gan

Senin, 28 Desember 2009

ACEH DAN GEREJA bag.3

Diposting oleh gan

Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh Berawal dari Gereja Tentara Kolonioal

87 KHAS.jpg

KITA tentu belum melupakan kejadian menyedihkan empat tahun lalu (2004). Satu hari setelah Natal, di ujung barat Indonesia terjadi bencana tsunami yang tidak hanya meluluhlantakkan kawasan yang sangat luas, namun juga menewaskan ratusan ribu orang.

Gelombang tsunami menerjang daratan hingga meluluhlantakkan hampir semua bangunan di radius 2 kilo meter dekat pantai. Ya, itulah “Minggu hitam”, tepatnya 26 Desember 2004 silam bencana tsunami melanda Aceh dan sekitarnya. Gelombang akibat muntahan retakan perut bumi itu telah menenggelamkan ratusan ribu orang. Anak kecil, orang tua, kaya dan miskin, perempuan atau laki-laki – tak pandang bulu, semua disapu oleh gelombang ganas tsunami.

Namun di balik itu ada satu hal yang menarik dari sekian banyak cerita “ajaib”, yakni ada satu bangunan tua tempat umat Katolik beribadah yang selamat dari terjangan derasnya gelombang tsunami itu. Padahal rumah ibadah itu letaknya hanya sekitar 10 meter dari Sungai Krueng Aceh , sungai yang membelah Kota Banda Aceh dan membawa air ke darat pada saat gelombang tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Bangunan itu adalah, Gereja Katolik Hati Kudus di Banda Aceh.

Gereja yang dibangun sekitar tahun 1926 ini mungkin boleh dibilang bangunan tua, tapi daya tahannya lebih mantap dari bangunan yang didirikan setelahnya. Sedikit mengingat kejadian 4 tahun yang lalu itu – padahal berita di berbagai media menyatakan, beberapa waktu sebelumnya gempa sudah lebih dulu menghancurkan banyak rumah dan bangunan perkantoran, namun Gereja Katolik Hati Kudus tetap teguh berdiri, bahkan sampai saat ini.

Keberadaan gereja dan umat Katolik di Serambi Mekkah ini memang tidak bisa terlepas dari sejarah kelam pendudukan Belanda. Gereja yang dirintis sejak tahun 1885 dan diresmikan pemakaiannya sejak 26 September 1926 ini sebelumnya adalah kapel kecil “Hati Kudus” yang diperuntukkan bagi kebutuhan kerohanian tentara kolonial Belanda. Namun seiring berjalannya waktu, gereja yang dipimpin pastor pertamanya – Pastor Henricus Verbraak, SJ, yang juga seorang tentara Belanda – ini semakin bertambah, bahkan semakin terbuka dengan dibolehkannya masyarakat sipil yang nota bene adalah warga pribumi, pegawai pemerintah serta pedagang warga Tionghoa beribadah di sana. Pada tahun 1970-an, jumlah jemaat gereja ini mencapai 800 orang, melampaui kapasitas gereja yang hanya mampu menampung 400 orang.

Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh dan bencana tsunami ini memang tak bisa dilepaskan dari keberadaan Pastor Ferdinando Severi, Pastor yang kala itu memimpin jemaat Gereja Hati Kudus Banda Aceh. Di gereja kecil dengan dinding berwarna krem dengan ornamen kaca warna-warni dan keramik empat warna inilah Pastor Ferdinando tinggal. Sudah lebih dari 13 tahun pria bertubuh besar kelahiran Italia 19 Desember 1934 tinggal dan melayani di sana.

Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 yang silam memang tak merenggut jiwanya. Namun rasa sedih yang ditandai dengan mata berkaca-kaca tak bisa ditutupinya tatkala teringat peristiwa itu. Mengingat bencana yang telah menewaskan 37 umat Gereja Hati Kudus Banda Aceh dan 15 umat Katolik di Meulaboh. Secara teologis umat Katolik di Banda Aceh adalah kepunyaan Allah. Dan adalah hak Allah untuk memanggil mereka kembali ke dekapan-Nya, namun tak bisa dimungkiri, secara manusia umat Katolik di sana tetap saja adalah anak rohani Pastor Ferdinando yang telah dibimbing, digembalakan, dan dipimpin olehnya sekian tahun lamanya. ?

BY GAN

0 komentar:

Posting Komentar