gan

Kamis, 03 September 2009

Sejak abad ke-18, sebagian besar pulau Jawa dikuasai oleh orang-orang Belanda secara langsung. Setelah VOC bubar (1799), sampai tahun-tahun 1820-an, keadaan politis adalah tidak tetap : pemerintah-Belanda yang mengganti VOC, diusir oleh orang-orang Inggeris (1811), tetapi lima tahun kemudian orang-orang Belanda kembali lagi (1816). Penguasa-penguasa yang silih-berganti ini membawa serta cita-cita yang luhur, yang di Eropa telah dicetuskan oleh Pencerahan (§ 17). Beberapa kali terjadi reorganisasi di bidang ekonomi (sistim perpajakan, soal tanah) dan politik. Dan Gubernur-Jenderal yang pertama sesudah masa pemerintahan Inggeris mempunyai rencana-rencana yang sangat baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa. Tetapi negeri Belanda menghadapi peperangan di Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830) dan di Eropa (1830-1839). Akibatnya, perbendaharaan negara Belanda kosong, dan tenaga orang-orang Jawa dikerahkan untuk mengisinya kembali melalui sistem Tanam Paksa. Sistim itulah yang menentukan kebijaksanaan pemerintah Belanda di Jawa mulai dari tahun-tahun 1830-an sampai 1860-an. Negeri Belanda membutuhkan uang, dan jangan hendaknya membutuhkan uang, dan jangan hendaknya ada yang mengganggu keamanan dan ketertiban, sehingga kelancaran arus itu terputus. Oleh karena itu pemerintah enggan mengizinkan lembaga-lembaga zending bekerja di Jawa selama masa itu, dan sesudah itu pun pekerjaan mereka sering mengalami rintangan dari pihak para pejabat pemerintah.

Keadaan di bidang keagamaan

Dalam abad ke-16, pedalaman Jawa sudah diislamkan (bnd ps 2). Di ujung Timur pulau itu, agama Hindu masih bertahan sampai sekitar tahun 1770. Tetapi Kompeni mengusir orang-orang Bali dari sana, sehingga daerah itu pun dimenangkan bagi Islam. Namun demikian, di tengah-tengah masyarakat Jawa Islam itu corak berpikir dari zaman sebelum kedatangan Islam, sempat hidup terus. Di satu pihak, seluruh hidup orang-orang Jawa, khususnya di desa-desa, tetap diatur oleh adat. Di lain pihak, banyak orang Jawa terpengaruh oleh kebatinan. Orang-orang ini mempersoalkan nilai upacara keagamaan, kunjungan ke tempat-tempat ibadah, kitab-kitab suci dan sebagainya. Bagi mereka, hal-hal ini bersifat "lahiriah" dan dengan demikian lebih rendah martabatnya daripada hal-hal "batiniah", yaitu ibadah dalam hati. Mereka memandang agama sebagai "ngelmu", "ilmu", yaitu pengetahuan rahasia yang memberi kekuatan batin kepada yang memilikinya. Rupanya justru dalam abad ke-19 dunia rohani orang Jawa mengalami pergolakan yang besar dan banyak orang yang berjalan keliling Jawa untuk mencari "ngelmu" baru. Perlu dicatat bahwa pengaruh kebatinan ini lebih besar di Jawa Timur dan Tengah daripada di Jawa Barat.

Agama Kristen di Jawa ± 1815

Sekitar tahun 1815, penganut-penganut agama Kristen hanya terdapat dalam golongan orang yang bukan-Jawa : orang-orang Belanda serta keturunan mereka, dan sejumlah orang yang berasal dari Indonesia Timur. Orang-orang Kristen ini terutama terdapat di ketiga kota besar di pantai Utara : Surabaya, Semarang dan Batavia. Tetapi ada juga yang hidup di pedusunan, misalnya sebagai pengusaha di bidang perkebunan dan tuan tanah. Sekitar tahun 1815, orang Jawa atau Sunda yang beragama Kristen boleh dikatakan tidak ada. Jemaat-jemaat Kristen di kota-kota besar, dan orang-orang Kristen yang berserak itu hidup terpencil dan tidak merasa terpanggil untuk menyebarkan Injil kepada massa orang pribumi di sekitar mereka. Anggota-anggota jemaat Depok malah dilarang bergaul dengan penduduk desa-desa tetangga yang beragama Islam.

