – yang saat itu menjadi pengampu berbagai jemaat Kristen bumiputra di Jawa Timur. Tekanan sosial politik yang muncul akibat tumbuhnya kesadaran nasionalisme Indonesia, seiring dengan mengerucutnya tekanan terhadap kristianisme di Nusantara, menghantar dibentuknya MA.
Pendirian MA sebagai wujud kesatuan sinodial, tak lepas dari usulan Dr. H. Kraemer, utusan Nederlands Hervormd Kerk (NHK) Belanda yang bekerja untuk NZG, guna mewujudkan suatu jemaat kristiani berbasis kewilayahan di Hindia Belanda sebagai sebuah gerakan kultur sekaligus politik.
Bahkan selanjutnya MA GKJW didaftarkan ke Mahkamah Hindia Belanda sebagai suatu recht-persoon (badan hukum), sehingga memiliki kewenangan mengelola aset dan bertindak sebagai organisasi yang diakui pemerintah. Tampak, pendirian MA merupakan suatu siasat kebudayaan yang berada dalam koridor dinamika politik Hindia Belanda.
Sidang Pertama Majelis Agung
Sidang perdana MA diadakan keesokan hari setelah deklarasi, bertempat di gedung gereja Jemaat Mojowarno, Sabtu 12 Desember 1931. Mewakili NZG hadir C.W. Nortier (Ketua MA), C. van Engelen, S.A. van Hoogestraten dan J. Wiegers. Wakil umat Kristen Jawa Noeroso, Sriadi, Pdt. Driyo Mestoko, Guru Injil (GI) Tartib Eprayim, Poertjojo Gadroen, Jaret Parang, Raden Poeger, Raden Wiriodarmo dan kawan-kawan.
Anggota sidang yang hadir pagi itu, sebenarnya bukan muka baru. Mereka adalah aktifis yang sejak lama berkutat dalam pergerakan Jemaat Kristen Jawa. Sejak Rencono Budiyo (berdiri 1898), Mardi Pracoyo (1912), Perserikatan Kaum Kristen (1918), hingga Panitia Pitoyo (1924) yang mempelopori pemandirian Jemaat Mojowarno, mereka sibuk mendorong pemandirian GKJW.
Sebelum sidang dibuka, seorang mantri guru dari Mojowarno, Soetikno, menyerahkan sebuah palu kayu jati buatannya sendiri. Palu itu ber- candra sengkala “manjalmaning resi wadaning Kristus” yang ditranslasi ke dalam angka akan berbunyi 1931, tahun persidangan. Sejak saat itu menjadi tradisi GKJW, palu bikinan Soetikno hanya dipakai pada sidang MA saja.
Sebagai tema sidang diambil Pilipi 4:4-9, dengan penekanan pada ayat 6 yang berbunyi, Janganlah kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
Persidangan dipimpin Ketua MA pertama, yakni Dr. C.W. Nortier.
Sekretaris pertama MA daur dipilih melalui pemungutan suara. Calon terpilih adalah Raden Poeger (10 suara), melewati Moeljodihardjo (9 suara) dan Kentjono (5 suara). Pemilihan dilanjutkan dengan Bendahara MA, di mana terpilih seorang mantri guru, Poertjojo Gadroen (12 suara).
Dualisme Kepemimpinan Gereja
Semasa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945), timbul perpecahan di dalam tubuh GKJW yang disebabkan oleh proses politik dari praktek kolonial Jepang. GKJW mendapat sorotan saat itu karena dipandang sebagai kelompok orang Jawa dengan afiliasi ke Belanda.
Sejumlah jemaat Kristen Jawa mengalami kesulitan untuk beribadah dan setelah penyiksaan terhadap sejumlah orang Tionghoa dan Kristen di Keresidenan Besuki, muncul desakan dari sejumlah tokoh Kristen Jawa untuk mencari perlindungan kepada Pemerintah Jajahan Jepang di Indonesia.
Pada tahun 1943 berdiri Raad Pasamuwan Kristen (RPK) di Jawa Timur untuk memenuhi maksud tersebut. Terjadi dualisme, karena baik RPK maupun MA GKJW sama-sama memiliki pengikut di sejumlah jemaat Kristen Jawa Timur.
