Setelah melihat kepada orang Indonesia yang masuk Kristen, sekarang kita mengamati persekutuan jemaat yang dimasukinya. Kita berturut-turut akan berbicara mengenai: ibadahnya, termasuk pelayanan sakramen-sakramen; mengenai penggembalaan dan disiplin gereja; mengenai organisasi gereja; mengenai diakonat dan mengenai kesaksian jemaat ke luar.
Ibadah: terpisah menurut bahasa
Di jemaat-jemaat di luar pusat, ibadah diadakan dalam bahasa Melayu saja. Di jemaat-jemaat pusat, ibadah biasanya diadakan secara terpisah-pisah bagi beberapa kelompok tersendiri. Begitulah misalnya di Ambon (§ 9, 10) dan di Solor (§ 12). Juga di Batavia (§ 13) di mana orang memakai tiga bahasa. Rupanya keadaan ini disebabkan oleh soal bahasa, mungkin juga oleh keinginan para misionaris Yesuit untuk menjauhkan domba-domba mereka dari pengaruh yang merusak dari orang-orang Portugis-asli. Masing-masing kelompok dilayani dalam bahasa sendiri dan sedapat mungkin oleh imam atau pendetanya sendiri. Begitu misalnya di Ambon pada akhir zaman Portugis, dan di Ambon dan Batavia pada masa kejayaan VOC. Tetapi kalau hanya satu pelayan yang hadir/tersedia, maka ia ini harus memimpin kebaktian dalam dua bahasa, pagi hari bahasa Belanda, selanjutnya dalam bahasa Melayu. Ada-tidaknya kebaktian dalam bahasa Melayu ini (di Batavia juga: bahasa Portugis; di luar wilayah Indonesia yang sekarang, pendeta-pendeta VOC menggunakan bahasa-bahasa lain lagi) merupakan ukuran bagi kekuatan batiniah gereja pada zaman itu. Sebab hanya dalam bahasa itu iman Kristen dapat diperkenalkan kepada orang-orang Indonesia dan mereka dapat dipelihara di dalamnya. Dan hanya pelayan-pelayan yang sanggup memberi pelayanan dalam bahasa itulah yang dapat bertindak sebagai pekabar Injil kepada orang-orang yang bukan-Kristen. Banyak sekali imam dan pendeta yang tidak pernah sampai kepada pengetahuan bahasa Melayu atau bahasa pribumi lainnya, dan yang hanya melayani para pendatang dari Eropa saja.
Tata-ibadah
Ibadah diselenggarakan menurut kebiasaan yang berlaku di Eropa. Para imam Katolik-Roma melayankan misa menurut cara yang ditetapkan oleh gereja mereka; para pendeta Protestan mengikuti tata-ibadah yang umum diterima di negeri Belanda. Tata-ibadah ini adalah sebagai berikut: votum-salam -- nyanyian jemaat -- pembacaan Dasatitah -- doa -- bacaan Alkitab -- khotbah -- nyanyian jemaat -- (perayaan Perjamuan Kudus) -- pengumpulan persembahan -- doa -- nyanyian -- berkat. Pada sore hari, para pendeta Protestan menyelenggarakan ibadah-katekismus yang memakai cara yang sedikit lain. Di situ khotbah memberi penjelasan tentang satu pasal ("minggu") dari Katekismus Heidelberg. Di jemaat-jemaat di luar pusat, tata-ibadah adalah kira-kira sama. Hanya, di situ biasanya tidak terdapat seorang pendeta; yang memimpin ibadah ialah guru setempat atau seorang penghibur-orang-sakit (§ 10). Tokoh-tokoh ini tidak boleh membawakan khotbah yang mereka susun sendiri; mereka tidak juga memberi khotbah mengenai Katekismus.