p.I.Kegiatan

Gereja (GPI) tidak melakukan pekabaran Injil, dan negara tidak mengizinkan lembaga-lembaga p.I. dari Eropa mengisi lowongan itu. Oleh karena itu, pekabaran Injil di pulau Jawa harus berpangkal pada beberapa orang Kristen perorangan. Di antara mereka ada yang hidup di kota, ada yang di pedalaman. Kita menyebutkan beberapa nama. Di daerah Jawa Timur ada Bapa Emde serta kelompoknya (mulai dari tahun 1851) di Surabaya, dan Coolen di Ngoro (sejak ± tahun 1830). Di Jawa Tengah terdapat a.l. beberapa isteri pengusaha Eropa di pedalaman, a.l. ny. Philips (tahun 1850-an). Di Jawa Barat, kita menemukan sejumlah anggota jemaat GPI di Batavia, a.l. mr Anthing (mulai dari tahun 1850-an). Tokoh-tokoh perintis ini memperkenalkan Injil kepada sejumlah orang Jawa. Di antara mereka ini tampil pula tokoh-tokoh yang giat menyiarkan Injil di tengah teman-teman sebangsanya, a.l. Paulus Tosari (1813-1882, Kristen sekitar 1840); Tunggul Wulung (± 1803-1884, Kristen sek. 1853) dan Sadrach (1840-1924, Kristen sek. tahun 1855). Khusus di Jawa Barat, Mr. Anthing dibantu juga oleh sejumlah penginjil yang berasal dari daerah di sekitar Batavia.

Jawa Timur: Emde

Di Jawa Timur, kegiatan p.I. dimulai oleh seorang Jerman yang telah merantau ke Indonesia. Bapa Emde (1774-1859) adalah seorang pietis dari Jerman yang berlayar ke Indonesia untuk melihat dengan mata kepala sendiri, apakah benar bahwa perkataan dalam Kej. 8:22 tentang musim dingin dan musim panas tidaklah sesuai dengan keadaan di daerah katulistiwa. Ia menetap di Surabaya, di mana ia bekerja sebagai tukang arloji. Di situ ia dikunjungi oleh Joseph Kam, ketika ia ini sedang dalam perjalanan ke Maluku (§ 20) dan kunjungan Kam itu membangkitkan semangat misioner pada Emde. Ia mendirikan suatu perkumpulan p.I. (1815) dan mengadakan pertemuan-pertemuan keagamaan di rumahnya. Alat-alat untuk p.I. diperoleh dari Bruckner, seorang pekabar Injil yang telah diutus ke Jawa bersama Kam, menjadi pendeta di Semarang, tetapi kemudian beralih ke lembaga p.I. Baptis Inggeris, yang pada tahun 1792 didirikan oleh William Carey. Bruckner telah mengarang selebaran-selebaran dalam bahasa Jawa, dan Emde mendesak dia agar menterjemahkan P.B. ke dalam bahasa Jawa. Terjemahan itu selesai dicetak pada tahun 1831, tetapi langsung disita oleh pemerintah. Namun Emde sebelumnya sudah menerima beberapa bagian terjemahan tersebut dalam bentuk salinan tangan, dan itu disebarkannya, bersama isteri dan anak-anak perempuannya, bersama dengan selebaran-selebaran, dengan menyodorkannya kepada orang-orang yang kebetulan liwat atau dengan menempelkannya di tempat-tempat ramai.

Mula-mula pekerjaan Emde itu tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya memandang dia sebagai saingan dan mengadukannya kepada pemerintah. Akibatnya, Emde harus meringkuk dalam penjara selama beberapa minggu. Hal ini terjadi pada tahun 1820; di kemudian hari sikap GPI menjadi lebih positif. Tetapi di kalangan orang-orang Jawa juga pekerjaan Emde pada mulanya tidak mendapat sambutan yang hangat.