Dualisme ini tidak berkepanjangan, karena tokoh-tokoh Kristen Jawa banyak ditangkap menjelang akhir Perang Dunia ke II, antara lain: Pdt. Driyo Mestoko, Pdt. Tasdik, DR. B.M. Schuurman, Yeruboham Mattheus dan lain-lain. Akibatnya baik RPK maupun MA GKJW sama-sama berada dalam keadaan vakum hingga Jepang akhirnya menyerah 14 Agustus 1945.
Melalui Persidangan MA GKJW di Jemaat Mojowarno, tanggal 4-6 Agustus 1946 dilakukan rekonsiliasi untuk mempertemukan kedua kubu yang pernah sama-sama memimpin umat Kristen Jawa Timur. Rekonsiliasi tadi ditandai sebuah ibadah perjamuan kudus pada tanggal 5 Agustus yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pembangunan (atau lebih tepat Kebangunan) GKJW.
GKJW Masa Kini
Kenyataan sosial, politik, ekonomi dan budaya pada zaman ini sudah berbeda sama sekali dari kenyataan yang melingkupi pendirian MA sekitar tiga perempat abad silam. Hindia Belanda telah tiada, Indonesia kini berdaulat sebagai sebuah negara-bangsa.
Identitas nasional telah menggantikan kolonialisme. Konstelasi geopolitik telah bergeser. Ekonomi liberal pra-Perang Dunia II telah berganti dengan kapitalisasi neo-liberal yang bersifat global dan lintas ruang. Indonesia dan tentu saja Jawa Timur, sudah banyak berubah.
Saat ini GKJW memiliki anggota sekitar 23.000 jiwa yang terbagi dalam 136 jemaat di sepenjuru Jawa Timur. Sejumlah jemaat tersebut dikoordinasikan melalui Majelis Daerah (setara dengan klasis dalam sistem sinodial) dan berada di bawah MA GKJW sebagai pucuk pimpinan gereja.
Meski tidak secara formal diakui sebagai suatu sistem hirarkis, susunan organisasi GKJW lebih suka dipandang sebagai sistem koordinasi.
Pengakuan Iman
Greja Kristen Jawi Wetan percaya kepada Tuhan Allah yang menyatakan diri sebagai Allah Trinitas yaitu Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.
Greja Kristen Jawi Wetan percaya bahwa Firman Tuhan Allah termuat di dalam Alkitab yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan bahwa Alkitab adalah Kesaksian tentang karya Tuhan Allah.
Greja Kristen Jawi Wetan menerima rumusan Pengakuan Iman Rasuli sebagai salah satu dari ungkapan kepercayaannya.
GKJW juga masih menggunakan Sahadat Kalih Welas dalam Kebaktian Minggu/Umum bila Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pengantar. Sahadat Kalih Welas adalah Pengakuan Iman Rasuli dalam Bahasa Jawa.v
by gan
” GKJW adalah gereja moderat, gereja yang mengatasi semua golongan dan pemahaman”, begitu kira-kira pernyataan salah satu pendeta yang saya ingat sampai sekarang.
Se-moderat apa? Saya juga kurang tahu, saya bukan pendeta, saya warga biasa. Namun sebagus kesan moderat ini memang tidak salah kalau GKJW masuk dalam WCC (World Council of Church).
Bahkan ada pendeta berani mengatakan, “GKJW bisa dibilang salah satu penggagasnya!”
Sebagian warga mungkin juga sudah tahu beberapa lembaga pengabdian masyarakat yang eksis seperti YBPK, Yayasan Kesehatan GKJW, atau dengan peranannya dalam komunikasi lintas agama (dialog Islam-Kristen). Artinya kehadiran GKJW dalam prinsip moderatnya cukup mempunyai bukti.
Akan tetapi prinsip moderat ini apakah sudah sampai di hati warga atau belum, itu yang seharusnya kita tanyakan. Jika saya bertanya ke sebagian pemuda, ternyata cara pandang mereka berbeda-beda. Rata-rata mengaku bentuk GKJW masih dalam bentuk konservatifnya. Kemungkinan pandangan ini seputar keinginan untuk melakukan dobrakan terhadap kekinian jaman/ budaya.