Unsur ibadah: nyanyian
Gereja di Belanda telah mengambil keputusan bahwa nyanyian-nyanyian yang boleh dipakai dalam kebaktian resmi hanyalah Mazmur-mazmur Daud (dalam bentuk sajak dan dengan lagu-lagu yang digubah di Jenewa pada zaman Calvin), berikut sejumlah kecil nyanyian rohani. Dan itu juga yang dipakai di Indonesia. Nyanyian-nyanyian ini sudah mulai diterjemahkan dalam tahun-tahun pertama VOC, antara lain oleh beberapa anggota jemaat yang bukan-pendeta. Tetapi Kitab Mazmur yang lengkap, disertai sejumlah nyanyian rohani, baru terbit pada tahun 1735, dengan judul: "Sji'r, segala mazmur-mazmur Daud dan pudjian-pudjian yang lajin. Terkarang atas titah segala Toewan Pemarentah Kompanija". Mazmur dan nyanyian-nyanyian rohani ini tentu saja memakai lagu-lagu yang lazim dalam gereja di Belanda. Dalam menyanyikannya, orang-orang Belanda memasukkan metode yang berasal dari negeri Inggeris: baris demi baris dibacakan, lalu dinyanyikan.
Unsur ibadah: Alkitab
Dalam Misi zaman itu, penterjemahan Alkitab tidak diusahakan. Dalam ibadah, para imam menggunakan Alkitab bahasa Latin; Alkitab bahasa Portugis juga belum ada. Di tangan orang-orang Belanda yang Protestan, Alkitab menjadi sarana yang mahapenting untuk pemeliharaan orang-orang Kristen dan untuk pengajaran kepada orang-orang yang belum menjadi Kristen. Dari itu mereka sejak semula berusaha untuk menyediakan Alkitab dalam bahasa Melayu (di luar Indonesia juga dalam bahasa-bahasa lain). Akibat kebijaksanaan mereka di bidang bahasa (§ 10), mereka tidak menterjemahkannya ke dalam salah satu bahasa daerah di Indonesia, kecuali Heurnius, yang menyalin sejumlah bagian pokok dari Alkitab ke dalam bahasa Lease (Saparua). Bagi orang-orang Kristen berbahasa Portugis disiapkan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa itu (PB 1681, PL 1753). Yang menyusun terjemahan itu adalah seorang bekas anggota Gereja Katolik, bernama Ferreira, yang selama puluhan tahun menjadi pendeta di Batavia.
Terjemahan Brouwerius (1668)
Mula-mula usaha ini terutama dilakukan oleh pegawai-pegawai Kompeni yang bukan pendeta atau theolog. Tetapi kedua terjemahan utama yang kita kenal berasal dari dua orang pendeta. Pada tahun 1668 terbitlah Perjanjian Baru lengkap dalam bahasa Melayu, karya Brouwerius, yang pernah menjadi pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia, dan yang sudah menterjemahkan pula Kitab Kejadian. Dalam terjemahan ini pengaruh bahasa Portugis dan Belanda adalah sangat nyata. Kata "Allah" diterjemahkan sebagai "Deos"; "salib" sebagai "crus". Sebabnya ialah bahwa Brouwerius menggunakan jenis bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa pergaulan di Indonesia, yaitu "bahasa Melayu-rendah". "Bahasa" ini merupakan campuran antara bahasa Melayu dengan bahasa-ibu para pemakai sendiri, sehingga berlain-lainan menurut tempat dan asal para pemakai. Dalam mulut para misionaris, bahasa Melayu tercampur dengan bahasa Portugis, khususnya dalam hal kata-kata di bidang agama. Akibatnya di kalangan orang Kristen Indonesia bahasa Melayu-rendah itu mendapat warna yang khusus yang membedakan mereka dari teman-teman sebangsa yang beragama lain. Maka terjemahan Brouwerius itu tidak bisa berfungsi sebagai alat misioner. Lagipula, Brouwerius tidak mengenal bahasa Melayu dengan sungguh-sungguh baik. Ganti "menciptakan" dipakainya "miara", dan kalimat dari Kejadian 13:2 ("Adapun Abraham sangat kaya, banyak ternak, perak dan emasnya") ia terjemahkan sedemikian rupa hingga pembaca mendapat kesan bahwa Abraham adalah nama ternak itu. Pembaca atau pendengar yang tidak mengenal isi Alkitab dengan baik, pastilah tidak dapat menangkapnya dari dalam terjemahan ini.
