Gereja Kristen Jawi Wetan’ (GKJW) adalah persekutuan gereja-gereja berbasis etnis di Jawa Timur yang dideklarasikan pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1936 bertempat di salah satu Jemaat Kristen Jawa terkemuka saat itu, yakni Mojowarno.
Deklarasi GKJW sebagai gereja dilakukan dengan melalui pendirian suatu Majelis Agung (MA) yang merupakan upaya mempersatukan 29 raad pasamuwan alit (majelis jemaat) di seluruh Jawa Timur.
MA merupakan suatu wadah sinodial yang telah ditawarkan oleh persekutuan pekabar Injil dari Belanda, yang selama hampir 100 tahun menjadi pengampu jemaat-jemaat Kristen Jawa tersebut. Saat itu, ada dua kelompok pekabar Injil yang bekerja di antara orang Kristen di Jawa Timur, yakni Nederlandsche Zending-genootschap (NZG) dan suatu panitia pekabar bernama Java Comite.
Dalam dekrit pengurus pusat NZG ditandatangani Konsul Jenderal Th. Boetzelaer van Dubbeldam, tertanggal 15 Oktober 1931, ditawarkan pendirian suatu gereja bagi orang Jawa Timur sebagai tindakan strategis dalam pekabaran Injil di Jawa.
Bila dicermati, pendirian MA merupakan suatu siasat Nederlands Zendeling-genootschap (NZG) – yang saat itu menjadi pengampu berbagai jemaat Kristen bumiputra di Jawa Timur. Tekanan sosial politik yang muncul akibat tumbuhnya kesadaran nasionalisme Indonesia, seiring dengan mengerucutnya tekanan terhadap kristianisme di Nusantara, menghantar dibentuknya MA.
Pendirian MA sebagai wujud kesatuan sinodial, tak lepas dari usulan Dr. H. Kraemer, utusan Nederlands Hervormd Kerk (NHK) Belanda yang bekerja untuk NZG, guna mewujudkan suatu jemaat kristiani berbasis kewilayahan di Hindia Belanda sebagai sebuah gerakan kultur sekaligus politik.
Bahkan selanjutnya MA GKJW didaftarkan ke Mahkamah Hindia Belanda sebagai suatu recht-persoon (badan hukum), sehingga memiliki kewenangan mengelola aset dan bertindak sebagai organisasi yang diakui pemerintah. Tampak, pendirian MA merupakan suatu siasat kebudayaan yang berada dalam koridor dinamika politik Hindia Belanda.
Sidang Pertama Majelis Agung
Sidang perdana MA diadakan keesokan hari setelah deklarasi, bertempat di gedung gereja Jemaat Mojowarno, Sabtu 12 Desember 1931. Mewakili NZG hadir C.W. Nortier (Ketua MA), C. van Engelen, S.A. van Hoogestraten dan J. Wiegers. Wakil umat Kristen Jawa Noeroso, Sriadi, Pdt. Driyo Mestoko, Guru Injil (GI) Tartib Eprayim, Poertjojo Gadroen, Jaret Parang, Raden Poeger, Raden Wiriodarmo dan kawan-kawan.
Anggota sidang yang hadir pagi itu, sebenarnya bukan muka baru. Mereka adalah aktifis yang sejak lama berkutat dalam pergerakan Jemaat Kristen Jawa. Sejak Rencono Budiyo (berdiri 1898), Mardi Pracoyo (1912), Perserikatan Kaum Kristen (1918), hingga Panitia Pitoyo (1924) yang mempelopori pemandirian Jemaat Mojowarno, mereka sibuk mendorong pemandirian GKJW.
Sebelum sidang dibuka, seorang mantri guru dari Mojowarno, Soetikno, menyerahkan sebuah palu kayu jati buatannya sendiri. Palu itu ber- candra sengkala “manjalmaning resi wadaning Kristus” yang ditranslasi ke dalam angka akan berbunyi 1931, tahun persidangan. Sejak saat itu menjadi tradisi GKJW, palu bikinan Soetikno hanya dipakai pada sidang MA saja.
Sebagai tema sidang diambil Pilipi 4:4-9, dengan penekanan pada ayat 6 yang berbunyi, Janganlah kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
Persidangan dipimpin Ketua MA pertama, yakni Dr. C.W. Nortier.