Padahal sebagian warga (khususnya yang tua) mengaku gereja ini eksis karena tidak melupakan sejarah. Sejarah GKJW tidak lepas dari konteks budaya Jawa dan penginjilan. Hal ini yang membangun kekuatan dari dalam. Maka tidaklah heran beberapa pemuda juga mengakui jika kekeluargaan warga GKJW terasa begitu erat. Ya jelas erat, bahkan beberapa jemaat (seperti jemaat Malang) mengaku satu gereja bisa jadi ada hubungan keluarga! Makanya saya ragu, apabila titik pemersatu (budaya Jawa) ini harus tergantikan, apa lagi yang bisa merekatkan.
Fanatik budaya Jawa bukan berarti menolak kesukuan lain ikut dalam kegiatan bergereja di GKJW, kan? Bukan fanatisme sempit, itu yang harus dikembangkan di GKJW.
Jika berbicara tentang fanatisme doktrin, GKJW dengan (prinsip) Lutheran-Calvinnya sering membuat saya dan beberapa teman pemuda bingung! Bahkan ada teman saya dari Malang dengan gamblang mengungkapkan demikian :
” GKJW konservatif dalam bentuk, tapi kurang jelas dalam doktrin dan pengajaran!”
Dalam aplikasinya, bahkan saya sendiripun melihat gereja Lutheran-Calvin ini malahan cenderung pada paham Arminian-nya. Dengan dalih berpihak pada kekuatan moderat yang mengatasi semua golongan.
Contoh kecil, waktu saya masih di Malang, saya dapati dalam Pendalaman Alkitab tentang Saksi Jehovah. Akhir sesi tanya jawab, ada warga meminta pak pendeta saat itu agar memberikan sikap agar warganya juga mampu bersikap. Alih-alih memberikan sikap, keputusan diserahkan kembali ke warga. Tentunya tidak berakhir dengan himbauan-saran, padahal tidak semua warga mampu bersikap yang benar (terkait latar belakang pendidikan dsb.).
Artinya GKJW takut dengan ke-fanatikan. GKJW yang takut menerapkan doktrin Lutheran-Calvin malah ikut dalam kekebasan Arminian-nya. GKJW yang ingin moderat malah menuju ke kebebasan individu/ liberalisme.
Apakah mungkin ini terjadi karena alih generasi pendeta alumnus IPTH Balewiyata ke alumnus yang lain? Antara pendeta generasi X dengan generasi Y yang seharusnya mampu mengkaji ini. Jika warga mau mencermati, tentunya paham dengan pernyataan saya.
Sebagai contoh: ada sebuah pernikahan, saya kembali diingatkan apa fanatik itu. Salah satu keluarganya , seorang ibu beragama Islam, dengan memakai kerudung tetap ikut dalam ibadah pemberkatan, bahkan di dalam ruang bukan diluar seperti tamu yang lain. Salut untuk ibu tadi!
Fanatik bukan berati radikal. Fanatik itu percaya terhadap yang diyakini tanpa harus merendahkan golongan lain.
(NB: Mohon bukan cuma warga yang menanggapi, tapi pentingnya kejelasan dari Bopo-bopo pandhito juga)
by gan
Senin, 24 Agustus 2009
Dengan memahami latar belakang sejarah Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) diharapkan kita sebagai bagian dari persekutuan GKJW dapat menjalankan peranserta kita masing-masing jemaat kita dengan lebih baik. Setidaknya pemahaman terhadap latar belakang itu akan membantu kita dalam mengikuti dinamika kegerejaan yang terjadi di GKJW. Karena bagaimanapun tidak bisa diingkari bahwa keberadaan gereja satu dengan lainnya senantiasa memiliki perbedaan, baik prinsipiel maupun yang tidak prinsipiel. Memiliki pemahaman tentang latar belakang gereja akan menyebabkan seseorang tidak mudah digoncangkan oleh keinginan pindah dari gereja satu ke gereja lainnya.