Coolen

Dalam pada itu, di Jawa Timur telah muncul pusat penyiaran agama Kristen yang kedua. Pusat kedua ini ialah Ngoro, dan pemimpinnya ialah Coolen (1775-1873). Coolen lahir dari keluarga Belanda, tetapi ibunya adalah puteri bangsawan Jawa. Dari ibunya itu diwarisinya tradisi kebudayaan Jawa, sehingga ia menguasai wayang, musik dan tari-tarian Jawa. Pada tahun 1827, ia memperoleh kawasan hutan yang luas, kira-kira 60 Km dari kota Surabaya. Pembukaan hutan itu berhasil baik. Banyak orang Jawa datang ke sana dan diberi tanah dengan syarat yang lunak. Ngoro menjadi desa yang sangat makmur, yang pada waktu kelaparan melanda Jawa Timur dapat membagi beras kepada ribuan orang.

p.I. oleh Coolen

Di Ngoro tidak ada paksaan dalam hal agama. Coolen menyuruh orang membangun sebuah mesjid. Tetapi dalam memimpin desanya, iapun tetap bertindak sebagai seorang Kristen. Apabila seseorang hendak membajak sawahnya, Coolen diminta untuk membuka alur pertama. Maka ia memegang alat luku sambil menyanyikan : "O gunung Semeru, o Dewi Sri, berkatilah karya tangan kami. Dan di atas segala-galanya kami pohonkan karunia dan kekuatan dari Yesus, yang kekuasaanNya tiada bertara". Beberapa di antara orang-orang yang datang ke Ngoro adalah orang yang pernah melakukan kejahatan. Coolen mengizinkan mereka menetap di Ngoro, tetapi ia berusaha untuk menunjuk jalan kepada mereka supaya memperbaiki diri. Kepada mereka diberitahukannya "ilmu Kristen" tentang pelepasan manusia dari dosa oleh Juruselamat dunia. Pada hari-hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya sendiri : di situ ia berdoa dan membacakan suatu pasal dari Alkitab, lalu orang mengangkat nyanyian serta orang dengan gaya tembang. Selanjutnya sepanjang hari Minggu, orang menghabiskan waktunya dengan bermain gamelan, dengan wayang dan dikir, yakni mengulang-ulangi rumus-rumus Kristen (Doa Bapa Kami dan sebagainya) dengan cara yang dipakai juga oleh santri-santri Islam. Pada hari-hari lain, pada sore harinya, Coolen mengajarkan agama Kristen dan rumus-rumus Kristen kepada mereka yang berminta. Dengan cara itu terbentuklah suatu jemaat Kristen. Coolen mengangkat seorang pengantar jemaat, yang disebut Kyai penghulu, dan dua orang penatua. Anggota-anggota jemaat ini mempunyai banyak hubungan ke luar, yaitu dengan teman-teman sebangsanya dari desa-desa lain; terhadap teman-temannya itu mereka memuji "ilmu" Coolen, sehingga orang datang dari jauh untuk "mengadu ilmu" dengannya, dan kalau mereka kalah, maka mereka berguru pada Coolen. Tetapi semuanya ini berlangsung tanpa ada hubungan dengan pendeta serta jemaat GPI di Surabaya. Pun sakramen baptisan dan perjamuan tidak dilayankan di Ngoro.

Kelompok Wiung

Di desa Wiung, yang letaknya tidak jauh dari Surabaya, ada suatu kelompok orang yang taat beragama. Mereka biasa berkumpul dalam rumah modin desa itu, yang bernama Pak Dasimah. Pada suatu hari salah seorang anggota kelompok ini membawa-serta sebuah buku kecil dalam bahasa Jawa yang diberikan kepadanya oleh seorang perempuan keturunan Eropa di Surabaya. Katanya, ia enggan mengambilnya, tetapi akhirnya dengan setengah terpaksa buku itu diterimanya juga. Pak Dasimah membukanya dan heran sekali ia melihat kata-kata yang pertama : "Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus......"(Mrk 1:1). Ia tidak begitu suka akan isinya, tetapi karena buku itu agaknya mengandung hal-hal keagamaan yang belum dikenalnya maka ia tidak membuangnya melainkan membuatnya menjadi pokok pembicaraan dalam kelompoknya.