Terjemahan Leijdecker (1733)
Kita tidak tahu sampai berapa jauh terjemahan-terjemahan tersebut digunakan dalam jemaat-jemaat berbahasa Melayu. Yang pasti ialah bahwa orang belum puas dan terjemahan-terjemahan itu tidak diterima secara resmi oleh gereja. Akhirnya majelis jemaat di Batavia (§ 13) mengambil prakarsa untuk menciptakan suatu terjemahan Alkitab yang lebih baik dan yang lengkap. Hal ini ditugaskan kepada pendeta Leijdecker, yang melayani jemaat berbahasa Melayu di kota tersebut. Ia ini memakai bahasa Melayu yang lebih tinggi daripada terjemahan sebelumnya; oleh orang banyak terjemahan-Leijdecker itu sulit untuk dibaca karena banyak menggunakan kata bahasa Arab dan Persia. Ia sempat mengerjakan terjemahan itu sampai kepada surat Efesus (1691-1701); seorang pendeta lain menyelesaikannya.
Pilihan jenis bahasa
Tetapi waktu masih berlangsung cukup lama sebelum terjemahan-Leijdecker ini diterbitkan. Soalnya ialah bahwa sebagian orang berpendapat, bahasa Melayu-rendah lebih mudah dipahami jemaat. Dan memang bahasa Melayu Leijdecker mengandung banyak kata asing, terutama Arab; pengaruh bahasa Portugis sudah hilang. Dan terjemahannya masih sangat terikat kepada bentuk-kalimat bahasa-bahasa-asli, yaitu bahasa Ibrani dan Yunani. Tentang terjemahan ini pun dinyatakan oleh seorang ahli bahwa isinya tidak dapat dipahami oleh seorang yang bukan-Kristen, dan orang-orang Kristen Indonesia hanya dapat menggunakannya kalau diberi pelajaran khusus tentang bahasanya (di kemudian hari, beberapa orang menerbitkan daftar-daftar kata yang sulit yang terdapat dalam Alkitab Leijdecker). Bagaimanapun juga, pemerintah VOC mengambil keputusan, yaitu bahwa terjemahan-Leijdecker harus diterbitkan, dan demikianlah terjadi. Alkitab itu umum dipakai di jemaat-jemaat berbahasa Melayu sampai abad ke-19, di Maluku bahkan sampai abad ke-20.
Ibadah-doa-malam
VOC mewajibkan setiap jemaat atau kelompok orang Kristen di wilayahnya untuk mengadakan ibadat-doa-malam (bnd § 10). Doa-malam ini dipimpin oleh guru setempat atau oleh seorang penghibur-orang-sakit. Pemimpin membacakan doa yang tetap, sesuai dengan formulir gereja di Belanda, dan bersama anak-anak sekolah menghafalkan pokok-pokok iman Kristen. Dengan demikian, doa-malam ini merupakan juga suatu katekisasi-ulangan bagi orang-orang dewasa.
Pelayanan sakramen-sakramen
Yang berhak melayankan sakramen-sakramen pada umumnya hanyalah imam atau pendeta. Tetapi dalam Misi tidak jarang seorang awam melayankan sakramen baptisan, dan kadang-kadang seorang bruder (anggota ordo kebiaraan yang bukan imam) memperoleh hak ini secara resmi; begitu pula penghibur-orang-sakit yang baik dalam gereja Protestan pada zaman VOC. Cara melayankan sakramen harus seperti di Eropa. Pendeta-pendeta Protestan menggunakan formulir-formulir dari gereja di Belanda, yang diterjemahkan juga ke dalam bahasa Melayu dan lain-lain (Heurnius malah menterjemahkan formulir baptisan dari Belanda itu ke dalam bahasa Saparua).