1. Mengenal latar belakang sejarah GKJW
Keberadaan GKJW tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dua tokohnya, yaitu Johanes Emde dan C.L.Coolen. Kedua tokoh ini tidak memiliki latar belakang khusus teologi. Jadi keduanya adalah orang kristen awam yang tergerak untuk memberitakan injil Kristus kepada orang-orang yang dijumpainya. Disamping itu kedua orang ini sepertinya mewakili dua corak pandangan teologis tentang iman kristen. Tokoh yang satu begitu besar perhatiannya pada masalah-masalah budaya setempat, sedangkan satunya amat menentang budaya atau tradisi setempat. Sehingga pada akhirnya kedua corak teologi yang ditebarkan oleh kedua orang tersebut sedikit banyak mewarnai teologi GKJW. Tokoh yang satu mengatakan bahwa menjadi orang kristen berarti melepas sarung atau kain kebaya, dalam arti harus mengikuti pola budaya barat (Belanda), sedangkan tokoh lainnya mengatakan bahwa menjadi kristen tidak perlu melepaskan tradisi dan budaya yang selama ini mewarnai kehidupannya. Jadi setelah dibaptis tetap boleh memakai sarung, kain kebaya, nonton wayang, dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah perubahan dalam hal menjalani dan menghayati moralitas baru yang bersumber dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Sehingga iman bukan hanya persoalan kulit, melainkan persoalan pergumulan dan perubahan hati yang amat mendasar.
Dalam dinamika perkembangan GKJW, dua corak pemberitaan Injil itulah GKJW mengalami pertumbuhannya, terutama dengan munculnya tokoh-tokoh baru. Sehingga di daerah atau jemaat tertentu warga dan kiprah jemaat memiliki perbedaan dengan warga atau kiprah jemaat lainnya. Misalnya: bolehkah rumah ibadah dipakai untuk tempat rapat? Apakah diperkenankan rumah ibadah dipakai untuk tempat makan? Hal yang barangkali lebih prinsipial adalah, di tempat tertentu merupakan suatu kebiasaan kalau ada ibadah ucapan syukur 7 hari atau 40 hari atau bahkan seribu hari setelah kematian anggota keluarga. Sementara itu di jemaat lain kebiasaan seperti itu sudah benar-benar tabu.
Yang tak kalah menarik adalah kenyataan bahwa dengan adanya dua corak diatas maka ada jemaat yang amat cepat tanggap terhadap perkembangan jaman, tetapi ada juga yang teramat lambat menyikapi perubahan masyarakat. Akibat yang dapat kita lihat sampai saat ini adalah perbedaan dinamika bergereja jemaat satu dengan jemaat lainnya. Jemaat-jemaat tertentu sudah bisa mengantisipasi program kegiatan untuk sepuluh atau lima belas tahun yang akan datang, sementara jemaat-jemaat tertentu lainnya masih berkutat ke orientasi masa silam. Dengan demikian menjadi semakin tidak mudah untuk memahami GKJW karena keberadaannya yang amat variatif tersebut. Dalam kenyataan memang dengan kondisi seperti itulah GKJW mengalami perkembangan dan pertumbuhannya.
2. Mengenal beberapa ciri khas GKJW
a. GKJW sebagai gereja teritorial
GKJW telah menetapkan bahwa keberadaannya hanya dibatasi di Jawa Timur. Sehingga kita tidak menjumpai adanya GKJW di luar Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan isi Tata dan Pranata GKJW. Untuk jelasnya dikutipkan bunyi ketentuan itu, “Greja Kristen Jawi Wetan adalah bagian dari Gereja yang Esa, yang dilahirkan, ditumbuhkan dan dipelihara oleh Tuhan Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus di Jawa Timur” (hal. 2). Ini berarti sekalipun ada banyak (ratusan atau bahkan ribuan) warga GKJW berpindah tempat tinggal ke luar Jawa Timur, misalnya ke Pulau Sulawesi, maka mereka akan menjadi anggota gereja di tempat di mana mereka tinggal.
GKJW tidak akan membuat cabang atau perwakilan ditempat itu. Mengapa demikian? Setidaknya ada dua jawaban yamg bisa disampaikan. Pertama, kalau warga tersebar di tempat yang relatif amat jauh secara geografis maka secara teknis akan sulit mengaturnya. Kedua GKJW ingin menghormati keberadaan gereja di tempat lain.
b. GKJW sebagai Gereja Gerakan Warga
Sejak awal pertumbuhannya peranan kaum awam di GKJW sangat besar. Tokoh-tokoh yang menonjol dalam pertumbuhan GKJW bukanlah para teolog atau para pendeta atau Guru Injil yang telah dipersiapkan dengan bekal pemahaman teologi yang cukup, melainkan mereka adalah orang awam yang setia kepada perintah Injil. Melalui cara hidup dan pergaulan mereka dengan banyak orang-lah injil dikomunikasikan. Bandingkan dengan isi Injil Matius 5 (panggilan agar orang-orang percaya dapat menjadi garam dan terang dunia). Ayat ini rupanya amat dihayati dan sekaligus menjadi jiwa dari kehidupan warga jemaat sehingga melalui cara hidup mereka injil dapat diberitakan.