Kemudian sekitar tahun 1834, seorang anggota kelompok Wiung bertemu dengan seorang kyai yang telah berguru pada Coolen. Kyai ini mengucapkan sebuah rapal yang isinya tidak lain melainkan Keduabelas Pasal Iman. Pengunjung dari Wiung itu teringat akan buku yang telah dikenalnya di sana, dan ia cepat pergi membawa berita ini kepada Pak Dasimah. Setelah mengetahui bahwa rapal itu asalnya dari Ngoro maka Pak Dasimah. Setelah mengetahui bahwa rapal itu asalnya dari Ngoro maka pak Dasimah beserta sejumlah temannya berjalan ke sana meminta "toya wening", air jernih (hidup). Coolen menyambut mereka dengan ramah dan selama sepuluh hari mereka sempat menerima pengajaran agama Kristen seperti yang diberikan di Ngoro. Setelah itu mereka pun pulang, tetapi di Wiung ajaran itu tetap menjadi pokok renungan dan pembicaraan bagi mereka, dan setiap tahun mereka kembali ke Ngoro. Dalam pada itu, Pak Dasimah menyebarkan "ilmu" baru yang telah diperolehnya dengan cara yang sudah dilihatnya di Ngoro, yaitu melalui wayang.

Perbedaan Emde-Coolen

Setelah lima tahun mendapat kunjungan dari orang-orang Wiung, Coolen merasa sayang melihat mereka harus menempuh jarak yang jauh itu. Ia memberi mereka nasehat agar pergi ke Surabaya mencari seorang Kristen bernama nyonya Emde. Pak Dasimah lalu pergi berkunjung kepada Emde. Ia ini heran sekali karena sama sekali belum mengetahui tentang kelompok di Wiung. Soalnya ialah bahwa orang-orang Jawa yang telah masuk kelompok Emde di Surabaya itu adalah orang-orang kota. Mereka biasanya menjadi pembantu rumah tangga pada keluarga-keluarga Eropa, dan tidak berhubungan dengan lingkungan rohani yang didalamnya orang-orang Wiung hidup. Dan sesudah menjadi orang Kristen dan menerima baptisan (di tengah-tengah jemaat GPI) maka mereka lebih jauh lagi dari dunia kerohanian Jawa-asli. Sebab Emde memandang perlu bahwa mereka, bersama dengan agama orang Eropa, menerima juga adat-kebiasaan Eropa. Mereka diharuskan memotong rambut, menggantikan sarungnya dengan celana, melepaskan keris-kerisnya; mereka tidak boleh lagi menonton wayang, mendengarkan gamelan, menyelenggarakan selamatan, dan sebagainya, sebab hal-hal itu dipandang sebagai kekafiran. Coolen mengabarkan Injil sambil memberinya wujud Jawa; Emde menggabungkan erat-erat agama Kristen dengan kebudayaan Eropa. Hanya dalam satu hal itu ia berbeda dengan orang-orang Eropa lainnya (juga dengan banyak tokoh zending di zaman kemudian) dan bertindak sama seperti Coolen: ia sama sekali memperlakukan orang-orang Jawa selaku sesamanya, bukan sebagai manusia yang bertingkat lebih rendah.

Jemaat Ngoro pecah

Di Surabaya, Pak Dasimah dan kawan-kawannya belajar juga mengenai baptisan. Mereka merasa bahwa Coolen belum memberitahukan "ilmu Kristen" kepada mereka dengan sepenuhnya. Untuk mengisi kekurangan itu, mereka minta dibaptis dan permintaan itu dikabulkan. Pada bulan Desember 1843 tigapuluhlima orang Jawa dibaptis oleh pendeta GPI di Surabaya. Mereka semua diberi nama baru, yang diambil dari dalam Alkitab. Tetapi Coolen sama sekali tidak senang mendengar hal itu. Ia memalukan orang yang sudah dibaptis dan yang berrambut pendek itu, dan melarang mereka untuk tetap tinggal di Ngoro. Namun demikian, dalam tahun-tahun berikutnya beberapa ratus orang penduduk Ngoro pergi ke Surabaya untuk dibaptis pula. Dalam hal ini kita amati suatu ironi: orang Kristen Jawa menolak bentuk agama Kristen yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa dan mereka berpaling kepada agama Kristen gaya Emde yang justru menolak seluruh kebiasaan Jawa! Gejala seperti ini nampak pula di daerah-daerah lain dan dalam zaman kemudian. Salah seorang di antara mereka yang meminta untuk dibaptis ialah Paulus Tosari (1813-1882). Ia ini pernah belajar di pesantren, tetapi kemudian menempuh jalan yang kurang baik. Setelah mengatasi krisis ini, ia mendengar tentang "ilmu" yang dapat diperoleh di Ngoro. Perkataan Yesus dalam Matius 5:3 menjadi pegangan dan pedoman hidup baginya. Sekitar tahun 1840, Tosari pindah ke Ngoro dan setelah berguru lagi pada Coolen, iapun diberi tugas memimpin kumpulan-kumpulan pada hari Minggu dan Kamis malam.