Pemisahan sakramen-sakramen
Tetapi tidak dalam semua hal corak gereja Belanda diikuti di Indonesia. Penyimpangan yang paling besar artinya terdapat pada pelayanan sakramen Perjamuan Kudus, khususnya di jemaat-jemaat Indonesia. Menurut gereja di Belanda, setiap orang yang masuk Kristen dan dibaptis pada umur dewasa sekaligus melakukan sidi dan wajiblah mengikuti perjamuan. Misi telah menetapkan bahwa orang yang bukan-Kristen yang dibaptis tidak otomatis boleh ikut-serta dalam sakramen Misa, melainkan harus belajar lebih lanjut dan nyata-nyata menempuh hidup suci, baru boleh menikmati sakramen tersebut (§ 9). Misi terpaksa berbuat demikian karena pada waktu itu orang dibaptis tanpa persiapan yang memadai. Gereja Protestan pada umumnya meneruskan praktek Pembaptisan tanpa persiapan yang wajar (§ 14) dan sebab itu harus mengikuti pula praktek Misi dalam hal penerimaan orang untuk Perjamuan Kudus. Tata-gereja tahun 1643 menetapkan bahwa orang Indonesia yang masuk Kristen, barulah boleh turut merayakannya apabila ia sendiri menyatakan niatnya dan mengikuti pelajaran agama lebih lanjut. Jadi, pada mereka pembaptisan dipisahkan daripada sidi dan penerimaan sakramen Perjamuan. Tetapi hanya di jemaat-jemaat-pusat, terutama di Batavia, pengajaran-lanjutan ini berhasil diberikan secara teratur, sehingga jumlah anggota-sidi mencapai tingkat yang memuaskan. Di luarnya hanya segelintir orang yang pernah sampai naik sidi dan turut merayakan perjamuan. Boleh dikatakan 90% orang-orang Kristen Indonesia pada zaman ini tidak pernah menikmati makanan dan minuman rohani itu.
Penggembalaan: dalam Misi
Xaverius sendiri memberi petunjuk kepada para misionaris dari Serikat Yesus tentang cara menggembalakan orang. Tugas mereka yang pertama ialah mengunjungi rumah orang dan bertanya apakah ada anak yang belum dibaptis. Mereka harus juga mengunjungi orang-orang sakit. Orang-orang sakit itu akan disuruh mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, dan pada setiap pasal ditanyakan kepada mereka apa mereka mempercayainya dengan teguh; setelah itu mereka harus mengucapkan pengakuan dosa dan memperoleh penghiburan dalam doa dan pembacaan Injil. Jadi, di sini penggembalaan berkisar sekitar kedua ujung kehidupan: kelahiran dan kematian. Melihat jumlah misionaris yang begitu kecil, penggembalaan yang lebih intensif sulit untuk dilaksanakan.
Dalam gereja Protestan
Penggembalaan atas anggota jemaat Protestan terutama dilakukan berhubung dengan perayaan sakramen Perjamuan. Sebelum perayaannya, setiap keluarga dikunjungi seorang pendeta, disertai seorang penatua. Menurut tata-gereja pertama (1624), pendeta wajib pula memelihara hubungan yang intensif dengan keluarga-keluarga di jemaatnya dan mengunjungi mereka secara teratur. Para penghibur-orang-sakit bertugas mendampingi orang-orang sakit di rumah sakit. Jelaslah bahwa peraturan-peraturan ini hanya dapat dilaksanakan di jemaat-jemaat yang mempunyai pendeta dan majelis gereja. Di jemaat-jemaat Indonesia di luar pusat, penggembalaan dilakukan oleh gurunya, dan oleh pendeta apabila tokoh ini sempat datang berkunjung ke jemaat itu (bnd § 10, 11, 12).