Keadaan seperti di atas berjalan sampai dengan saat ini. Dan salah satu kegiatan yang amat menunjang terpupuknya kondisi GKJW sebagai gereja gerakan warga adalah adanya ibadat patuwen (ibadat keluarga/ ibadat rumah tangga). Dalam Ibadah Rumah Tangga (IRT) ini warga satu dengan warga lainnya merasa saling mendapat perhatian dan penguatan. Adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi warga jemaat kalau rumah tempat tinggalnya dipakai untuk tempat IRT. Sehingga seringkali melalui IRT itu warga jemaat menyampaikan persembahan ucapan syukurnya. Dalam kenyataannya memang IRT ini amat mendukung kekentalan ikatan persaudaraan bahkan kekeluargaan di antara warga jemaat. Kegiatan ini ternyata memang menjadi sarana yang baik untuk semakin terpeliharanya iman dan kehidupan warga jemaat. Sehingga kalau ada warga jemaat yang tidak pernah datang ke ibadah patuwen, jelas hanya ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena kesibukan kerja, tentang hal ini dapat dimaklumi. Kedua, warga jemaat yang memang tidak memperhatikan kehidupan imannya, dalam arti hidupnya tidak bisa menjadi garam dan terang dunia.
Anggota majelis jemaat dan juga warga jemaat di wilayah atau kelompok biasanya mempunyai program untuk menarik dan mengajak warga jemaat yang meremehkan IRT agar mau kembali mengentalkan ikatan persaudaraan dan kekeluargaan dengan warga jemaat lainnya. Diharapkan dengan kehadiran dan keterlibatan di IRT atau kegiatan lainnya, maka sedikit demi sedikit cara hidupnya ikut diperbaharui pula.
c. Lima bidang pelayanan di GKJW
Disamping trilogi gereja, yaitu persekutuan (=koinonia), kesaksian (= marturia) dan pelayanan cinta kasih (=diakonia), GKJW melengkapi diri dengan bidang teologi dan penatalayanan. Secara singkat kita perhatikan 5 bidang pelayanan tersebut:
1) Bidang Teologi
Bidang ini menangani hal-hal dan kegiatan yang berhubungan dengan pergumulan firman Tuhan dan pembinaan iman warga jemaat. Contoh kegiatan pelayanannya, misalnya menyiapkan bahan untuk Pemahaman Alkitab, pembinaan iman warga dengan berbagai model kegiatan (a.l. ceramah, retret, sarasehan, katekisasi). Secara ideal sebenarnya bidang teologi selalu melandasi setiap kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh jemaat.
2) Bidang Persekutuan
Bidang ini bertugas menangani, melayani dan mengembangkan kegiatan untuk mengentalkan semangat kebersamaan/ persekutuan, mulai dari anak sampai dengan usia lanjut. Sesuai dengan kategori pelayanannya maka bidang pelayanan ini bertujuan agar setiap warga bisa mengambil peranan demi terwujudnya persekutuan dengan Tuhan dan sesamanya dengan sebaik-baiknya. Disamping itu dengan adanya bidang pelayanan ini diharapkan setiap jemaat- secara kategorial- terwadahi kebutuhannya untuk bersekutu.
3) Bidang Kesaksian
Bidang ini bertugas mengadakan pembinaan bagi warga jemaat agar mampu menyatakan jatidirinya sebagai orang percaya terutama ditengah kehidupannya bersama dengan orang-orang lain. Diharapkan melalui cara hidup yang baik dan benar kehadirannya di masyarakat dapat menjadi saksi akan kasih Tuhan Yesus. Pada hakekatnya semua orang percaya terpanggil untuk bisa menjadi saksi Kristus didalam hidupnya.