Mojowarno

Coolen tidak tahan anak-anaknya menerima baptisan serta adat orang Belanda. Akhirnya mereka diusirnya dari Ngoro, dan dalam kawasan hutan yang angker, mereka mendirikan sebuah desa yang diberi nama Mojowarno (1844). Tosari menjadi guru jemaat mereka dan selama beberapa tahun jemaat ini berjalan dengan pimpinan yang hanya terdiri dari orang-orang Jawa saja. Tetapi dalam tata-kebaktian dan dalam hal-hal lain mereka ini memakai bentuk-bentuk dari Barat.

Jellesma

Sementara itu NZG (§ 19) akhirnya mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk memulai pekerjaan di pulau Jawa. Utusannya yang pertama ialah Jellesma (1817-1858). Mula-mula ia menetap di Surabaya, tetapi karena melihat bahwa orang-orang Jawa di sana, apalagi orang-orang Jawa Kristen, sudah menjadi terasing dari kehidupan suku bangsa mereka sendiri, maka kemudian ia pindah ke Mojowarno (1851). Di situ ia tidak mengambil-alih pimpinan dalam jemaat : Tosarilah yang tetap menjadi pemimpin. Jellesma yakin bahwa kegiatan jemaat dan penyiaran Injil harus diselenggarakan oleh orang-orang Jawa, dengan cara yang sesuai dengan lingkungan Jawa. Dalam hal ini ia mengambil garis-tengah antara Emde dan Coolen. Terhadap bentuk-bentuk kebudayaan Jawa. Emde telah mengambil sikap negatif ; Coolen sebaliknya bersikap positif terhadapnya; kita dapat berkata bahwa Jellesma mengambil sikap selektif (= memilih). Misalnya: ia tidak berkeberatan kalau orang Kristen berambut panjang, atau mau melepaskan destarnya dalam kebaktian, dan ia berusaha untuk menyederhanakan untuk tata-ibadah. Sebaliknya ia tidak setuju ketika para sesepuh desa Mojowarno mengadakan pesta tarian dengan wanita-wanita, dan mereka itu dikenakan disiplin gereja. Sikap ini diambil tidak oleh Jellesma seorang; kita telah melihat dalam bab-bab yang terdahulu bahwa angkatan para zendeling yang sebaya dengan Emde pada umumnya bersikap negatif terhadap adat dan kebudayaan peribumi, sedangkan angkatan Jellesma pada galibnya melepaskan sikap menolak itu.

Kerjasama antara Tosari dan Jellesma berlangsung dalam suasana baik dan memberi hasil yang baik. Selama Jellesma di Jawa, ia membaptis duaribu orang lebih. Jellesma juga menyelenggarakan sekolah rakyat, dan di samping itu mendidik sejumlah pemuda menjadi guru sekolah merangkap guru jemaat. Bersama Tosari ia mendirikan pula "Lumbung orang Miskin": jemaat mengumpulkan padi yang kemudian "dipinjamkan" atau diberikan kepada orang-orang yang berkekurangan. Jellesma menerbitkan juga Riwayat-riwayat Alkitab dan sebuah bundel Nyanyian Rohani dalam bahasa Jawa.

Pengaruh Zending bertambah

Pada tahun 1858 Jellesma meninggal. Pada zaman utusan-utusan yang menggantikan dia (a.l. J. Kruyt, ayah A.C. Kruyt, yang bekerja di Mojowarno tahun 1864-1910) pengaruh Zending dalam lingkungan kekristenan Jawa bertambah besar. Mereka melihat dirinya sebagai guru-guru yang harus membawa orang-orang Kristen Jawa menuju ke kedewasaan iman, dan oleh orang-orang Kristen mereka dipandang sebagai tokoh-tokoh yang serba bisa. Jadi, keadaan dalam lingkungan kekristenan Jawa, yang mula-mula berbeda sekali dengan keadaan di daerah-daerah lain Minahasa, Kalimantan dan sebagainya), lama-lama sama dengan yang di tempat-tempat lain. Barulah dalam abad ke-20 jemaat-jemaat di Jawa Timur kembali berdiri sendiri.

