Dalam tahun 1860-an orang Kristen Protestan di Indonesia berjumlah sekitar 120.000 (§ 27). Pada tahun 1938 orang yang sudah dibaptis berjumlah 1.665.771, atau sekitar 2,5% seluruh penduduk Indonesia. Di antaranya 700.000 termasuk GPI, 415.000 termasuk HKBP. Kelompok besar lainnya terdapat di Nias (125.000) dan di Sangir-Talaud (120.000). Di pulau Jawa pada tahun itu ada 98.000 orang Kristen, di antaranya 27.000 anggota GPI. Kita menarik kesimpulan bahwa lebih dari separo orang Kristen Indonesia tinggal di atau berasal dari daerah yang sudah dikristenkan pada masa VOC, dan bahwa pada waktu itu sepertiga dari orang Kristen di Indonesia termasuk gereja yang lahir dari usaha zending Jerman (RMG). Badan-badan zending Belanda dan gereja-gereja mandiri yang lahir darinya (yang biasanya terdapat di daerah-daerah yang berpenduduk jarang atau yang beragama Islam) mencakup sekitar 235.000 jiwa atau 15% (tidak termasuk 120.000 yang di Sangir-Talaud). Orang Kristen Indonesia warga badan gereja yang berasal dari Amerika (Metodis, CAMA) berjumlah 15.000 orang. Anggota gereja Adventis (1938:±5.000) dan Pentakosta tidak terhisab dalam angka-angka ini.
Penyebaran lebih merata
Boleh dikatakan bahwa pada tahun 1860 belum ada kekristenan pribumi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi (di luar Minahasa dan Sangir-Talaud), dan Irian, sebab di masing-masing daerah itu orang Kristen berjumlah paling banyak beberapa ratus orang. Agama Kristen masih terbatas pada daerah-daerah bekas jajahan Kompeni (dan daerah Portugis di NTT. Pada tahun 1938, agama Kristen sudah tersebar ke seluruh wilayah Nusantara, walaupun belum secara merata. Pada tahun itu persentase orang Kristen Protestan tetap paling tinggi di Maluku Selatan, di Sulawesi Utara, dan di Nusa Tenggara Timur, di samping di Sumatera Utara. Namun, di Sumatera, di Sulawesi (tidak terhitung Minahasa dan Sangir-Talaud), dan di Irian, persentase orang Kristen berada pula di atas persentase nasional. Di Kalimantan dan di Jawa, persentase orang Kristen jauh di bawah persentase nasional.
Alasan masuk Kristen
Pokok ini sudah dibicarakan juga dalam § 14 dan 27. Dalam masa yang kita bicarakan di sini, faktor-faktor yang sudah disebut di sana tetaplah berperan. Dilihat dari sudut pandangan rakyat, zending tetap bersekutu dengan penguasa kolonial; alasan psikologis (§ 14) bahkan lebih kuat lagi kini daripada sebelum abad ke-19, disebabkan pengaruh peradaban Barat semakin terasa sampai ke pelosok. Di pihak lain, kita tidak perlu beranggapan seakan-akan orang Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di pedalaman dan yang masih menganut agama dan kebudayaan nenek-moyang, memandang para pekabar Injil dari Barat dengan takjub dan dengan senang hati mengikuti saran mereka agar masuk ke agama yang "lebih tinggi" itu. Dari laporan para zendeling kita tahu bahwa kebalikannya yang benar. Orang Irian, Poso, dan lain-lain cenderung untuk memandang enteng orang kulit putih yang belum fasih berbicara, yang tidak memiliki kepandaian-kepandaian yang perlu untuk menyambung hidup di tengah rimba raya. Mereka baru terkesan oleh pribadi seorang pekabar Injil kalau ia ini berhasil menyamai mereka dalam salah satu kepandaian itu, seperti mengadakan perjalanan jauh melalui hutan rimba (A.C. Kruyt di Poso) atau berburu rusa (Gouweloos di Kendari), atau ikut berbicara dalam perkara-perkara adat yang berbelit-belit (A.C. Kruyt, Nommensen). Atau mereka tertarik karena ia bersama mereka menghadapi bahaya musuh yang menyerang kampung atau bahaya ombak di laut (Geissler di Irian). Pun adanya rasa hormat bagi pribadi pekabar injil itu belum berarti mereka rela untuk menerima agama yang dibawanya. Berkali-kali kita melihat bahwa tokoh-tokoh "kunci" di salah satu lingkungan menerima agama Kristen karena menjadi yakin bahwa agama