4) Bidang Pelayanan Cinta Kasih
Kegiatan di bidang ini secara khusus menangani pelayanan untuk mewujudkan cinta kasih Tuhan Allah kepada dunia dan segala isinya agar terwujud kesejahteraan lahir batin. Hal utama dalam pelayanan ini adalah upaya gereja/ orang-orang percaya untuk turut serta bekerja bersama dengan Tuhan agar bumi ini benar-benar disuasanai oleh kasih, sukacita, keadilan, kebenaran dan damai sejahtera bagi seluruh dunia. Dengan demikian kegiatan pada bidang ini bukan hanya memberi sembako atau pengobatan gratis untuk yang kekurangan, namun juga termasuk kedisiplinan kita untuk turut serta menjaga memelihara keutuhan ciptaan. Misalnya: tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan kekerasan kepada sesama, mau berhemat menggunakan sumber-sumber alam, membela hak mereka yang tertindas. [Memang agak disayangkan bahwa sampai dengan saat ini bentuk pelayanan kita di bidang ini masih amat tradisional/ karitatif: yaitu memberi sesuatu yang dalam waktu cepat habis. Semoga ke depan kita semakin mampu menyiapkan program yang memberdayakan dan berkelanjutan. Sudah sejak tahun 1980-an banyak gereja sudah melakukan secara serius pelayanan bidang ini dengan apa yang disepakati bersama, yakni JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation= Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan)].
5) Bidang Penatalayanan
Bidang ini menangani pembinaan dalam hal a.l.: sumber daya manusia, harta milik gereja, juga bagaimana meningkatkan daya, dana dan sarana bagi perkembangan dan pertumbuhan gereja. Contoh sederhana, misalnya bagaimana talenta dan potensi warga jemaat bisa benar-benar diberdayakan untuk memenuhi panggilan Tuhan agar keberadaan gereja benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Ini salah satu tugas dari bidang ini.
Dalam menjalankan kiprah bergerejanya maka GKJW senantiasa berpatokan pada lima bidang tersebut. Dengan cara atau pola kegiatan semacam itu maka gerak seluruh GKJW dapat menuju ke arah yang sama.
d. Mekanisme pembuatan program kegiatan.
Langkah pertama adalah mengikuti ketentuan dari Majelis Jemaat tentang “Arah dan tujuan” yang akan dilakukan pada tahun (beberapa tahun) yang akan datang. Dalam rangka menentukan “Arah dan tujuan” kegiatan yang akan datang Majelis Jemaat mempergunakan hasil rembug warga sebagai salah satu acuannya. Setelah ditemukan “Arah dan tujuan” tersebut, kemudian PHMJ/MJ bersama dengan Komperlitbang mengadakan pertemuan koordinatif dengan komisi-komisi. Isi pertemuan itu adalah untuk menjelaskan tentang apa yang akan dilakukan dan diharapkan oleh Majelis Jemaat (setelah menampung hasil rembug warga). Semua konsep kegiatan tahun yang akan datang yang telah diselesaikan oleh komisi kemudian digodog oleh PHMJ bekerjasama dengan komperlitbang. Hasil dari penggodogan ini lalu dibawa ke persidangan Majelis Jemaat untuk didalami sekali lagi, baru kemudian disahkan.
e. Struktur Pelayanan di GKJW
Istilah “struktur” di GKJW memang tidak begitu populer, karena istilah itu dipandang dari sudut gerejawi mengandung kelemahan, yaitu mengandaikan adanya susunan hirarkhis (adanya unsur atasan dan bawahan). Oleh karena itu kata struktur dalam subjudul di atas ditulis dengan tanda kutip, dengan maksud menunjuk pada semacam tata kerja roda organisasi GKJW dijalankan. Dalam hal “struktur” pelayanannya, GKJW menampakkan diri dalam bentuk persekutuan-persekutuan. Ada tiga macam persekutuan yang terdapat di GKJW, yaitu:
1) Persekutuan se-Tempat
Persekutuan ini juga disebut sebagai Jemaat (persekutuan yang dewasa dari warga di suatu tempat yang mampu memenuhi panggilan dan melaksanakan kegiatan pelayanan), misalnya: Jemaat Sitiarjo, Jemaat Ngawi. Pada tingkat persekutuan ini penanggung jawab semua kegiatan pelayanan adalah Majelis Jemaat. Majelis Jemaat biasanya memilih beberapa orang untuk duduk dalam Pelayan Harian Majelis Jemaat (PHMJ). PHMJ inilah yang menjadi pelaksana harian dari tugas kemajelisan. Jabatan di PHMJ adalah sama dengan jabatan pada majelis Jemaat. Contohnya, Ketua Majelis Jemaat adalah juga ketua PHMJ, demikian pula jabatan lainnya.