Jawa Tengah

Injil datang ke Jawa Tengah melalui dua jalan. Jalan yang satu ialah melalui usaha beberapa orang kulit putih. Jalan yang lain adalah penyiaran "ilmu" Kristen oleh penduduk Ngoro dan Mojowarno. Selanjutnya juga riwayat sejarah gereja di Jawa Tengah mempunyai pola yang mirip dengan yang di Jawa Timur: utusan-utusan Lembaga Zending datang menetap di tengah-tengah jemaat-jemaat Kristen Jawa dan mengambil-alih pimpinan. Hanya, di Jawa Tengah mereka lebih banyak mengalami pertentangan daripada yang dialami Jellesma atau penggantinya. Penggabungan kedua arus itu, yaitu kekristenan bercorak Jawa dan kekristenan gaya Barat, di sini baru selesai pada abad ke-20.

Bruckner

Di Semarang, Bruckner bekerja dari tahun 1815-1856. Ia telah diutus NZG bersama dengan Kam (§ 20), dan sama seperti Kam ia diangkat menjadi pendeta GPI. Akan tetapi ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dalam Gereja negara itu (bnd Kam!) dan pada tahun 1816 ia meletakkan jabatannya dan bergabung dengan Lembaga p.I. Baptis yang pada tahun 1792 didirikan oleh Carey. Dialah yang untuk pertama kali menterjemahkan PB ke dalam bahasa Jawa. Buku-buku itu disita oleh pemerintah, namun ada salinan yang sampai ke dalam tangan orang Jawa Timur. Bruckner tidak berhasil mengumpulkan suatu jemaat, sebab pada hematnya tidak seorangpun di antara mereka yang berminat untuk dibaptis, dapat dianggap telah memenuhi syarat. Tetapi beberapa orang Kristen dari Jawa Timur mengadakan perjalanan p.I. sampai ke daerah Gunung Muria (Jepara) dan di situ berdirilah jemaat-jemaat kristen di Kayu-Api dan lain-lain tempat, tanpa perantaraan seorang Eropa, tetapi sebagai hasil-tidak-langsung dari karya terjemahan Bruckner.

Tunggul Wulung

Salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa ialah Tunggul Wulung (sek. 1803-1885). Ia berasal dari daerah Juwono (juga dekat gunung Muria). Pada tahun-tahun itu penduduk Jawa Tengah menjadi resah akibat keadaan ekonomi mereka yang sulit. Banyak orang yang mengungsi ke Jawa Timur. Kyai Ngabdullah, begitulah namanya pada waktu itu, ikut berpindah dan menjadi seorang pertapa di lereng gunung Kelud. Rupanya ia dipandang orang sebagai penjelmaan seorang tokoh dari zaman raja Joyoboyo, yaitu seorang jenderal yang bernama Tunggul Wulung.

Pada masa ini Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen. Caranya tidak kita ketahui dengan tepat, tetapi baik Ngoro maupun Mojowarno letaknya tidak jauh dari gunung Kelud, sedangkan pada tahun-tahun 1840-an agama Kristen sudah cukup terkenal di kalangan penganut kebatinan. Bagaimana pun juga, pada tahun 1853 Tunggul Wulung muncul di Mojowarno, dan dua tahun kemudian iapun dibaptis oleh Jellesma dan diberi nama Ibrahim. Sementara itu dan juga sesudahnya ia mengadakan perjalanan p.I. terus-menerus, a.l. ke Pasuruan, Rembang, di daerah Malang dan di kawasan gunung Muria, kemudian juga di Jawa Barat. Di beberapa tempat ia menjadi perintis jemaat-jemaat Kristen yang baru. Kegiatan ini sempat menimbulkan rasa gelisah di kalangan pemerintah Hindia-Belanda begitu rupa, sehingga sampai-sampai Gubernur-Jenderal dan Menteri Daerah-daerah Jajahan mengutarakan pendapat mereka. Pun Zendeling Jansz, utusan pertama dari Lembaga Zending Mennonit, yang sejak tahun 1852 menetap di daerah Jepara, mengecam cara-cara yang ditempuh oleh Kyai Jawa ini. Tetapi Tunggul Wulung tidak membiarkan kegiatannya di tahan; selama duapuluh tahun ia berkeliling terus. Pada waktu kematiannya jumlah pengikut-pengikutnya dalam arti yang sempit saja sudah ditaksir melebihi seribu orang.