Disiplin
Di wilayah Misi, disiplin dipertahankan oleh misionaris sendiri. Di jemaat-jemaat-pusat gereja Protestan, majelislah yang menangani persoalan itu. Pada waktu-waktu yang tertentu majelis jemaat membicarakan hidup seluruh jemaat, orang demi orang, keluarga demi keluarga. Kalau ada yang tidak setia datang ke gereja, yang hidup dalam pertikaian dengan sesamanya, yang melakukan dosa terhadap perintah yang ke-7 dan seterusnya, diputuskan bahwa orang yang bersangkutan akan dikunjungi dan ditegur, mula-mula oleh seorang pendeta, dan kalau ia tidak mau mendengar, oleh seorang pendeta dan seorang diaken. Kalau orang yang bersangkutan tetap keras kepala, ia harus menghadap majelis. Dengan adanya hubungan erat antara gereja dan negara pada zaman itu, campurtangan pemerintah tidak bisa dicegah. Para misionaris menggunakan bantuan alat-alat pemerintah untuk mengawasi domba-domba mereka, dan pemerintah VOC sering juga mengenakan hukuman kepada orang-orang yang melanggar peraturan gerejani. Hukuman itu bisa berupa denda, atau hukuman badani, sampai hukuman mati.
Di luar pusat, disiplin kurang efektif
Disiplin gerejani tidak berhasil dilaksanakan secara bulat. Pembatasan yang pertama ialah bahwa kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia hidup di luar jemaat-jemaat-pusat dan tidak mempunyai pendeta atau majelis. Kita boleh menduga bahwa bagi guru-guru sulitlah untuk seorang diri menegakkan disiplin gerejani di tengah teman-teman sebangsa mereka. Apabila pendeta datang berkunjung, mereka harus melapor tentang kelakuan anggota jemaat, dan diambil tindakan seperlunya. Di tempat-tempat seperti itupun tangan kuat pemerintah bisa digunakan untuk melaksanakan hukuman. Tetapi kalau pendeta sama sekali tidak muncul, disiplin gerejani pun ambruk.
Juga terhadap penguasa-penguasa
Pembatasan yang lain ialah bahwa disiplin sulit untuk dilaksanakan terhadap anggota-anggota jemaat yang mempunyai kedudukan tinggi dalam tubuh VOC. Di Batavia, terutama pada masa permulaan, disiplin masih berhasil diterapkan tanpa pandang bulu, karena pemerintah tertinggi menghargai disiplin gerejani sebagai sarana untuk mengatur masyarakat Belanda yang bandel itu. Tetapi di jajahan-jajahan yang jauh dari pusat pemerintah, para pegawai Kompeni bisa bertindak dengan sewenang-wenang, dan pendeta serta majelis gereja tak berdaya menghadapi mereka. Kalau seorang gubernur ditegur karena kehidupannya kurang senonoh dan lain sebagainya, kemungkinan besar bahwa pendetanya dibelenggu dan dikirim ke Batavia untuk diadili (§ 8). Dan salah satu kekurangan umum dalam pelaksanaan disiplin ialah bahwa korupsi dan pemerasan rakyat kurang diperhatikan. Terutama dalam abad ke-18, tubuh VOC sudah sama sekali dijangkiti penyakit korupsi - inilah yang akhirnya menyebabkan keruntuhannya. Tetapi gereja tidak berbuat apa-apa untuk menahan penyakit itu; banyak pendeta malah tidak enggan menerima hadiah-hadiah yang mahal dari orang kaya. Hal itu berarti bahwa gereja membuang kesempatan untuk menjadi garam dunia. Dan ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan minat bagi gereja di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia menjadi semakin kecil.