itu menawarkan jalan keluar dari keadaan yang macet. Berkenaan dengan kehidupan pribadi: jalan keluar dari cengkeraman roh-roh, karena agama Kristen menawarkan perlindungan oleh Allah (Yesus Kristus) yang lebih kuat daripada roh-roh itu. Berkenan dengan kehidupan suku: karena agama Kristen dengan perintah kasihnya menawarkan jalan keluar dari lingkaran setan berupa perang antar-kampung dengan balas-membalas yang tak henti-hentinya (demikianlah alasan Raja Pontas Lumbantobing, § 42). Di beberapa daerah, zending sendiri tidak berhasil memutuskan lingkaran setan itu, namun pekabaran Injil membangkitkan kesadaran yang begitu kuat, sehingga orang masuk Kristen secara massal begitu pemerintah kolonial masuk memaksakan perdamaian. Tentu ada juga alasan-alasan lain yang menyebabkan orang masuk Kristen. Didaerah-daerah dengan unsur feodal yang kuat,rakyat dengan sendirinya mengikuti kepalanya kalau ia ini sudah masuk. Ada yang masuk berdasarkan pertimbangan ekonomis , yakni karena agama Kristen, yang tidak mengenal kurban hewan dan sebaginya, merupakan agama yang murah dibandingkan dengan agama nenek moyang. Ada pula yang menjadi Kristen lewat jalur "alamiah": selagi masih bocah mereka masuk sekolah zending, dipungut seorang zendeling menjadi anak asuh, mereka menempuh pendidikan menjadi guru zending dan dengan jalan itu pun mereka dibimbing ke baptisan. Akhirnya, kita perlu memperhatikan orang-orang perseorangan, yang terutama terdapat di pulau Jawa, yang sudah lama mencari kebenaran agama, "air jernih", dan yang menemukannya di dalam Injil. Dalam kisah mengenai petualangan rohani tokoh-tokoh itu biasanya mimpi-mimpi memainkan peranan besar.
Yang penting kita pegang dalam membicarakan persoalan alasan-alasan untuk masuk Kristen ialah paham ini: orang masuk Kristen bukan karena terpukau oleh pribadi dan pesan zendeling Barat itu, melainkan karena pertimbangan-pertimbangan mereka sendiri, yang berakar dalam lingkungan agama, kebudayaan, dan politis mereka sendiri. Dengan perkataan lain: mereka menerima amanat (Injil) sang zendeling, namun mereka menampungnya di dalam kerangka acuan lingkungan mereka sendiri. Hal ini penting untuk diperhatikan karena menyadarkan kita bahwa setelah masuk Kristen pun, orang-orang yang bersangkutan tidak semata-mata tergantung secara rohani dari sang zendeling, tetapi menghayati iman mereka yang baru dengan cara sendir. Mungkin sekali cara ini berlainan dengan cara pekabar Injil dari Barat menghayati iman Kristen, dan yang diduganya atau diharapkannya menjadi cara orang Kristen Indonesia menghayatinya pula.
Persiapan untuk baptisan
Pada masa yang kita bahas dalam pasal ini, masa persiapan untuk baptisan tetap berbeda-beda. Dalam lingkungan GPI, sering beberapa hari dianggap sudah mencukupi. Badan-badan zending biasanya syarat lebih berat: orang harus mengikuti pelajaran agama sampai menghafalkan pokok-pokok utama dari Alkitab dan dari ajaran keselamatan. Lamanya pelajaran itu setengah tahun hingga dua tahun. Yang menonjol ialah praktik CAMA di Kaltim dalam hal ini (§ 50). Yang memberikan pengajaran katekisasi biasanya seorang guru Indonesia; hanya pada tahap permulaan atau di tempat tinggal seorang zendeling, zendeling itu sendiri yang mengajari calon-calon baptisan. Bahan yang dipakai sering merupakan terjemahan buku katekisasi yang dipakai dalam gereja Belanda; adakalanya seorang zendeling menyusun buku katekisasi yang baru. Bahasa yang digunakan bisa bahasa Melayu, bisa bahasa daerah (bnd. § 26). Upacara pembaptisan tetap didahului oleh ujian. Di kalangan lembaga-lembaga zending, ujian ini biasanya bersifat penyelidikan mendalam mengenai pengetahuan dan keadaan rohani si calon. Pembaptisan berlangsung dengan cara pemercikan; hanya badan-badan yang berakar dalam kebangunan rohani di Amerika menggunakan baptisan selam.