Hubungannya dengan pemerintah

Oleh orang-orang Belanda pada zaman itu, termasuk para zendeling, Tunggul Wulung rata-rata dinilai negatif. Pemerintah mula-mula mencurigai dia karena takut penyiaran agama Kristen olehnya bisa mengganggu keamanan, tetapi juga karena alasan yang lebih langsung bersifat politis: para pengikut Tunggul Wulung mengharapkan pembebasan dari pekerjaan rodi. Pada zaman itu sering terjadi gerakan sosial-religius di Jawa, yang mengemukakan tuntutan yang serupa. Tetapi Kyai Ibrahim terkesan oleh perkataan Yesus : "orang-orang yang lemah-lembut akan memiliki bumi" (Mat. 5:5), dan ia sama sekali tidak bermaksud untuk mewujudkan tuntutan itu dengan kekerasan. Rupanya ia tertarik oleh apa yang telah dilihatnya di Ngoro : orang-orang Kristen dikumpulkan dalam suatu desa Kristen di bawah seorang tuan tanah Kristen, dan dengan demikian mereka dengan sendirinya akan menjadi bebas dari rodi. Atas dorongannya, Zending Mennonit menggunakan sistim ini di daerah Gunung Muria. Namun demikian, terhadap orang-orang Belanda Tunggul Wulung menunjukkan rasa harga diri yang cukup besar; ia tidak mau berjongkok apabila menghadap seorang Eropa, apalagi kalau ia ini seorang utusan zending.

Sikap Zendeling terhadapnya

Ada utusan-utusan Zending yang sempat menjadi marah karena sikap ini. Jellesma dan Jansz bersikap lebih luwes, tetapi mereka terutama Jansz, terkejut oleh unsur Jawa dalam kekristenan gaya Tunggul Wulung. Dari Jansz kita mendengar bahwa Kyai Ibrahim menyajikan Injil sebagai suatu "ilmu"; bahwa pengikut-pengikutnya berdikir; bahwa pemimpin mereka memakai cara-cara seorang dukun dalam mengobati orang sakit dan menggunakan rumus-rumus Kristen seperti Doa Bapa Kami dan sebagainya dalam usaha pengobatan itu; bahwa bagi Tunggul Wulung peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Alkitab, termasuk kelahiran Yesus Kristus, tidak perlu ditafsirkan secara harafiah tetapi mempunyai arti rahasia yang diwujudkan dalam batin orang-orang percaya.

Penilaian

Adalah sulit untuk menilai tuduhan-tuduhan semacam ini. Mungkin juga kekristenan Tunggul Wulung mempunyai ciri-ciri sinkretistis (percampuran agama). Tetapi baiklah kita ingat akan perkataan Kraemer : seorang Jawa yang memiliki "ilmu" akan merahasiakannya, tetapi orang-orang Jawa Kristen itu justru menyebar-luaskan "ilmu" mereka yang baru; hal ini menunjukkan bahwa Roh telah mulai membaharui pemikiran mereka, betapapun besarnya pengaruh lingkungan Jawa atas pemikiran itu.

Sadrach

Setelah kematiannya (1885), jemaat-jemaat yang dipimpin oleh Tunggul Wulung beralih kepada Zending Mennonit. Tetapi di Jawa Tengah bagian Selatan tetap terdapat sekelompok orang-orang Kristen yang meneruskan tradisi Tunggul Wulung. Mereka ini dipimpin oleh salah seorang muridnya, yaitu Sadrach (1840-1924). Selama beberapa tahun ia bekerja di Jawa Barat dan kemudian menjadi pembantu ny. Philips di Purworejo. Setelah ny. Philips meninggal, jemaat yang telah dikumpulkannya menerima Sadrach menjadi pemimpinnya (1876). Di sini juga Zending, yaitu NGZV dan kemudian Zending Gereformeerde Kerken di Nederland (§ 19) masuk. Karena sikap NGZV terhadap agama Kristen Jawa itu lebih keras daripada sikap Jansz maka terjadilah keretakan yang tidak dapat dipulihkan lagi (tahun 1880-an). Sama seperti Mr Anthing (di bawah), Sadrach menggabungkan diri dengan Gereja Kerasulan.