Organisasi gereja RK
Misi mempunyai organisasi rangkap. Di bawah padroado (§ 4) tugas-tugas gerejani diserahkan kepada raja Spanyol/Portugal supaya diurusnya. Raja berhak mengangkat uskup-uskup dan mengirim imam-imam yang harus memelihara orang-orang Kristen dan mengabarkan Injil di tengah orang-orang bukan-Kristen. Tetapi dari semula di antara pekerja-pekerja gereja ini terdapat pula anggota-anggota ordo-ordo kebiaraan. Mereka ini secara formil berada di dalam kerangka padroado, sehingga harus mematuhi uskup dan gubernur yang berkuasa di wilayah mereka. Akan tetapi sebagai anggota ordo, mereka mempunyai organisasi sendiri yang kepalanya ("jenderal" ordo) berkedudukan di Roma dan bertanggung-jawab kepada paus. Hal ini tak bisa tidak membawa kepada pertikaian-pertikaian yang merugikan pekerjaan Misi dan jemaat-jemaat pribumi. Misal pada tahun 1545, ketika beberapa biarawan berkebangsaan Spanyol diusir dari Maluku Utara oleh gubernur Portugis. Mereka sungguh-sungguh bersemangat untuk mengabarkan Injil dan malah telah menyusun suatu kamus bahasa Tidore. Tetapi orang-orang Portugis melihat mereka sebagai mata-mata Spanyol, saingan mereka, sehingga tidak mau mengizinkan mereka bekerja di wilayah Portugis. Pertentangan antara organisasi gereja bercorak nasional (padroado) dan internasional ini menjadi lebih tajam lagi setelah tahun 1622, ketika di Roma dibentuk "Congregatio de Propaganda Fide" ("Badan Pekabaran Injil"), yang dikepalai seorang kardinal dan yang bertugas memimpin pekerjaan Misi di seluruh dunia. Bagaimanapun juga, organisasi gereja dan Misi di Indonesia bersifat hirarkis, dan orang-orang Kristen Indonesia sama sekali belum diberi tempat dalam kepemimpinannya. Selama periode yang telah kita bahas ini tidak ada seorangpun imam Indonesia-asli, apalagi seorang uskup (di India dan Tiongkok pada waktu itu terdapat imam-imam dan uskup-uskup pribumi).
Gereja Protestan: peranan pemerintah
Gereja Protestan secara resmi tidak berada di bawah pemerintah dan tidak juga mengenal hirarki. Akan tetapi pemerintah Belanda telah memberikan tugas kepada VOC untuk, antara lain, memperhatikan perluasan agama Kristen di daerahnya. Makanya, dari semula VOC mengirim tenaga gerejani ke Indonesia dan membiayai mereka. Sesuai dengan kebiasaan di negeri Belanda sendiri, para pendeta meminta juga persetujuan serta dukungan VOC bagi semua kegiatan yang mereka lakukan (§ 13). Tentu saja bagi VOC adalah menyenangkan kalau gereja dengan cara itu mengakui kekuasaan pemerintah atas dirinya. Dan VOC tidak berlambat-lambat menuntut hak-hak lebih banyak lagi. Pengangkatan dan pemindahan pendeta serta tenaga lain sama sekali ditangani oleh pemerintah; rapat-rapat majelis wajib dihadiri wakil-wakil dari pemerintah; surat-surat dari gereja di Indonesia kepada gereja di Nederlan harus di kirim -- dalam keadaan terbuka - melalui dinas pos Kompeni sendiri. Dengan demikian, gereja di Belanda tidak dapat berfungsi sebagai induk dan pangkalan untuk Indonesia, dan setelah masa pertama, minat bagi usaha pekabaran Injil di Asia semakin berkurang di Nederland.
Gereja tak dapat bersikap kritis
Takluknya gereja kepada pemerintah berarti juga bahwa gereja sama sekali tidak sempat mengeluarkan kritik terhadap pemerintah itu. Pernah, pada tahun 1655, beberapa anggota majelis Batavia memprotes karena pimpinan VOC memerintahkan agar jemaat mengadakan kebaktian syukur atas kemenangan VOC di Ambon (yaitu atas orang-orang Hitu dan Seram-Barat). Anggota-anggota tersebut menegaskan bahwa peperangan di Maluku itu semata-mata disebabkan oleh ketidak-adilan Kompeni sendiri. Reaksi pimpinan VOC tajam sekali: kalau ada lagi pendeta-pendeta melancarkan protes yang demikian, orang-orang itu harus dipecat dan diberangkatkan ke Nederland begitu ada kapal yang berlayar ke situ.