Untuk mempertajam pelaksanaan program dan memberdayakan warga jemaat, maka Majelis Jemaat dalam melaksanakan lima bidang pelayanan dibantu oleh komisi-komisi pembinaan atau kepanitiaan untuk suatu kegiatan tertentu.
Dalam buku Tata dan Pranata GKJW disebutkan bahwa majelis jemaat sedikitnya sekali dalam tiga bulan mengadakan Sidang Majelis. Sedangkan Pelayan Harian Majelis Jemaat sedikitnya sekali dalam dua minggu mengadakan rapat. Tentunya ketentuan ini semata-mata ditujukan agar pelayanan yang dilakukan benar-benar dapat semakin mendekati apa yang dikehendaki oleh Tuhan yang memiliki Gereja. Keputusan Sidang Majelis Jemaat adalah merupakan keputusan tertinggi di tingkat jemaat. Jadi apa yang telah diputuskan oleh Sidang Majelis Jemaat tidak dapat dibatalkan oleh rapat PHMJ. Pembatalan hanya bisa dilakukan oleh Sidang Majelis Jemaat.
2) Persekutuan se Daerah
Persekutuan ini adalah persekutuan warga GKJW di dalam suatu daerah, yang terdiri dari beberapa jemaat. Penataan pelayanan pada persekutuan se-Daerah ini diatur oleh Majelis Daerah, contohnya: Majelis Daerah Malang 1, Majelis Daerah Besuki Timur. Dalam pelaksanaan kegiatan sehari-harinya Majelis Daerah melimpahkan kepada Pelayan Harian Majelis Daerah. Mengapa demikian? Karena Majelis Daerah dalam setahun hanya bersidang sebanyak 2 (dua) kali. Sedangkan Pelayan Harian Majelis Daerah sedikitnya mengadakan rapat sekali dalam dua bulan. Dalam prakteknya bisa sekali sebulan, bahkan lebih mengingat tingkat kegiatan yang semakin padat. Sidang Majelis Daerah merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan tertinggi untuk lingkup daerah.
Sebagaimana di lingkup Jemaat, maka di lingkup Majelis Daerah ini pun Pelayan Harian Majelis Daerah dibantu oleh Komisi-komisi Pembinaan Daerah untuk merealisasikan ke-lima bidang pelayanannya. Saat ini di GKJW terdapat 12 Majelis Daerah, yaitu meliputi: Surabaya Timur I, Surabaya Timur II, Surabaya Barat, Malang I, Malang II, Malang III, Malang IV, Kediri Utara, Kediri Selatan, Besuki Barat, Besuki Timur, Madiun.
3) Persekutuan se Jawa Timur
Persekutuan ini adalah persekutuan warga GKJW di seluruh Jawa Timur. Inilah yang disebut dengan GKJW, yang meliputi jemaat-jemaat se Jawa Timur. Penanggung jawab penataan dan pelayanan GKJW adalah Majelis Agung GKJW. Dalam kegiatan sehari-harinya dijalankan oleh Pelayan Harian Majelis Agung. Sedangkan pelaksanaan program untuk kelima bidang pelayanannya dilakukan oleh Dewan-dewan Pembinaan. Sama dengan di jemaat, jabatan di Majelis Agung adalah sama dengan jabatan di Pelayan Harian Majelis Agung.
Pada lingkup persekutuan inilah GKJW juga menjalin kerjasama secara oikumenis dengan berbagai gereja baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bahkan sudah sejak lama GKJW mengembangkan pergaulannya secara lebih programatis dengan lembaga keagamaan lain.
Struktur di atas tidak bersifat hirakhis (Majelis Agung tidak lebih tinggi daripada Majelis Daerah atau Majelis Jemaat, dan sebaliknya), melainkan satu sama lain berhubungan sebagai persekutuan yang menyatu dalam semangat “Patunggilan kang Nyawiji” yaitu Greja Kristen Jawi Wetan.
Catatan:
Disamping 3 macam persekutuan di atas, di beberapa tempat diperlukan bentuk persekutuan lain. Misalnya: di kota Malang ada PHMJ Kota Malang yang merupakan wadah dan wahana percakapan antara jemaat-jemaat GKJW yang ada di kota Malang. Demikian pula di kabupaten Sidoarjo, dibentuk Paguyuban GKJW se Sidoarjo. Masing-masing dibentuk berdasarkan kebutuhan jemaat untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang sama di masing-masing kota.
by gan