Tanggapan oleh masyarakat bukan Kristen
Masyarakat bukan Kristen tidak suka melihat kalau anggota-anggota masyarakat itu masuk Kristen. Maka tidak jarang orang Kristen menghadapi pertentangan dari pihak masyarakat, apakah itu masyarakat yang menganut agama suku, Hindu, atau Islam. Dalam lingkungan agama suku, pertentangan itu dicetuskan terutama oleh kekhawatiran kalau-kalau penolakan orang Kristen untuk turut menyelenggarakan upacara untuk nenek moyang dan untuk memelihara adat seutuhnya akan membuat marah nenek moyang dan dengan demikian akan mendatangkan malapetaka. Agaknya pada masa 1860-1942 tidak pernah terjadi pembunuhan (paling tidak, secara terbuka) atas diri seorang Kristen, pun di daerah/pada masa pemerintah kolonial tidak berkuasa. Sebaliknya, yang sering berlangsung ialah pemboikotan secara ekonomis. Desa merupakan persekutuan kerja; orang secara bersama membangun rumah, membuat perahu, menggarap sawah. Kalau seseorang dikucilkan dari persekutuan itu, maka keadaannya menjadi serba sulit. Di Jawa Barat, mula-mula juga di Tapanuli, kenyataan ini memaksa para zendeling untuk mengumpulkan orang-orang Kristen dalam kampung-kampung tersendiri (Cideres, Hutadame). Tetapi adakalanya masyarakat menanggapi masuknya agama Kristen dengan cara yang lebih rasional: orang membandingkan hasil sawah-ladang orang Kristen, yang ditanami tidak dengan menjalankan upacara tradisional, dengan hasil sawah-ladang lainnya: kalau ternyata sama saja maka tiada alasan untuk menentang agama yang baru itu. Dalam keadaan hampa kuasa yang di beberapa daerah terjadi dalam bulan Maret 1942 dan dalam tahun 1945, orang Kristen banyak menderita, khususnya di daerah Jabar, Jateng, dan Sulsel. Pemberontakan DI/TII merupakan zaman yang paling buruk, sebab sejumlah orang Kristen, khususnya pemimpin jemaat, dibunuh oleh anggota gerombolan.
Gerakan kebangunan dalam agama suku
Tidak jarang juga masuknya agama Kristen (dan/atau pemerintah kolonial) mencetuskan gerakan kebangunan dalam lingkungan agama suku. Orang merasa tidak puas karena adat mereka dirongrong oleh ketentuan-ketentuan pemerintah dan oleh pengaruh pekabaran Injil. Lalu mencullah seorang nabi yang menganjurkan supaya orang kembali melaksanakan adat dan menghormati dewa-dewa. Demikianlah misalnya di Tana Toraja pada tahun 1919, 1921, dan 1923, atau di Tapanuli (§ 42). Biasanya gerakan seperti itu akhirnya ditindas oleh pemerintah kolonial, seperti di Tapanuli pada tahun 1916.
Gerakan-gerakan sinkretistis
Berhadapan dengan masuknya agama Kristen, agama suku tidak bersifat pasif saja atau menentang semata-mata. Adakalanya para penganutnya secara kreatif menampung unsur-unsur agama Kristen. Demikianlah kita dengar bahwa di Sumba seorang pemuka agama suku memasukkan tokoh Adam dan Hawa ke dalam mitos tentang penciptaan dunia. Pada tahun 1929 di Tana Toraja, dalam upacara persembahan kurban kepada dewata, nama Adam dan Yesus dipanggil bersama nama-nama dewata. Di Poso, sekitar tahun 1920, sebagian penduduk (yang tetap menganut agama nenek moyang) tidak bekerja lagi pada hari Minggu, agar tidak menimbulkan murka Allahnya orang Kristen. "Pue Ala" di situ sudah ditampung lingkungan para dewata. Di beberapa daerah muncullah tokoh-tokoh "nabi", yang pemberitaannya menggabungkan unsur-unsur Kristen dan bukan Kristen. Begitu di Poso; di sana seorang wanita mengaku telah mendapat perintah dari Pue Ala (nama Allah yang dipakai oleh para pekabar Injil) dan dari Pue mPalaburu (Tuhan Pencipta) untuk mengajak orang agar berkelakuan baik dan mengikuti ibadah gereja dengan setia. Tetapi di samping itu, katanya, ia ditugaskan untuk menyembuhkan orang sakit dan untuk menyuburkan tumbuhnya padi. Kedua kegiatan ini dilakukannya seluruhnya menurut cara yang lazim dalam lingkungan agama nenek moyang. Maka berduyun-berduyunlah orang menghadiri baik kebaktian Kristen maupun upacara-upacara tradisional. Di Sumba seorang anak muda, yang telah mendapat ilham dalam mimpi, menganjurkan orang agar mendengarkan dan menaati pemberitaan zendeling (1925).