Protes-protes tak berguna
Sikap dan tindakan-tindakan pemerintah terhadap gereja tak bisa tidak menimbulkan protes dari pihak para pendeta dan majelis. Khususnya pada masa permulaan, kebebasan gereja diperjuangkan oleh tokoh-tokoh seperti Heurnius, yang mempunyai kesadaran yang tinggi mengenai hakekat gereja (bnd § 6). Akan tetapi protes-protes mereka tidak berguna, sebab pimpinan VOC mempunyai pandangan yang sangat jelas mengenai hubungan gereja dengan negara. Pada tahun 1655, majelis Batavia sekali lagi berusaha untuk meniadakan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasannya yang sudah digambarkan di atas. Reaksi pimpinan VOC tajam sekali: majelis itu "berikhtiar untuk mendirikan suatu negara di dalam negara, suatu pemerintah di dalam pemerintah, sehingga dengan demikian memasukkan suatu kepaus-an yang baru. Akan tetapi tidaklah sesuai dengan kodrat pemerintah kalau ada dua kekuasaan yang sama tinggi, sama seperti suatu tubuh tidak bisa mempunyai dua kepala". Di sini ajaran Calvinis mengenai hubungan gereja dan negara (§ 3) diputar-balikkan dulu sehingga disamakan saja dengan ajaran Katolik-Roma, lalu dengan alasan itu pemerintah menuntut supaya gereja takluk saja kepada negara.
Hirarki Protestan
Karena hubungan yang erat dengan pemerintah, gereja diresapi suasana yang berlaku dalam tubuh pemerintahan, yaitu suasana hirarkis. Di jemaat-jemaat-pusat, tata-gereja presbiterial masih dapat sedikit-banyak dipertahankan, karena di situ ada majelis yang cukup aktif. Tetapi di luarnya, di jemaat-jemaat Indonesia di kampung-kampung, terdapat suasana yang sama sekali hirarkis. Pendeta dari pusat bertindak sebagai semacam uskup, yang sekali-sekali datang berkunjung dan melakukan upacara-upacara tertentu. Di bawahnya berada guru-guru Indonesia, yang hampir tidak mempunyai kebebasan bergerak, peluang untuk memimpin dan menggembalakan jemaatnya menurut cara yang sesuai dengan keadaan setempat. Dan anggota jemaat, orang Indonesia, berada pada tingkat paling bawah, mereka hanya merupakan obyek saja. Hanya di Maluku terdapat orang Indonesia yang menjadi anggota majelis. Selain daripada itu, di sana-sini seorang raja dapat bertindak sebagai penatua untuk daerahnya; ia mendampingi pendeta apabila ia ini datang berkunjung.
Diakonat: dalam Misi
Gereja RK maupun Protestan cukup mementingkan pelayanan kepada orang-orang miskin. Dalam kebaktian diadakan kolekte, dan pater-pater membagi-bagi hasil persembahan kepada orang-orang miskin. Ditempat-tempat pusat kekuasaan Portugis, misalnya di Ternate sekitar tahun 1550, terdapat perserikatan-perserikatan "Misericordia". Perserikatan-perserikatan ini mengurus uang yang oleh orang-orang kaya selama hidup mereka atau dalam surat wasiat ditujukan kepada orang-orang miskin. Uang itu dipakai untuk memberi makan kepada yang lapar dan minum kepada yang haus, pakaian kepada yang telanjang, mengunjungi orang-orang sakit dan orang yang sedang dalam penjara, memberi tempat menumpang kepada yang lelah, menebus tawanan-tawanan perang dan mengubur orang-orang mati (yang miskin). Pelayanan ini diberikan kepada semua orang Kristen, tanpa memperhatikan warna kulit mereka, dan sedapat mungkin juga kepada orang-orang melarat yang bukan-Kristen. Di luar pusat, tidak ada diakoni, karena dalam masyarakat suku orang-orang miskin ditolong oleh sanak-saudara mereka sesuai dengan petunjuk-petunjuk adat.