Jawa Barat : Batavia

Di Batavia, sejak zaman VOC sudah terdapat suatu jemaat yang berbahasa Melayu (§ 13). Jemaat ini merupakan bagian jemaat GPI setempat. GPI sudah merasa puas, apabila dapat memelihara warisan VOC itu dengan baik, dan tidak berusaha untuk menyiarkan Injil di tengah-tengah orang yang bukan Kristen. Tetapi sama seperti di Semarang dan Surabaya, begitu pula di Batavia selama abad ke-19, terdapat utusan-utusan Zending dan orang-orang swasta yang giat mengabarkan Injil. Di antara terdapat pendeta King (1824-1884) yang mendirikan gereja "Rehoboth" di Jatinegara, dan Mr Anthing (1820-1883), yang menjabat sebagai wakil ketua Mahkamah Agung. Ia ini menghabiskan seluruh kakayaannya dalam pekabaran Injil. Antara tahun 1851-1873 seorang penginjil dari daratan Tiongkok, yang bernama Gan Kwee, bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa di Batavia dan di seluruh Jawa. Jemaat Patekoan dan juga beberapa kelompok orang Kristen di luar Batavia lahir dari usaha itu. Akan tetapi pada umumnya usaha p.I. di Batavia sendiri tidak banyak berhasil, sama seperti di Semarang dan Surabaya.

Jemaat-jemaat Anthing

Mr Anthing berpendapat bahwa kota Batavia merupakan lapangan kerja yang sempit dan tandus, dan bahwa pekabaran Injil oleh tenaga asing dengan metode kebarat-baratan itu tidak mungkin membawa tujuan. Menurut dia, Injil harus dikabarkan oleh orang-orang pribumi dengan cara pribumi. Oleh karena itu ia memelihara hubungan dengan tokoh-tokoh Kristen Jawa-asli seperti Tunggul Wulung. Ia ini begitu menghargai sikap Anthing, sehingga ia mengirim anaknya untuk bersama sejumlah orang lain mendapat pendidikan di rumah Anthing untuk menjadi seorang pekabar Injil. Juga Sadrach selama beberapa waktu menumpang di rumah Anthing.

Pekabar-pekabar Injil didikan Anthing itu mendirikan sejumlah jemaat kecil di daerah sekitar Batavia, a.l. Kampung Sawah dan Gunung Putri. Mereka menggunakan metode yang sama dengan pengikut-pengikut Coolen di Jawa Timur dan Tunggul Wulung dan kawan-kawan di Jawa Tengah: Injil dibawakan sebagai suatu "ilmu". Tetapi daerah di sekitar Batavia bukanlah daerah Sunda-asli; penduduknya bersifat campuran. Orang-orang Sunda asli tidak terjangkau oleh pekerjaan Mr Anthing. Usaha p.I. di tengah-tengah mereka dimulai oleh Lembaga NZV dari Nederland (§ 19), yaitu pada tahun 1861. Dengan memperlihatkan sikap yang lunak dan bijaksana, utusan-utusan berhasil mengadakan kerjasama dengan jemaat-jemaat Anthing, sesudah ia ini meninggal (tahun 1880-an). Dan karena pekerjaan NZV di kalangan orang-orang Sunda belum begitu berhasil, maka jemaat-jemaat Anthing itu menjadi tumpuannya yang utama. Dikemudian hari, banyak tokoh pemimpin jemaat-jemaat Pasundan berasal dari sana.

Ringkasan

Kita telah melihat bahwa dalam abad ke-19 pekabaran Injil ke Jawa dirintis oleh beberapa orang perorangan di kota-kota maupun di pedalaman. Lembaga-lembaga zending barulah mulai bekerja dengan sungguh setelah tahun 1860. Pekerjaan di kota-kota tidak banyak berhasil. Sebaliknya pedalaman, terutama berkat usaha orang-orang Jawa sendiri, pada tahun 1860-an sudah terdapat banyak orang Kristen: ribuan di Jawa Timur dan Tengah, ratusan di Jawa Barat. Jemaat-jemaat Kristen ini pada umumnya mempunyai corak Jawa yang nyata. Badan-badan zending, yang sejak tahun 1850 lama-kelamaan mulai bertindak sebagai wali jemaat-jemaat Kristen Jawa itu, berusaha untuk mengurangi unsur kejawen unsur kejawen di dalamnya.

BY GAN

0 komentar:

Posting Komentar