Sekretaris pertama MA daur dipilih melalui pemungutan suara. Calon terpilih adalah Raden Poeger (10 suara), melewati Moeljodihardjo (9 suara) dan Kentjono (5 suara). Pemilihan dilanjutkan dengan Bendahara MA, di mana terpilih seorang mantri guru, Poertjojo Gadroen (12 suara).
Dualisme Kepemimpinan Gereja
Semasa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945), timbul perpecahan di dalam tubuh GKJW yang disebabkan oleh proses politik dari praktek kolonial Jepang. GKJW mendapat sorotan saat itu karena dipandang sebagai kelompok orang Jawa dengan afiliasi ke Belanda.
Sejumlah jemaat Kristen Jawa mengalami kesulitan untuk beribadah dan setelah penyiksaan terhadap sejumlah orang Tionghoa dan Kristen di Keresidenan Besuki, muncul desakan dari sejumlah tokoh Kristen Jawa untuk mencari perlindungan kepada Pemerintah Jajahan Jepang di Indonesia.
Pada tahun 1943 berdiri Raad Pasamuwan Kristen (RPK) di Jawa Timur untuk memenuhi maksud tersebut. Terjadi dualisme, karena baik RPK maupun MA GKJW sama-sama memiliki pengikut di sejumlah jemaat Kristen Jawa Timur.
Dualisme ini tidak berkepanjangan, karena tokoh-tokoh Kristen Jawa banyak ditangkap menjelang akhir Perang Dunia ke II, antara lain: Pdt. Driyo Mestoko, Pdt. Tasdik, DR. B.M. Schuurman, Yeruboham Mattheus dan lain-lain. Akibatnya baik RPK maupun MA GKJW sama-sama berada dalam keadaan vakum hingga Jepang akhirnya menyerah 14 Agustus 1945.
Melalui Persidangan MA GKJW di Jemaat Mojowarno, tanggal 4-6 Agustus 1946 dilakukan rekonsiliasi untuk mempertemukan kedua kubu yang pernah sama-sama memimpin umat Kristen Jawa Timur. Rekonsiliasi tadi ditandai sebuah ibadah perjamuan kudus pada tanggal 5 Agustus yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pembangunan (atau lebih tepat Kebangunan) GKJW.
GKJW Masa Kini
Kenyataan sosial, politik, ekonomi dan budaya pada zaman ini sudah berbeda sama sekali dari kenyataan yang melingkupi pendirian MA sekitar tiga perempat abad silam. Hindia Belanda telah tiada, Indonesia kini berdaulat sebagai sebuah negara-bangsa.
Identitas nasional telah menggantikan kolonialisme. Konstelasi geopolitik telah bergeser. Ekonomi liberal pra-Perang Dunia II telah berganti dengan kapitalisasi neo-liberal yang bersifat global dan lintas ruang. Indonesia dan tentu saja Jawa Timur, sudah banyak berubah.
Saat ini GKJW memiliki anggota sekitar 23.000 jiwa yang terbagi dalam 136 jemaat di sepenjuru Jawa Timur. Sejumlah jemaat tersebut dikoordinasikan melalui Majelis Daerah (setara dengan klasis dalam sistem sinodial) dan berada di bawah MA GKJW sebagai pucuk pimpinan gereja.
Meski tidak secara formal diakui sebagai suatu sistem hirarkis, susunan organisasi GKJW lebih suka dipandang sebagai sistem koordinasi.
Pengakuan Iman
Greja Kristen Jawi Wetan percaya kepada Tuhan Allah yang menyatakan diri sebagai Allah Trinitas yaitu Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.
Greja Kristen Jawi Wetan percaya bahwa Firman Tuhan Allah termuat di dalam Alkitab yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan bahwa Alkitab adalah Kesaksian tentang karya Tuhan Allah.
Greja Kristen Jawi Wetan menerima rumusan Pengakuan Iman Rasuli sebagai salah satu dari ungkapan kepercayaannya.
GKJW juga masih menggunakan Sahadat Kalih Welas dalam Kebaktian Minggu/Umum bila Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pengantar. Sahadat Kalih Welas adalah Pengakuan Iman Rasuli dalam Bahasa Jawa.v
by gan
0 komentar:
Posting Komentar