Dalam gereja Protestan
Dalam Gereja Protestan, diakonat diselenggarakan oleh pelayan-pelayan khusus, yaitu para diaken. Mereka melakukan hal-hal yang kira-kira sama seperti perserikatan-perserikatan misericordia di kota-kota Portugis: memelihara orang-orang miskin, mengurus orang sakit dan seterusnya. Di Batavia, diakoni mengurus panti asuhan, wisma untuk orang-orang miskin dan jompo, sebuah rumah sakit umum dan sebuah rumah sakit untuk penderita penyakit kusta. Tugas para diaken cukup luas, sehingga jumlah mereka di Batavia maupun di Ambon adalah 2/3 dari jumlah penatua. Di Ambon terdapat juga diaken-diaken dari kalangan penduduk Ambon-asli. Di jemaat-jemaat kampung diakoni tidak begitu penting karena alasan yang sudah disebut tadi. Tetapi di sana juga dikumpulkan persembahan bagi diakoni, yaitu dalam "peti derma" yang ditempatkan di dekat pintu masuk gereja. Itulah satu-satunya tujuan yang untuknya dapat diminta sumbangan jemaat; 'kan seluruh biaya lainnya ditanggung pemerintah. Tetapi karena di kampung-kampung tidak ada orang yang melarat, dana diakoni itu hanya dipakai pada kesempatan-kesempatan khusus. Bukan tidak mungkin bahwa gedung-gedung gereja yang mengesankan dengan temboknya yang tebal, yang pada zaman VOC didirikan di banyak kampung di Maluku, dibangun dengan dana diakoni itu.
Kesaksian jemaat ke luar
Sesuai dengan struktur hirarkis dalam organisasi gereja, kesaksian ke luar (pekabaran Injil, apostolat) terutama diusahakan oleh pejabat-pejabat gereja. Hanya dalam satu hal kita dengar tentang orang-orang Kristen anggota jemaat yang rajin meneruskan Injil kepada orang-orang lain, yaitu orang-orang Kristen keturunan Tionghoa di Ambon. Tentang mereka dinyatakan oleh seorang pendeta Belanda (sek. tahun 1625) bahwa "mereka selalu mau meneruskan kepada orang-orang lain apa yang mereka telah ketahui tentang dasar-dasar agama Kristen, sekalipun apa yang mereka ketahui itu belum banyak". Akan tetapi di sini perlu disebut juga guru-guru Ambon yang juga pada zaman VOC bersedia untuk ditempatkan jauh dari kampung-halaman mereka (ump. guru Thenu di Timor, § 12; ada pula yang ke pulau-pulau Selatan). Tetapi jemaat-jemaat di Maluku dan di tempat lain baru pada abad ke-19 akan menjadi aktip dalam hal pekabaran Injil.
Ringkasan
Kita meringkaskan. Dalam ibadah, orang-orang Indonesia yang merupakan 90% dari orang-orang Kristen di Indonesia dalam abad-abad ini, tidak mendengar atau memakai bahasa-ibu mereka sendiri. Dan ibadah itu berlangsung dalam bentuk-bentuk yang diimpor dari negeri Belanda. Alkitab pun bagi mereka hanya tersedia dalam bahasa Melayu, dan itupun baru setelah dua abad lamanya mereka menganut iman Kristen. Hampir semua orang Kristen Indonesia tidak pernah ikut merayakan sakramen Misa/Perjamuan. Tenaga yang menggembalakan dan melayani mereka adalah orang-orang asing, atau orang dari kalangan sendiri tetapi yang biasanya kurang memperoleh pendidikan. Disiplin gerejani tidak dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh terhadap penguasa-penguasa dan tidak kena-mengena dengan dosa-dosa mereka yang merusak masyarakat. Organisasi gereja tidak memberi kesempatan kepada jemaat untuk berdiri sendiri. Pengaruh pemerintah menyebabkan gereja diliputi suasana yang tidak cocok dengan hakekatnya sendiri. Pelayanan diakonat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak mempunyai relevansi bagi sebagian besar orang-orang Kristen Indonesia. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau mereka ini pada zaman yang sedang dibicarakan ini belumlah sanggup memberi kesaksian yang kuat ke luar.
BY GAN
0 komentar:
Posting Komentar