Mesianisme
Kadang-kadang gejala sinkretisme itu menjelma dalam gerakan mesianis (gerakan yang berpusat pada seorang tokoh yang mengaku diutus oleh Allah untuk membawa zaman kesejahteraan). Pada tahun 1912, di kampung Letwurung (Babar, Maluku Selatan) muncul seorang tokoh yang mengaku dirinya adalah Yesus Kristus yang telah kembali dari sorga ke bumi untuk menyembuhkan segala penyakit dan membangkitkan orang mati. Dalam lingkungan Sadrach (§ 24,46) terdapat keyakinan yang serupa berkenaan dengan tokoh Sadrach. Rupanya di sini kita menghadapi gerakan-gerakan yang berlatar belakang agama tradisional, namun mengambl alih ciri-ciri tertentu (misalnya nama tokoh Mesias) dari agama Kristen. Gerakan yang serupa paling sering muncul di Irian, yaitu gerakan Koreri (§ 36). Rupanya sudah ada gerakan-gerakan Koreri sebelum Zending masuk. Tetapi setelah agama Kristen menjadi agama yang dominan, unsur-unsur Kristen ditampung dalam gerakan Koreri. Begitu misalnya dalam gerakan yang besar pada tahun 1938-1943, yang ditokohi seorang wanita bernama Angganita Menufaur. Angganita mengambil nama Maria, tempat tinggalnya disebut Betlehem, dan tokoh Manseren Manggundi (tokoh Mesias dalam mitos asli) disamakan dengan Yesus. Pengikut gerakan itu malah melancarkan tuduhan bahwa para zendeling dan guru telah mengeluarkan satu lembar dari Alkitab, yaitu yang mengandung pernyataan bahwa Yesus adalah Manggundi. Meskipun demikian, mereka tetap mau dipandang sebagai orang Kristen. Dibandingkan dengan Afrika, di mana muncul ribuan gereja sempalan yang berdasarkan sinkretisme dan mesianisme, di Indonesia gerakan seperti itu jarang terjadi (§ 44).
Sama seperti pada masa sebelumnya, ibadah menikuti pola Barat. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa sesungguhnya pola "Barat" itu adalah pola yang sudah berlaku dalam gereja segala zaman, namun dalam gereja Belanda atau (di Medan kerja RMG) Jerman telah diberi warna tertentu. Maka "mengikuti pola barat" berarti bahwa,
- gedung gereja bersifat sederhana. Biasanya gedung gereja itu memakai gaya bangunan ala Barat. Adakalanya seorang zendeling membangun gereja menurut gaya setempat di pusat resortnya (begitu di Malang, dengan memakai gaya pendopo, atau di Sangalla´, Tator, mirip rumah Toraja). Tetapi biasanya jemaat-jemaat lain tidak mau mengikuti contoh itu.
- peranan jemaat terbatas pada menyanyi saja;
- tata kebaktian bersifat sederhana, dengan tempat besar bagi pemberitaan firman dalam khotbah;
- perayaan Perjamuan Kudus jarang dilakukan.
Bahasa Ibadah
Di wilayah GPI biasanya ibadah memakai bahasa Melayu; di wilayah badan-badan zending sedapat mungkin bahasa daerah yang digunakan dalam khotbah (bnd. § 26). Tetapi karena penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah memakan waktu bertahun-tahun, maka biasanya mula-mula dipakai Alkitab bahasa Melayu. Di beberapa daerah, hanya terjemahan PB yang diterbitkan. Dalam abad ke-19 terjemahan Leydecker (§ 15) mulai dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Antara tahun 1815-1860, beberapa bagian Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu yang lebih sederhana. Pada tahun 1879, Lembaga Alkitab Belanda menerbitkan Alkitab terjemahan Klinkert, yang menggantikan terjemahan Leydecker (namun tidak diterima di Maluku). Terjemahan Klinkert itu sudah jauh lebih dekat dengan bahasa Melayu orang Melayu sendiri. Pada tahun 1938, PB terjemahan Klinkert pada gilirannya diganti oleh terjemahan Bode; pada tahun 1971 terbitlah terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia, yang menggantikan PL-Klinkert dan PB-Bode (dalam tahun 1990-an terjemahan baru itu pun mengalami revisi).
0 komentar:
Posting Komentar